BERBEDA DENGAN BPJS KESEHATAN - KRIS Memiliki 12 Kriteria Layanan Pasien

Jakarta-Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan terdapat beda pelayanan antara kelas rawat inap standar (KRIS) dengan kelas layanan 1,2, dan 3 BPJS Kesehatan. KRIS memiliki 12 kriteria sesuai Perpres No 59/2024 berlaku efektif mulai 30 Juni 2025 dan sekitar 2.000 rumah sakit (RS) yang memenuhi kriteria KRIS.

NERACA

"(KRIS) yaitu mencoba mengatur ventilasi, pencahayaan, kelengkapan tempat tidur seperti di sampingnya ada nakes (tenaga kesehatan), tempat tidur serta perawatan pasien," kata Siti Nadia Tarmizi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes seperti dikutip dari CNN Indonesia TV, Rabu (15/6).


Lalu, kelengkapan tempat tidur, adanya nakes per tempat tidur, temperatur ruangan, serta ruang rawat dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi. Kemudian, kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur, tirai/partisi antar tempat tidur, kamar mandi dalam ruangan rawat inap, kamar mandi memenuhi standar aksesibilitas, dan outlet oksigen.

Menurut Nadia, pada KRIS dalam satu ruangan rawat inap maksimal hanya boleh diisi empat tempat tidur. Hal ini berbeda dengan BPJS Kesehatan kelas 3 yang masih ditemukan 15 tempat tidur dalam satu ruangan. "Kapasitas ruangan maksimal empat tempat tidur. Saat ini (di kelas BPJS Kesehatan) ada yang 6, 10, bahkan 15 (tempat tidur)," ujarnya.

Dia juga menyebut di kelas 3 BPJS Kesehatan masih ditemukan tempat tidur berbahan kayu. Padahal, tipe tempat tidur itu tidak sesuai standar perawatan di rumah sakit. Sedangkan, dalam KRIS kualitas tempat tidur menjadi perhatian.

Lebih lanjut, Nadia juga mengatakan dalam kelas BPJS Kesehatan masih ada kamar mandi yang berada di luar ruangan rawat inap. Kamar mandi itu pun digunakan bersama oleh pasien lain di luar ruang rawat inap.

Nah, di KRIS kamar mandi harus berada di ruangan yang sama dengan tempat rawat inap. Sehingga, kamar mandi bisa digunakan secara terbatas oleh pasien bersangkutan. "Sekarang (kamar mandi) masih ada yang sama-sama ada di luar, dan gak dipisah kamar mandi perempuan dan lak-laki. Jadi kami perbaiki dengan KRIS," ujarnya.

Sebelumnya Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti kompak menegaskan kehadiran KRIS bukan menghapus kelas yang ada selama ini. Melainkan ada peningkatan dalam bentuk standardisasi layanan yang mengacu pada 12 kriteria.

Penerapan kelas standar diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid ini diteken Presiden Joko Widodo pada Rabu (8/5).

Di sisi lain, masih ada sekitar 200 rumah sakit yang jauh dari kriteria. Hal ini kan menjadi perhatian pemerintah. "Ada 208 yang masih jauh dari kriteria dan ini jadi fokus kami di 2024 dan 2025," ujarnya.

Kurang Tempat Tidur

Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Iing Ichsan Hanafi mengatakan RS swasta anggotanya memang sudah bersiap memenuhi 12 kriteria kelas standar. Salah satu yang diatur adalah maksimal 4 tempat tidur dalam satu ruangan untuk rawat inap dengan jarak antar-tepi minimal 1,5 meter.

"Karena maksimal 4 tidur, yang tadinya 5 tempat tidur-6 tempat tidur, dikurangi. Artinya akan ada penurunan jumlah tempat tidur di rumah sakit tersebut," ujarnya.

"Ataupun misal jarak antar-tempat tidur tidak terpenuhi (minimal 1,5 meter), akhirnya yang tadinya 4 tempat tidur bisa berubah jadi 3 tempat tidur," sambung Iing.

Iing menekankan bakal ada risiko dari penerapan 12 kriteria tersebut. Itu meliputi risiko dalam aspek biaya, investasi, hingga penurunan jumlah tempat tidur. "Kecuali, rumah sakit yang membangun fasilitas baru untuk menambah tempat tidur," ucapnya.

Meski begitu, Iing mengatakan lebih dari 70 persen RS anggota ARSSI siap menjalankan kelas standar tersebut. Namun, dia memberikan beberapa catatan utama. Pertama, dia menegaskan meski mayoritas siap, kemampuan setiap RS swasta berbeda. Kedua, Iing mempertanyakan soal tarif yang akan diberlakukan dalam KRIS. "Kalau nanti KRIS diberlakukan, dibayarnya di tarif yang mana nih? Kalau sudah murni berlaku kelas standar (KRIS), tarifnya ini yang mana? Ini yang perlu ada aturan turunannya," ujarnya.

