NERACA
Jakarta - Pasar mainan di Indonesia tiap tahunnya terus mengalami pertumbuhan. Pada tahun ini, paling tidak pasar mainan diperkirakan mampu tumbuh sekitar 10%-15%. Akan tetapi penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk mainan anak dianggap memberatkan pengusaha kecil di sektor ini.
Ketua Asosiasi Penggiat Mainan Edukatif dan Tradisional Indonesia (APMETI) Danang Sasongko mengatakan, pertumbuhan ini seiring berkembangnya pendidikan anak usia dini (Paud). "Bertambahnya tempat pendidikan usia dini membuat mainan anak dibutuhkan dan ini berdampak positif terhadap industri mainan di Indonesia," ujar dia di Jakarta, Selasa (1/4).
Dia menjelaskan, pada 2013, omzet penjualan mainan anak mencapai US$ 6 juta. Sedangkan industri mainan yang berada di bawah asosiasi tersebut mencatatkan penjualan sebesar Rp 100 miliar."Paud tentunya membutuhkan mainan anak yang bersifat edukatif," lanjutnya.
Namun, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk mainan anak yang tertuang dalam aturan nomor 24/M-Ind/PER/4/2013 dinilai menghambat pertumbuhan industri, terutama bagi produsen mainan usaha kecil menengah (UKM) yang bergerak pada sektor tersebut terancam keberadaannya.
Salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan UKM mainan melakukan uji laboratorium dan akses bahan baku yang tidak mengandung racun. Mahalnya uji laboratorium membuat banyak UKM tidak bisa mengujikan mainannnya, sehingga pada akhirnya hanya perusahaan besar yang akan bermain dalam pasar mainan."Biaya pengujian cat warna pada mainan membutuhkan sekitar US$ 40-US$ 60. Hal seperti inilah yang mengkhawatirkan kami," katanya.
Menurut Danang, pemerintah juga cenderung masih belum ketat melakukan pengawasan terhadap bahan baku mainan. Dia menilai pengetahuan akan bahan baku berbahaya harus diberikan pada pelaku usaha.
"Pemerintah juga harus mengawal industri mainan dari hulunya, bagaimana mereka memilih bahan baku. Misalnya cat yang tidak mengandung toxin. Harus dipastikan cat yang disuplai ke industri UKM mainan tersertifikasi tidak mengandung toxin," jelasnya.
Selain itu, penerapan SNI ini juga akan berimbas pada kenaikan harga jual mainan, baik yang diproduksi di Indonesia maupun impor. Maka dari itu, untuk solusi jangka pendek dia memaparkan pemerintah diharapkan mau memberikan bantuan dana terhadap UKM dalam melakukan uji laboratorium.
Sedangkan untuk jangka panjang, pemerintah harus memberikan edukasi dan akses kepada UKM untuk menggunakan bahan baku cat yang tidak mengandung racun. "Industri cat yang mensuplai produknya kepada produsen mainan juga sebaiknya sudah mendapatkan sertifikat aman," tandasnya.
Membanjirnya produk mainan anak dari Negeri Tirai Bambu di pasar dalam negeri memang sudah cukup banyak. Untuk itu, pemerintah akan melakukan sosialisasi kepada pedagang mainan anak untuk menjual produk yang memiliki label Standar Nasional Indonesia (SNI).
Menteri Perindustrian, M.S Hidayat mengatakan April tahun ini, penerapan SNI mainan anak mulai berlaku dan pemerintah tengah melakukan sosialisasi kepada para pedagang mainan. Jika tidak ada label SNI pada mainan, barang tersebut akan ditarik dari peredaran.
Sosialisasi SNI, menurut Hidayat, dilakukan di lima kota besar sebagai pasar mainan anak yang sangat potensial.“Lima kota besar tersebut adalah Jakarta, Bandung, Semarang, Batam, dan Surabaya. Pasar mainan anak di wilayah tersebut sangat besar,” paparnya.
Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, menyambut baik akan diterapkannya SNI untuk produk mainan yang beredar di pasar nasional. Upaya tersebut dapat menguntungkan produk mainan nasional yang saat ini terpuruk di pasar dalam negeri, akibat banyaknya mainan impor yang tidak jelas standarnya.
