Negara Indonesia sebagai negara yang berkembang mampu menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat dan baik. Populasi penduduk yang kian bertambah tahun demi tahun sejalan dengan peningkatan permintaan produk pangan. Bertambahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam mengkonsumsi pangan yang bergizi turut memicu peningkatan permintaan produk pangan tersebut. Susu sebagai salah satu produk pangan bergizi yang mengalami peningkatan permintaan. Namun, kenyataannya produksi susu secara nasional belum mampu memenuhi permintaan susu dalam negeri. Tujuh puluh persen konsumsi susu nasional masih diimpor dari luar negeri. Sebagian besar kebutuhan susu di impor dari luar negeri seperti Australia, Selandia Baru dan negara Eropa.
Tingginya angka impor susu Indonesia belum sepenuhnya disebabkan oleh tren peningkatan konsumsi susu. Konsumsi susu masyarakat Indonesia baru mencapai 16.4 kg atau 15.97 liter per kapita per tahun pada tahun 2011. Kita masih tertinggal dengan negara-negara ASEAN. Malaysia dan Filipina misalnya mencapai angka 22.1 liter per kapita serta Thailand 31.7 liter per kapita per tahun. Tertinggal semakin jauh dengan sesama negara berkembang lainnya yakni, India yang telah mencapai angka 42.8 liter per kapita per tahun (FAO 2011). Namun demikian pertumbuhan rata-rata konsumsi susu baik susu bubuk dan susu segar mencapai 3.9% per kapita pertahun periode 2006 - 2010. Pertumbuhan tersebut merupakan angka tertinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya pada periode yang sama.
Melihat realita konsumsi susu nasional akan semakin meningkat. Pada tahun 2020 Industri Pengolahan Susu (IPS) diprediksi konsumsi susu masyarakat Indonesia akan menembus angka 6 milyar liter susu setara dengan 16.5 liter susu segar per hari. Melihat kondisi ini, maka Indonesia membutuhkan populasi sapi perah laktasi dalam jumlah yang sangat besar. Selain populasi sapi perah, ketersediaan lokasi peternakan, ketersediaan lahan produksi hijauan makanan ternak (HMT) dan ketersediaan pakan konsentrat merupakan faktor penting dalam mewujudkan swasembada susu pada tahun 2020.
Sentralisasi Sapi Perah
Kemajuan peternakan perah di Indonesia belum berjalan maksimal. Salah satunya peternakan sapi perah rakyat yang umumnya digeluti masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan peternakan skala rakyat Indonesia rata rata masih berada di skala kepemilikan 3 - 4 ekor sapi laktasi. Guna mendukung peternakan sapi perah yang ekonomis skala kepemilikan ternak minimal 7 ekor sapi laktasi per peternak. Selain itu, permasalahan pengembangan wilayah berbasis peternakan sapi perah di Indonesia belum menunjukkan pemerataan. Data Pusat Pendataan Sapi dan Kerbau tahun 2011 menunjukkan 0.592 juta ekor populasi sapi perah Indonesia masih berada di Pulau Jawa, baik perusahaan peternakan maupun peternakan skala rakyat. Tersentralisasinya populasi sapi perah selama ini di pulau Jawa yang memiliki luas 6.67% dari luas Indonesia mengakibatkan perkembangan sapi perah di Indonesia menjadi berjalan lambat. Sempit dan terbatasnya lokasi dan lahan hijauan makanan ternak di pulau Jawa menyebabkan semakin sulit meningkatkan populasi sapi perah di Indonesia. Oleh sebab itu, pengembangan peternakan sapi perah dalam mendukung langkah swasembada susu tahun 2020 harus dimulai dengan revitalisasi peternakan sapi perah rakyat dan menggalakkan pengembangan peternakan sapi perah rakyat di luar Pulau Jawa.
Salah satu strategi pengembangan sapi perah di Indonesia adalah melalui revitalisasi peternakan sapi perah rakyat di luar Jawa. Sebenarnya, pengembangan peternakan sapi perah rakyat sangat potensial dilaksanakan beberapa daerah di luar Pulau Jawa dengan mempertimbangkan kondisi ekologi, kondisi geografis, sosial budaya, politik, hukum dan keamanan. Berdasarkan pengamatan saya dan studi literatur, salah satu daerah luar pulau Jawa yang membuka peluang besar pengembangan sapi perah adalah Sumatera Utara. Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di luar Pulau Jawa yang memiliki populasi sapi perah. Populasi sapi perah di provinsi ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan seluruh provinsi yang ada di Pulau Sumatera. Pada tahun 2013 populasi sapi perah Sumatera Utara sebanyak 1901 ekor terdiri dari 453 ekor sapi jantan dan 1448 ekor sapi betina (BPS 2014).
Ada beberapa daerah pengembangan sapi perah di Sumatera Utara antara lain Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat. Namun saya melihat Kabupaten Karo menjadi pemegang peran strategis pengembangan sapi perah rakyat di Sumatera Utara dan di luar Jawa. Hal ini didasarkan kepada kesesuaian ekologi, kondisi geografis wilayah serta ketersediaan faktor pendukung usaha industri pengembangan sapi perah rakyat yang ada di kabupaten Karo. Kesesuaian pengembangan sapi perah rakyat ini didukung dengan kondisi suhu udara berkisar 16.4 ºC - 23.9 ºC dan terletak pada ketinggian 280-1420 dpl. Pandangan lain yang menjadikan Kabupaten Karo sebagai primadona pengembangan didasarkan daerah ini sebagai daerah sentra pertanian hortikultura yang menghasilkan limbah hasil pertanian dalam jumlah besar yang bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Hal hal diatas semakin menguatkan bahwa peternakan sapi perah mampu eksis di Kabupaten Karo.
