WAPRES NILAI KASUS E-KTP TIDAK MENIMBULKAN TURBULENSI POLITIK - Jokowi: E-KTP Kacau, Anggaran Dikorup

Jakarta - Presiden Jokowi mengakui, program Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) menuai problem besar. Apalagi kalau anggaran program yang dilancarkan di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, terbukti dikorupsi beramai-ramai. Sementara Wapres Jusuf Kalla menilai kasus e-KTP tidak menimbulkan guncangan politik secara nasional.

NERACA

"Sekarang jadi bubrah (kacau) semua gara-gara anggaran (pengadaan e-KTP) dikorup," ujar Jokowi saat diwawancarai wartawan di JIEXPO, Jakarta, Sabtu (11/3). Padahal, Jokowi yakin jika program tersebut dilaksanakan dengan baik dan benar, maka sejumlah persoalan administrasi kependudukan dan yang lain di negeri ini dapat terselesaikan.

"Kalau e-KTP jadi dan benar, kita bisa selesaikan banyak sekali itu masalah. Misal urusan paspor tanpa fotokopi KTP, SIM, perbankkan, perpajakan, urusan Pilkada," ujar Jokowi.  Menurut dia, kalau sistem yang kita bangun benar, semuanya sudah rampung.

Presiden pun yakin bahwa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mampu menyelesaikan perkara tersebut hingga tuntas dengan mengedepankan profesionalitas. Hal itu juga merupakan harapan rakyat. "Saya harap ini diproses yang benar. Saya yakin juga KPK bertindak profesional terhadap kasus ini," ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, perkara dugaan korupsi e-KTP sudah memasuki sidang perdana. Perkara ini menjerat mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman, sebagai terdakwa dalam kasus tersebut.

Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tipikor, pekan lalu, diketahui sekitar Juli hingga Agustus 2010, DPR-RI mulai melakukan pembahasan RAPBN TA 2011. Salah satunya soal anggaran proyek e-KTP.

Kemudian pengusaha swasta, Andi Agustinus alias Andi Narogong, selaku pelaksana proyek beberapa kali melakukan pertemuan dengan sejumlah anggota DPR-RI. Lantas menyetujui anggaran senilai Rp 5,9 triliun dengan kompensasi Andi memberi fee kepada beberapa anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.

Akhirnya disepakati 51% dari anggaran digunakan untuk proyek, sementara 49% untuk dibagi-bagikan ke Kemendagri, anggota DPR RI, dan keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.

Secara terpisah, Wapres Jusuf Kalla mengatakan kasus korupsi pengadaan e-KTP nasional tidak akan menyebabkan “turbulensi” (guncangan) politik nasional selama proses hukum berlangsung. Menurut dia, meski dalam kasus dugaan korupsi KTP-e tersebut menjerat beberapa elit partai politik, hal ini tidak akan mengakibatkan guncangan politik nasional dan diharapkan semua pihak mendukung proses hukum yang berjalan.

“Tidak, karena jika terjadi proses hukum yang benar, semua orang akan setuju. Tidak akan menimbulkan turbulensi,” ujarnya di Bogor, Sabtu (11/3)

Namun, Kalla menambahkan, kasus yang diduga merugikan negara senilai Rp2,314 triliun tersebut dinilai akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif seperti DPR dan juga partai politik. “Bahwa nama baik DPR dan partai-partai pasti ada masalah, pasti. Tapi tidak akan terjadi turbulensi, karena jika ketua DPR terjerat terjerat, banyak orang antri untuk menggantinya, tidak susah mencari penggantinya,” ujarnya.

Selain itu, mantan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja berpendapat bahwa dugaan korupsi pengadaan e-KTP bisa saja dicegah, jika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bersikap tegas.

Adnan menyebutkan, sekitar tahun 2011-2012, BPK sebenarnya telah melihat adanya indikasi pelanggaran terkait anggaran proyek e-KTP. Namun, setelah ada transaksi pengadaan e-KTP, selanjutnya dianggap tidak ada masalah. "Kalau BPK sejak awal sudah mewaspadai ini dan kemudian tegas, ya enggak akan jadi korupsi jumbo seperti sekarang. Ini kan multiyears," ujarnya dalam diskusi di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut Adnan, siapa pun yang sejak awal mengetahui adanya dugaan korupsi seharusnya melapor kepada KPK. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara jelas menyebut unsur pidana wajib dilaporkan.

Selain itu, BPK juga bisa memanfaatkan konsep whistleblower untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, seorang whistleblower bisa melaporkan indikasi tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam organisasi tempat dia bekerja dan memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut.

"Jadi itu seharusnya dimanfaatkan. Jangan terjadi kesepakatan diam-diam dan sekarang jadi melindungi," ujarnya.

Sementara itu di Palu, mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua meminta Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memberhentikan sementara pencetakan e-KTP.  “Sebaiknya Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memberhentikan sementara pencetakan dan pengadaan blangko e-KTP, karena mengenai e-KTP sedang di proses karena adanya dugaan kerugian negara atas kegiatan tersebut," ujar Abdullah.

Menurut dia, Kemendagri perlu berkoordinasi dengan pihak-pihak atau instansi lain mengenai database wajib e-KTP. Sampai dengan saat ini database untuk wajib e-KTP belum final atau belum dapat dijadikan patokan pengadaan blangko pembuatan dan perekaman e-KTP.