"Kami mengharapkan tentunya begitu kelas standar, inginnya (menggunakan) tarif di kelas 1," sambung dia.

Ketiga, Iing mempertanyakan aturan jika seseorang ingin naik kelas. Ia meminta adanya kejelasan aturan koordinasi manfaat KRIS terkait pihak yang ingin naik kelas perawatan dari satu ruangan berisi 4 tempat tidur menjadi 1 tempat tidur-2 tempat tidur saja. "Terakhir (keempat), ini perlu sosialisasi kepada para peserta BPJS supaya mereka juga mengerti apa yang dimaksud dengan kelas standar ini," ujar Iing.

Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengimbau pengelola rumah sakit agar tak memangkas jumlah tempat tidur usai aturan KRIS dirilis.

Menurut dia, jatah tempat tidur yang dikurangi bakal berdampak pada antrean pasien dalam mengakses layanan rawat inap. "Pesan saya, jangan dikurangi akses dengan mengurangi jumlah tempat tidur. Pertahankan jumlah tempat tidur dan penuhi persyaratannya dengan 12 kriteria," ujarnya. Sedangkan penetapan manfaat, tarif, dan iuran baru akan diatur paling telat 1 Juli 2025 mendatang.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti melihat implementasi KRIS punya untung dan rugi yang harus dicermati. Ia mengamini bahwa standar pelayanan kesehatan akhirnya bisa dinikmati setara, baik si kaya maupun miskin.

Akan tetapi, ada kekhawatiran kualitas pelayanan yang selama ini dibagi dalam kelas-kelas tertentu bakal drop. Oleh karena itu, Esther meminta keseriusan pemerintah mengecek secara rutin implementasi KRIS di lapangan nantinya. "Harus dipastikan adanya KRIS ini semua lapisan masyarakat mendapat fasilitas yang sama," ujarnya.

Esther juga mewanti-wanti soal nasib iuran yang disetor masyarakat. Karena selama ini ada perbedaan nominal angka yang dibayarkan peserta BPJS Kesehatan setiap bulannya.

Kelas 1 BPJS Kesehatan selama ini membayar iuran Rp150 ribu per orang per bulan dan kelas 2 merogoh Rp100 ribu setiap bulannya. Sedangkan kelas 3 cukup mengeluarkan Rp35 ribu berkat subsidi Rp7.000 dari pemerintah karena mereka seharusnya membayar Rp42 ribu.

"Oleh karena itu, perlu ditentukan besarnya iuran yang bisa affordable bagi kelompok masyarakat miskin agar tetap bisa mengakses KRIS tersebut," saran Esther. "Karena jika dilihat, ada perbedaan dari sisi layanan kesehatan, lokasi, dan manfaat kesehatannya," ujarnya. bari/mohar/fba


BERITA TERKAIT

KEMENTERIAN PKP SIAP WUJUDKAN PROGRAM 3 JUTA RUMAH - Pengusaha Minta Birokrasi KMP Tak Menghambat

Jakarta-Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP)  Maruarar Sirait (Ara) mengaku siap untuk mewujudkan Program 3 Juta Rumah yang dicanangkan oleh…

Lahan dan Teknologi Jadi Tantangan Kedaulatan Pangan

NERACA Jakarta - Pengamat Kebijakan Publik Dr Anzori Tawakal menyebutkan, persoalan lahan dan teknologi inovasi menjadi tantangan yang harus segera…

JANJI PRESIDEN PRABOWO SUBIANTO: - Pangkas Kemiskinan dan Miliki Ketahanan Pangan

Jakarta-Presiden Prabowo Subianto dalam pidato perdananya di Gedung DPR/MPR-RI, Jakarta (20/10), berjanji bakal memangkas kemiskinan selama masa pemerintahannya. Dia percaya…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

KEMENTERIAN PKP SIAP WUJUDKAN PROGRAM 3 JUTA RUMAH - Pengusaha Minta Birokrasi KMP Tak Menghambat

Jakarta-Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP)  Maruarar Sirait (Ara) mengaku siap untuk mewujudkan Program 3 Juta Rumah yang dicanangkan oleh…

Lahan dan Teknologi Jadi Tantangan Kedaulatan Pangan

NERACA Jakarta - Pengamat Kebijakan Publik Dr Anzori Tawakal menyebutkan, persoalan lahan dan teknologi inovasi menjadi tantangan yang harus segera…

JANJI PRESIDEN PRABOWO SUBIANTO: - Pangkas Kemiskinan dan Miliki Ketahanan Pangan

Jakarta-Presiden Prabowo Subianto dalam pidato perdananya di Gedung DPR/MPR-RI, Jakarta (20/10), berjanji bakal memangkas kemiskinan selama masa pemerintahannya. Dia percaya…