Sebenarnya, telah banyak program yang telah digulirkan oleh pemerintah pusat maupun daerah dalam mendorong pengembangan sapi perah di kabupaten Karo ini, tetapi fakta dilapangan peternakan sapi perah rakyat ini mengalami stagnasi. Kalau dicermati populasi sapi perah di Karo selama lima tahun terakhir cenderung mengalami penurunan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo tahun 2014 tercatat penurunan populasi sapi perah antara 2009 - 2011 bila dikonversikan ke dalam persentase sebesar 35.46%. Pada tahun 2012 - 2013 kembali meningkat 29.07% dari populasi sebelumnya, tetapi secara umum data lima tahun terakhir menunjukkan kondisi penurunan populasi sebesar 16.70%. Kecenderungan penurunan populasi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi genetik dan lingkungan. Kondisi genetik dan lingkungan yang dimaksud adalah tingkat penerapan good dairy farming practices oleh masyarakat peternak.
Evaluasi Tata Laksana
Pengembangan sapi perah rakyat guna mendukung swasembada susu 2020 harus diawali dengan evaluasi kondisi eksisting oleh para pemangku kebijakan (stakeholder) bila ingin mencapai program yang tepat sasaran. Sayang rasanya, menggelontorkan dana APBN maupun APBD untuk mengembangkan sapi perah di kabupaten Karo bila tidak menyentuh akar dari permasalahan. Evaluasi kondisi eksisting mutlak dilakukan guna menentukan strategi yang paling cocok dalam pengembangan sapi perah rakyat. Evaluasi kondisi eksisting dimaksud adalah penerapan aspek teknis di lapangan meliputi masalah aspek kesehatan ternak, aspek pembibitan (breeding) dan reproduksi, aspek pakan ternak, aspek perkandangan ternak serta aspek pengelolaan.
Masalah aspek-aspek diatas harus di evaluasi secara menyeluruh di setiap peternakan sapi perah rakyat, sehingga akar permasalahan yang selama ini mungkin tidak muncul kepermukaan dan yang menjadikan stagnasi peternakan sapi perah rakyat dapat teratasi. Sejalan dengan penurunan populasi sapi perah tadi, tingkat produktivitas sapi perah rakyat di Kabupaten Karo juga sangat rendah. Hal ini tidak terlepas dari kondisi internal dan eksternal. Skala kepemilikan ternak, produksi hijauan makanan ternak, sumber daya manusia, sumberdaya lahan, daya beli masyarakat, dan ketersediaan infrastruktur penunjang serta kebijakan pemerintah pusat/daerah merupakan beberapa sebagian kecil faktor internal dan eksternal yang ada di Kabupaten Karo dan masih banyak lagi permasalahan internal dan eksternal yang bisa ditemukan dilapangan. Evaluasi aspek teknis dan kajian faktor internal dan eksternal mutlak harus dilakukan sebelum menggulirkan program pengembangan bila ingin program tepat sasaran. Selama ini kita cenderung mengatasi permasalahan sapi perah rakyat ini dengan gebrakan program yang tidak substantif.
Langkah seperti diatas, sebenarnya yang harus dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) di Kabupaten Karo bila ingin serius mengembangkan peternakan sapi perah rakyat ini. Langkah perbaikan tersebut tidak hanya di Kabupaten Karo saja, tetapi untuk seluruh daerah kabupaten/ kota di Indonesia yang sangat potensial dalam pengembangan sapi perah rakyat agar melakukan langkah perbaikan tatalaksana sebagai landasan mendasar dalam mencapai tujuan peningkatan populasi dan produktivitas susu baik secara regional maupun nasional. Hal ini juga diharapkan sebagai respon nyata daerah kabupaten/kota dalam mendukung pencapaian target swasembada susu tahun 2020 dalam kurun waktu yang kurang dari enam tahun lagi. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kita hanya akan menciptakan kegagalan swasembada di tahun 2020 mendatang. (analisadaily.com)
Oleh: Johana Lanjar W, Penyuluh Antikorupsi Utama Kemenkeu *) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyoroti wajah pendidikan nasional…
Oleh: Anggi Kusumawardhani, Pengamat Masalah Perburuhan Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2025 harus dimaknai sebagai momentum memperkuat…
Oleh: Ratna Dwi Putranti, Peneliti di Urban Catalyst Management Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, Pemungutan Suara Ulang…
Oleh: Johana Lanjar W, Penyuluh Antikorupsi Utama Kemenkeu *) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyoroti wajah pendidikan nasional…
Oleh: Anggi Kusumawardhani, Pengamat Masalah Perburuhan Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2025 harus dimaknai sebagai momentum memperkuat…
Oleh: Ratna Dwi Putranti, Peneliti di Urban Catalyst Management Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, Pemungutan Suara Ulang…