Oleh :Prof.Dr. Ir. Rokmin Dahuri, MS
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB
Sebuah bangsa bisa menjadi maju dan makmur, bila setiap komponen bangsa tersebut menyumbangkan kemampuan terbaiknya dan antar komponen itu saling bekerjasama secara produktif dan sinergis. Sebagai bagian integral dari sistem pembangunan nasional, sektor-sektor ekonomi kelautan dituntut untuk dapat menghadirkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (rata-rata di atas 7% per tahun), berkualitas (banyak menyerap tenaga kerja dan mensejahterakan rakyat), dan berkelanjutan (sustainable).
Dengan demikian, permasalahan masih tingginya pengangguran dan kemiskinan serta rendahnya daya saing ekonomi bangsa akan segera dapat terpecahkan, dan Indonesia yang maju, sejahtera dan berdaulat pun akan segera terwujud.
Namun, potensi sumberdaya kelautan yang sangat besar dan beragam hingga kini belum dimanfaatkan secara optimal. Diantaranya bioteknologi kelautan adalah teknik penggunaan biota laut atau bagian dari biota laut (seperti sel atau enzim) untuk membuat atau memodifikasi produk, memperbaiki kualitas genetik atau fenotip tumbuhan dan hewan, dan mengembangkan (merekayasa) organisme untuk keperluan tertentu, termasuk perbaikan lingkungan.
Dalam dua dekade terakhir Pertamina dan perusahaan migas swasta nasional maupun multinasional mengimpor seluruh kebutuhan mikroorganisme untuk membersihkan tumpahan minyak di lingkungan perairan laut dengan nilai mencapai US$100 juta per tahun. Betapa mubazir, kita hamburkan devisa negara untuk keperluan ini, sementara Indonesia adalah pusat mikroorganisme dunia. Potensi nilai ekonomi industri bioteknologi kelautan (marine biotechnology) sangatlah besar, diperkirakan empat kali lebih besar dari pasar semikonduktor dunia pada 2002.
Sebagai negara maritim dan kepuluan terbesar di dunia, sejatinya Indonesia memiliki potensi industri bioteknolgi kelautan terbesar di dunia, yang nilainya mencapai US$50 miliar per tahun (PKSPL-IPB, 1997). Hal ini dimungkinkan, karena Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia (mega marine biodiversity), baik pada tingkatan gen, spesies, maupun ekosistem.
Lebih dari itu, keanekaragaman hayati adalah merupakan basis dari industri bioteknologi. Dengan demikian, semakin tinggi keanekaragaman hayati laut yang dimiliki suatu bangsa, maka semakin besar pula potensi industri bioteknologi kelautan dari bangsa tersebut.
Sayangnya, setiap tahun kita justeru kehilangan devisa sekitar US$ 4 miliar untuk mengimpor berbagai produk industri bioteknologi kelautan, seperti gamat (teripang), omega-3, squalence, viagra, chitin, chitosan, spirulina, dan lain sebagainya. Bukan hanya raibnya devisa, kita pun tidak mendapatkan nilai tambah, lapangan kerja, dan sejumlah multiplier effects sebagai akibat dari belum berkembangnya industri bioteknologi kelautan di Nusantara tercinta ini. Selama ini, kita hanya mengekspor biota laut dalam keadaan mentah. Padahal di dalam negeri belum dimanfaatkan optimal.
Oleh : Hernanda Adi, Mahasiswa Uninus Bandung Realisasi kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan tren…
Oleh: Dhita Karuniawati, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Dalam menghadapi tantangan ekonomi global dan dinamika industri…
Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Advokat & Konsultan Hukum Maraknya berbagai pelanggaran hukum yang terjadi sejak beberapa tahun yang…
Oleh : Hernanda Adi, Mahasiswa Uninus Bandung Realisasi kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan tren…
Oleh: Dhita Karuniawati, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Dalam menghadapi tantangan ekonomi global dan dinamika industri…
Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Advokat & Konsultan Hukum Maraknya berbagai pelanggaran hukum yang terjadi sejak beberapa tahun yang…