NERACA
Jakarta – Pemerintah disarankan untuk mengevaluasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) untuk memperbaiki distribusi fiskal.
Saran tersebut muncul menyusul pernyataan Gubernur Riau Abdul Wahid terkait tekanan kondisi keuangan daerah, termasuk tunda bayar senilai Rp274 miliar akibat turunnya produksi migas dan terkait Dana Bagi Hasil (DBH) dari pusat.
“Perlu koreksi mendasar terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. UU ini belum sepenuhnya menyelesaikan masalah lama," ujar Analis Ekonomi Politik Kusfiardi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (10/6).
Dalam laporan terbaru, Gubernur Riau mengusulkan ke Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar alokasi DBH dan pajak dihitung berdasarkan produksi aktual (take on product), bukan formula nasional. Kusfiardi menilai usulan ini masuk akal dan sejalan dengan semangat keadilan fiskal dalam desentralisasi.
Menurut dia, bila kontribusi migas dan sawit Riau menyumbang signifikan pada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, namun daerah justru mengalami tunda bayar, menandakan terdapat masalah dalam distribusi fiskal yang perlu diatasi.
Riau mengalami penurunan produksi minyak dari 400 ribu menjadi sekitar 140–160 ribu barel per hari. Ditambah dengan harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang realisasinya hanya 60–65 dolar AS per barel, di bawah asumsi APBN 80 dolar AS per barel. Kondisi ini dianggap menambah tantangan dalam keterbatasan ruang fiskal daerah.
Selain sektor migas, lanjut Kusfiardi, tekanan juga datang dari sektor kelapa sawit yang mulai menunjukkan tren penurunan, padahal keduanya merupakan sumber utama pendapatan daerah. Hal ini dinilai menciptakan kondisi fiskal daerah yang tidak stabil, tidak berkelanjutan, dan rentan terhadap fluktuasi global.
Kusfiardi pun menyarankan pemerintah pusat untuk memberi insentif atau fleksibilitas yang proporsional kepada daerah. “Koreksi regulasi fiskal adalah kunci untuk mencegah krisis keuangan daerah yang lebih luas,” tuturnya.
Ia juga berpendapat evaluasi sistem perimbangan fiskal harus dimulai dari penyesuaian formula DBH berdasarkan data produksi aktual dan kontribusi sektoral. Kemudian, pemberian ruang fleksibilitas fiskal untuk daerah penghasil komoditas strategis dan perlindungan fiskal dari volatilitas harga komoditas global melalui skema stabilisasi pendapatan juga perlu menjadi perhatian.
“Saat ini tidak cukup hanya membahas keadilan fiskal, tapi juga kedaulatan fiskal daerah. Untuk itu revisi UU Perimbangan Keuangan Pusat Daerah perlu segera dilakukan,” ujar Kusfiardi.
NERACA Jakarta -PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) memutuskan perubahan Direksi dan Dewan Komisaris.…
NERACA Jakarta – PLN Icon Plus membuat program menarik yakni menukarkan sampah menjadi kuota internet. Menurut Coporate Secretary PLN…
NERACA Jakarta - Penghargaan TOP CSR Awards 2025 diberikan kepada sejumlah perusahaan terkemuka dari berbagai sektor bisnis di Indonesia.…
NERACA Jakarta -PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) memutuskan perubahan Direksi dan Dewan Komisaris.…
NERACA Jakarta – PLN Icon Plus membuat program menarik yakni menukarkan sampah menjadi kuota internet. Menurut Coporate Secretary PLN…
NERACA Jakarta - Penghargaan TOP CSR Awards 2025 diberikan kepada sejumlah perusahaan terkemuka dari berbagai sektor bisnis di Indonesia.…