Karena, kata dia, Kemendagri perlu melakukan perbaikan data base jumlah wajib e-KTP dengan berkoordinasi serta melakukan konfirmasi dengan instansi lainnya untuk penguatan database.

Aliran Dana

Selain sejumlah anggota DPR dan pejabat Kemendagri, auditor BPK hingga Deputi Sekretariat Kabinet juga disebut menerima aliran dana proyek e-KTP pada periode 2011-2012. "Pada November-Desember 2012 juga diberikan uang kepada staf Kemendagri, pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Sekretariat Komisi II DPR dan staf Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)," kata JPU KPK Eva Yustisiana di pengadilan Tipikor, pekan lalu.

Dalam perkara ini, Dirjen Dukcapil Kemdagri dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto didakwa bersama-sama Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto, pengusaha  Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku penyedia barang/jasa pada Kemendagri, Isnu Edhi Wijaya selaku Ketua Konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI).

Serta Diah Anggraini selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendagri dan Drajat Wisnu Setyawan selaku Ketua pantia pengadaan didakwa melakukan korupsi pengadaan pekerjaan KTP Elektornik  2011-2012.

Dakwaan JPU memerinci aliran dana antara lain ke auditor BPK Wulung yang memeriksa pengelolaan keuangan Ditjen Dukcapil sejumlah Rp80 juta untuk medapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam pengelolaan keuangan Ditjen Dukcapil 2010;  Staf Sekretariat Komisi II sejumlah Rp 25 juta; Kordinator wilayah III sosialisasi dan supervisi e-KTP Ani Miryanti sejumlah Rp 50 juta dan untuk 5 orang Korwil sejumlah Rp 10 juta;  Kasubdit pelayanan informasi direktorat Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Heru Basuki sebesar Rp 40 juta, Staf Dirjen Anggaran Kemenkeu Asniwarti Rp 60 juta; Staf Biro Perencanaan Kemendagri Rp 40 juta.

Kemudian Ketua Panitia Pengadaan Drajat Wisnu Setyawan Rp 25 juta; Kepala Bagian Perencanaan Kemendagri Drajat Wisnu Setyawan Rp 30 juta; Staf Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT Husni Fahmi Rp 30 juta; Ketua panitia pemeriksa dan penerima pengadaan Ruddy Indrato Raden Rp 30 juta; Bendahara pembantu proyek Junaidi Rp 30 juta; Staf Setdijen Dukcapil Didik Supriyanto Rp 10 juta; Deputi bidang Polkam Sekretariat Kabinet Bistok Simbolon Rp 30 juta untuk pengambilan SK kenaikan pangkat Irman.

Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar.

Dakwaan dugaan korupsi pengadaan e-KTP juga mengungkapkan peran Menteri Dalam Negeri 2009-2014 Gamawan Fauzi, baik dalam proses penanggaran maupun pengadaan pekerjaan senilai total Rp5,9 triliun tersebut.

"Pada November 2009, Gamawan Fauzi meminta Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas untuk mengubah sumber pembiayaan proyek penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependukan) NIK yang semua dibiayai menggunakan Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi bersumber dari APBN murni," kata JPU Eva Yustisiana.

Gamawan Fauzi selanjutnya pada 21 Desember 2010 mengirimkan surat ke Menkeu Agus Martowardojo untuk minta izin agar pengadaan e-KTP menggunakan kontrak tahun jamak (multiyears), permohonan ini adalah permohonan kedua karena yang pertama ditolak.

Pada 21 Juni 2011, atas usulan Sugiharto, Gamawan Fauzi menetapkan Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp 5,81 triliun yang dilanjutkan dengan penandatanganan kontrak. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

Konflik India-Pakistan Tak Ganggu Ekspor Batu Bara

NERACA Jakarta – Perang dua negara bersaudara India dan Pakistan memberikan dampak terhadap ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Namun demikian, menurut…

KREDIT UMKM HANYA TUMBUH 1,95 PERSEN: - Lebih Rendah Ketimbang Saat Pandemi Covid-19

  Jakarta-Bank Indonesia menyoroti kondisi pertumbuhan kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) kini makin  melesu. Deputi Direktur Departemen Ekonomi…

Siap Pembahasan dengan DPR: - Pemerintah Finalisasi Draf RUU Perampasan Aset

NERACA Jakarta - Pemerintah menyatakan kesiapannya untuk segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menteri…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

Konflik India-Pakistan Tak Ganggu Ekspor Batu Bara

NERACA Jakarta – Perang dua negara bersaudara India dan Pakistan memberikan dampak terhadap ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Namun demikian, menurut…

KREDIT UMKM HANYA TUMBUH 1,95 PERSEN: - Lebih Rendah Ketimbang Saat Pandemi Covid-19

  Jakarta-Bank Indonesia menyoroti kondisi pertumbuhan kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) kini makin  melesu. Deputi Direktur Departemen Ekonomi…

Siap Pembahasan dengan DPR: - Pemerintah Finalisasi Draf RUU Perampasan Aset

NERACA Jakarta - Pemerintah menyatakan kesiapannya untuk segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menteri…

Berita Terpopuler