“Pemberlakuan SNI pada produk mainan anak semakin meningkatkan peluang untuk menjadikan Indonesia production base. Saat ini produksi produk mainan di Indonesia semakin meningkat,” ujarnya.
Hatta menambahkan, dengan aturan tersebut, produk mainan impor harus membuat basis produksinya di dalam negeri. “Hal tersebut berdampak positif tidak hanya bagi peningkatan investasi, tapi penciptaan lapangan kerja untuk rakyat Indonesia. Dampak lainnya, Indonesia mampu menjadi industri mainan terbesar di Asia,” tuturnya.
Di tempat berbeda, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krishnamurti mengatakan penerapkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24/M-IND/PER/4/2013. “Kita memahami, tidak mudah karena persebarannya luas dan pengusahanya juga beberapa skala kecil. Sehingga Kemendag memberikan tenggang waktu, bahwa pengawasan SNI wajib berlaku tapi pengawasan barang beredar baru akan kami lakukan per Mei 2014,” kata dia.
Bayu mengatakan, produsen yang barangnya sudah beredar sebelum 10 Oktober 2013, masih diberi kelonggaran hinggga Mei 2014. Namun bagi produsen mainan anak yang memproduksi barangnya setelah 10 Oktober 2013 sudah harus mengikuti ketentuan SNI tersebut.
Adapun ketentuan terkait SNI mainan anak diantaranya yaitu mainan anak tidak boleh memiliki tepi tajam, mainan anak juga tidak boleh mengandung bahan yang dikatergorikan setara formalin. Selain itu, mainan anak yang terpisah, harus disertai petunjuk jelas untuk memainkannya. “Mainan anak yang terpisah-pisah dalam ukuran sangat kecil, tidak boleh ditujukan untuk anak di bawah umur 3 tahun,” lanjut Bayu.
Di luar SNI, Kementerian Perdagangan juga menggandeng Komisi Perlindungan Anak dan Kementerian Pendidikan, mengedukasi produsen dan masyarakat terkait mainan yang mempengaruhi perilaku anak. Hal itu didasari kekhawatiran, banyaknya mainan anak yang membuat anak-anak tak banyak bergerak. “Seperti mainan yang menggunakan layar, game-game seperti itu,” kata Bayu.
Sementara itu, Kepala Pustan Kementrian Perindustrian, Tony Sinambela mengungkapkan kalau pencanangkan SNI untuk produk mainan dari 2010. Namun, pada 2011 kita mengalami banyak pro dan kontra. Akhirnya hingga hari ini pelaksanaan SNI belum efektif.
Tony mengaku kontra datang dari berbagai sisi, terutama dari sisi produsen dan distributornya sendiri. Dia mengatakan bahwa beberapa produsen dan distributor merasa keberatan perihal penambahan aturan ini. Terutama importir yang merasa produknya sudah mendapat standar keamanan internasional, seperti dari Eropa dengan logo CE (European Commission).
Lalu, yang menjadi kontra juga karena CE memiliki daftar 18 bahan kimia yang dilarang untuk produk mainan anak. Sedangkan Indonesia hanya memiliki 8. "Kita hanya perlu memastikan saja. Setiap negara memiliki aturan masing-masing. Barang yang kita ekspor ke Eropa pun tetap harus mendapat sertifikasi CE, begitu juga sebaliknya," ungkap Tony.
Triwulan I-2025, Kinerja produksi migas PHE Capai 1,043 Juta Barel Jakarta – PT Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai Subholding Upstream…
Indonesia – Korea Selatan Tingkatkan Kerja Sama di Sektor Industri Manufaktur Jakarta – Indonesia dan Korea Selatan berkomitmen untuk terus…
Lifting Migas Nasional Terus Ditingkatkan Balikpapan – Pemerintah terus berupaya dalam peningkatan produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional. Menteri…
Triwulan I-2025, Kinerja produksi migas PHE Capai 1,043 Juta Barel Jakarta – PT Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai Subholding Upstream…
Indonesia – Korea Selatan Tingkatkan Kerja Sama di Sektor Industri Manufaktur Jakarta – Indonesia dan Korea Selatan berkomitmen untuk terus…
Lifting Migas Nasional Terus Ditingkatkan Balikpapan – Pemerintah terus berupaya dalam peningkatan produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional. Menteri…