NERACA
Jakarta -- Susut hasil pascapanen sektor perikanan masih terbilang. Nilainya diperkirakan sebesar 30%. Sementara, menurut estimasi FAO, nilainya mencapai 35%. Angka susut ini perlu dievaluasi mengingat telah banyak usaha dilakukan seperti implementasi Good Handling Practices (GHP), Good Manufacturing Practices (GMP), dan sistim rantai dingin, kata PLT Kepala Balitbang KP, Nilanto Perbowo, dalam keterangan pers.
Jika susut dibiarkan terjadi, menurut Plt. Ka Balitang KP, akan merupakan kerugian yang sangat besar. Berdasarkan data tangkapan ikan laut Indonesia tahun 2014 saja (sebesar 5,8 juta ton atau setara Rp 99 triliun), maka nilai susut hasil perikanan akan mencapai Rp 30 triliun (2 milyar USD).
Susut hasil pasca panen perikanan atau post-harvest fish loss (PHF) dapat diartikan sebagai berkurangnya jumlah sumber pangan perikanan yang dapat dikonsumsi, terjadi dalam suatu rantai distribusi, baik dari produksi atau penangkapan, penanganan pasca panen, pengolahan, serta pemasaran (grosir dan eceran). PHFL ini memberikan dampak yang signifikan terhadap nilai ekonomi komoditas. Kualitas dan keamanan pangan, lingkungan, serta keberlanjutan (sustainability) sumber daya perikanan yang berdampak pada pembangunan ekonomi.
Nilanto Perbowo menjelaskan, sektor perikanan sendiri mengalami dilematis. Di satu sisi, kita berupaya keras untuk terus meningkatkan produksi perikanan hingga mengalami overfishing di beberapa wilayah. Upaya untuk mengembalikan kondisi perikanan tangkap kembali ke tingkat lestari nya membutuhkan waktu yang panjang dan perlu kendali sistem yang intensif. Dengan demikian, harapan untuk dapat meningkatkan eksploitasi hasil tangkapan ikan di laut belum dapat terpenuhi.
Di sisi lain, tambahnya, permintaan dunia dan juga kebutuhan domestik terhadap komoditas ikan cenderung meningkat dan bergerak seiring dengan pertumbuhan penduduk. Kesenjangan muncul antara pasokan dan permintaan disertai dengan tidak terimplementasikannya good handling practices (GHP) dan good manufacturing practices (GMP) sehingga berimbas pada tingginya PHFL.”Dalam kondisi sumber daya yang masih terbatas dan permintaan komoditas perikanan yang tinggi, maka susut hasil pasca panen perikanan yang tinggi mengindikasikan perilaku boros dalam memanfaatkan sumber daya alam. Sudah barang tentu hal ini tidak boleh terjadi,” tegasnya.
Evaluasi PHFL, menurut Plt. Ka Balitbang KP, tidak hanya bertujuan untuk mengetahui dan mengoreksi nilai susut hasil yang sudah ada.Tetapi juga untuk mendapatkan informasi mengenai penyebab susut hasil, siapa yang terkena dampaknya, dan strategi apa yang digunakan untuk mereduksi atau bahkan meniadakan susut hasil. Hal yang tak kalah penting adalah untuk mengidentifikasi intervensi apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi atau bahkan mencegah terjadinya susut hasil.
Pentingnya PHFL tercantum dalam FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), sebuah panduan kebijakan yang mempromosikan praktik pengurangan susut hasil perikanan. Lebih dari itu, pemahaman yang baik terhadap masalah tersebut akan sangat membantu dalam menetapkan kebijakan-kebijakan lanjutannya, tambah Nilanto.
Balitbang KP memandang, upaya meningkatkan pemahaman terhadap susut hasil perikanan merupakan kebutuhan mendesak karena dapat berdampak pada ketahanan pangan dan ekonomi bangsa. Pengukuran susut hasil perikanan diperlukan dalam menetapkan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan untuk mencari solusi dan intervensi efektif untuk mengurangi susut hasil melalui rumusan regulasi (peraturan), pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan infrastruktur, akses dan layanan pasar.
Dalam konteks itulah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Balitbang KP menyelenggarakan National Workshop on Post-Harvest Fish Losses inIndonesi. BertemaFish Loss Assessments: Causes and Solution: Case studies in the Small-scale Fisheries in Indonesia, workshop bertujuan untuk memberikan informasi kepada para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan tentang pentingnya susut hasil dalam indust riperikanan dan bagaimana cara untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan terjadinya susut hasil di tingkat nasional (Indonesia), maupun di tingkat global.
Berlangsung di Hotel Santika Premiere Jakarta, Selasa (3/11), acara menampilkan tiga pembicara utama, yaitu: Yvette Diei-Ouadi (Fishery Industry Officer, FAO, Rome, Italy), R Ansen Ward (Fisheries Development Specialist, FAO, Rome, Italy), dan Susana Siar (Fishery Industry Officer, Fisheries and Aquaculture Department of the FAO).
Workshop ini diharapkan sebagai wadah inisiasi kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku perikanan dan LSM nasional/internasional, serta pemangku kepentingan untuk meningkatkan penanganan ikan dalam rangka mengurangi susut hasil dalam rantai distribusi. Isu penting lainnya adalah bagaimana peran perempuan dalam sektor perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perikanan, khususnya mengenai gambaran umum komunitas perempuan dalam upayanya untuk mandiri dan komitmen dalam menyuarakan kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan.
NERACA Jakarta - Pemerintah membuka peluang bagi investor asing untuk terlibat dalam pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) di…
NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong transisi energi dan dekarbonisasi sektor industri nasional sebagai bagian dari upaya menuju…
NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berkomitmen untuk terus meningkatkan peran kawasan industri sebagai pilar utama dalam pembangunan ekonomi nasional.…
NERACA Jakarta - Pemerintah membuka peluang bagi investor asing untuk terlibat dalam pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) di…
NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong transisi energi dan dekarbonisasi sektor industri nasional sebagai bagian dari upaya menuju…
NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berkomitmen untuk terus meningkatkan peran kawasan industri sebagai pilar utama dalam pembangunan ekonomi nasional.…