Kondisi warga kelas menengah di Indonesia tampaknya semakin terjepit. Sudah berpenghasilan pas-pasan di tengah tekanan ekonomi yang terus meningkat, namun tidak cukup miskin untuk mendapatkan bantuan seperti Bansos dari pemerintah. Fakta biaya hidup meningkat membuat kelas menengah harus terus mengeluarkan tabungan mereka.
Kelas menengah sekarang seolah sulit untuk bermimpi memiliki tabungan, apalagi investasi. Mereka terkadang harus menempuh jalan gali lubang tutup lubang melalui pinjaman online (pinjol) ilegal yang dipandang sebagai penyelamat di saat kondisi susah, meski dengan bunga pinjaman sangat besar sekali.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan jumlah kelas menengah Indonesia terus turun dalam lima tahun terakhir. Pada 2019, kelas menengah masih berjumlah 57,33 juta orang, dengan kontribusi 43,3% terhadap total konsumsi rumah tangga. Pada 2024, jumlahnya menyusut menjadi 47,8 juta, dengan sumbangan hanya 36% ke konsumsi. Proporsi kelas menengah kini hanya 17,13% dari total populasi atau turun dari 21,45% pada lima tahun silam.
Di saat yang sama, Pemerintah boleh-boleh saja mengekspose telah menjalankan beragam program untuk meningkatkan kesejahteraan kelas menengah. Seperti, pemberian subsidi dan kompensasi serta insentif pajak, misalnya PPN yang ditanggung pemerintah untuk pembelian rumah. Selain itu, ada bantuan iuran kesehatan, program Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan jaring pengaman melalui Kartu Prakerja untuk melindungi seseorang yang kehilangan pekerjaan.
Namun, belum lagi program-program itu terbukti efektif menahan laju kemerosotan kelas menengah, pemerintah sudah menjatuhkan 'bom waktu' bagi mereka. 'Bom' itu seperti rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025, juga kewajiban potongan untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang akan berlaku pada 2027.
Belum lagi, ada wacana pemerintah akan mewajibkan asuransi kendaraan pihak ketiga (third party liability/TPL). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga berencana memperketat penyaluran subsidi BBM yang dianggap tidak tepat sasaran mulai 1 Oktober.
Ironisnya, pengetatan subsidi BBM idealnya dilanjutkan langkah pemerintah mendorong masyarakat untuk beralih ke transportasi umum. Namun, dalam kurun waktu berdekatan, para pengguna transportasi umum pun dibuat meradang karena ada wacana Kemenhub mengubah skema tarif kereta rel listrik (KRL) berbasis nomor induk kependudukan (NIK), meski konon akhirnyya tarif KRL cenderung naik Rp 1.000 yang dipandang ckup rasional .
Jelas, nasib Indonesia bermimpi menjadi negara maju, bisa jadi kandas bila tidak ada solusi mengatasinya. Padahal, salah satu ciri negara maju ialah komposisi penduduk didominasi oleh kelas menengah. Sebab, kelas menengah berperan untuk meningkatkan konsumsi yang bakal mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi, separuh lebih pertumbuhan ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga kelas menengah.
Dengan begitu, perilaku belanja kaum menengah pun diharapkan meningkat. Jika ekonomi meningkat, kesejahteraan akan meningkat pula. Bila kesejahteraan meningkat, rakyat akan naik kelas. Kini, jangankan naik kelas, bertahan di kelas menengah saja sudah tidak bisa.
Karena itu, wajar kiranya bila muncul kegelisahan dari kelas menengah. Sampai muncul istilah nafas sudah sesak namun kondisi belum berubah. Belum lagi bila melihat data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terkait dengan pertumbuhan tabungan. Pertumbuhan tabungan masyarakat dengan nilai kurang dari Rp100 juta terus berkurang. Kondisi tersebut kontradiktif dengan tabungan di atas Rp5 miliar yang meningkat signifikan.
Kenyataan itu seakan memperkuat anggapan orang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Adapun yang di tengah hanya akan terjepit sembari menunggu giliran ditarik menuju jurang kemiskinan. Sebab itu, pemerintah mesti peduli dengan beragam data, fakta, dan analisis kondisi kelas menengah kini. Kebiasaan pemerintah menyangkal dengan kerap menyebut bahwa data penurunan kelas menengah amat mungkin salah, mesti diakhiri. Itupun pemerintah selalu tenang berdalih di balik argumentasi bahwa penurunan kelas menengah itu fenomena global, terjadi di mana-mana, bukan hanya di Indonesia, cuma membuat kelas menengah kian resah, bahkan marah.
Ketimbang sibuk membantah fakta di depan mata, akan lebih baik bila pemerintah mengevaluasi berbagai kebijakan yang berpotensi makin mencekik kelas menengah. Berbagai kebijakan pungutan, meskipun sudah diamanatkan oleh undang-undang, bukan berarti tidak boleh dikoreksi. Apalagi, kini muncul gejala sejumlah UU diloloskan secepat kilat, dibahas dalam senyap, tanpa melibatkan partisipasi publik secara meluas.
Di tengah dinamika global yang semakin kompleks dan potensi pelemahan ekonomi dunia, Indonesia justru menunjukkan sinyal ketahanan dan optimisme…
Dalam langkah besar membangkitkan ekonomi kerakyatan dan memperkuat fondasi keuangan dari tingkat desa, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan dukungannya…
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terus menunjukkan komitmen yang…
Di tengah dinamika global yang semakin kompleks dan potensi pelemahan ekonomi dunia, Indonesia justru menunjukkan sinyal ketahanan dan optimisme…
Dalam langkah besar membangkitkan ekonomi kerakyatan dan memperkuat fondasi keuangan dari tingkat desa, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan dukungannya…
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terus menunjukkan komitmen yang…