Jakarta-Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti kompak menegaskan kehadiran KRIS (Kamar Rawat Inap Standar) bukan menghapus kelas yang ada selama ini. Melainkan terdapat peningkatan dalam bentuk standardisasi yang mengacu pada 12 kriteria.
NERACA
Penerapan kelas standar baru (KRIS) diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres 59/2024 sudah ditandatangani Presiden Jokowi pada Rabu (8/5).
Menurut pasal 103B ayat 1 beleid itu, penerapan KRIS paling lambat 30 Juni 2025. Sedangkan penetapan manfaat, tarif, dan iuran bakal diatur paling telat 1 Juli 2025 mendatang.
Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, sistem KRIS memiliki 12 kriteria. KRIS bakal berlaku efektif mulai 30 Juni 2025. Saat ini sudah ada 2.000 rumah sakit yang sudah memenuhi kriteria KRIS.
Di sisi lain, masih ada sekitar 200 rumah sakit yang jauh dari kriteria. Hal ini kan menjadi perhatian pemerintah. "Ada 208 yang masih jauh dari kriteria dan ini jadi fokus kami di 2024 dan 2025," ujar Nadia, pekan ini.
"(KRIS) yaitu mencoba mengatur ventilasi, pencahayaan, kelengkapan tempat tidur seperti di sampingnya ada nakes (tenaga kesehatan), tempat tidur serta perawatan pasien," ujar Nadia seperti dikutip dari CNNIndonesia TV, Rabu (15/5).
Lebih rinci, 12 kriteria itu yakni komponen bangunan yang digunakan tidak memiliki tingkat porositas yang tinggi, ventilasi udara, dan pencahayaan ruangan.
Lalu, kelengkapan tempat tidur, adanya nakes per tempat tidur, temperatur ruangan, serta ruang rawat dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi. Kemudian, kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur, tirai/partisi antar tempat tidur, kamar mandi dalam ruangan rawat inap, kamar mandi memenuhi standar aksesibilitas, dan outlet oksigen.
Nadia mengatakan pada KRIS dalam satu ruangan rawat inap maksimal hanya boleh diisi empat tempat tidur. Hal ini berbeda dengan BPJS Kesehatan kelas 3 yang masih ditemukan 15 tempat tidur dalam satu ruangan. "Kapasitas ruangan maksimal empat tempat tidur. Saat ini (di kelas BPJS Kesehatan) ada yang 6, 10, bahkan 15 (tempat tidur)," ujarnya.
Dia juga menyebut di kelas 3 BPJS Kesehatan saat ini masih ditemukan tempat tidur berbahan kayu. Padahal, tipe tempat tidur itu tidak sesuai standar perawatan di rumah sakit. Sedangkan, dalam KRIS kualitas tempat tidur menjadi perhatian.
Lebih lanjut, Nadia juga mengatakan dalam kelas BPJS Kesehatan masih ada kamar mandi yang berada di luar ruangan rawat inap. Kamar mandi itu pun digunakan bersama oleh pasien lain di luar ruang rawat inap.
Nah, di KRIS kamar mandi harus berada di ruangan yang sama dengan tempat rawat inap. Sehingga, kamar mandi bisa digunakan secara terbatas oleh pasien bersangkutan. "Sekarang (kamar mandi) masih ada yang sama-sama ada di luar, dan gak dipisah kamar mandi perempuan dan lak-laki. Jadi kami perbaiki dengan KRIS," katanya.
Naik Kelas Rawat
Salah satu yang diatur dalam aturan baru ini (KRIS) adalah peserta BPJS Kesehatan dibolehkan naik ruang kelas rawat inap di atas kelas peserta. Nantinya, peserta membayar selisih harga antara biaya yang ditanggung BPJS Kesehatan dengan biaya peningkatan akibat naik kelas perawatan.
"Peserta dapat meningkatkan perawatan yang lebih tinggi dari haknya termasuk rawat jalan eksekutif dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan atau membayar selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan pelayanan," bunyi Pasal 51 ayat 1 Perpres itu.
Namun, tak semua peserta BPJS Kesehatan dapat meningkatkan kelas perawatan yang diinginkan. Misalnya, peserta kelas 3 yang menerima subsidi iuran dari pemerintah atau peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang seluruh biayanya ditanggung negara. Sedangkan, kelas 2 dan 1 dapat meningkatkan kelas perawatan dengan mengikuti aturan yang berlaku, seperti bersedia membayar selisih biaya yang ditimbulkan akibat perubahan itu.
Adapun peserta BPJS Kesehatan yang tidak bisa naik kelas rawat inap:
a. Peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) Jaminan Kesehatan;
b. Peserta BP dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas 3;
c. Peserta PBPU (Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah) dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas 3;
d. Peserta PPU (Pekerja Penerima Upah) yang mengalami PHK dan anggota keluarganya; atau
e. Peserta yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, implementasi KRIS punya untung dan rugi yang harus dicermati. Dia mengamini bahwa standar pelayanan kesehatan akhirnya bisa dinikmati setara, baik si kaya maupun miskin.
Akan tetapi, ada kekhawatiran kualitas pelayanan yang selama ini dibagi dalam kelas-kelas tertentu bakal drop. Oleh karena itu, Esther meminta keseriusan pemerintah mengecek secara rutin implementasi KRIS di lapangan nantinya. "Harus dipastikan adanya KRIS ini semua lapisan masyarakat mendapat fasilitas yang sama," ujarnya pekan ini.
Esther juga mewanti-wanti soal nasib iuran yang disetor masyarakat. Karena selama ini ada perbedaan nominal angka yang dibayarkan peserta BPJS Kesehatan setiap bulannya.
Kelas 1 BPJS Kesehatan selama ini membayar iuran Rp150 ribu per orang per bulan dan kelas 2 membayar Rp100 ribu setiap bulannya. Sedangkan kelas 3 cukup mengeluarkan Rp35 ribu berkat subsidi Rp7.000 dari pemerintah karena mereka seharusnya membayar Rp42 ribu.
"Oleh karena itu, perlu ditentukan besarnya iuran yang bisa affordable bagi kelompok masyarakat miskin agar tetap bisa mengakses KRIS tersebut," saran Esther. "Karena jika dilihat, ada perbedaan dari sisi layanan kesehatan, lokasi, dan manfaat kesehatannya," ujarnya.
Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) menegaskan mau tak mau tempat tidur di RS bisa berkurang imbas adanya pemberlakuan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Ketua Umum ARSSI Iing Ichsan Hanafi mengatakan RS swasta anggotanya memang sudah bersiap memenuhi 12 kriteria kelas standar. Salah satu yang diatur adalah maksimal 4 tempat tidur dalam satu ruangan untuk rawat inap dengan jarak antar-tepi minimal 1,5 meter. "Karena maksimal 4 tidur, yang tadinya 5 tempat tidur-6 tempat tidur, dikurangi. Artinya akan ada penurunan jumlah tempat tidur di rumah sakit tersebut," ujarnya. bari/mohar/fba
Jakarta-Jumlah outstanding utang pinjaman online (Pinjol) perseorangan di Indonesia tercatat sudah mencapai Rp 75,44 triliun Per Maret 2025 ini.…
NERACA Raja Ampat – Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto terus memperkuat perlindungan terhadap kawasan konservatif…
NERACA Jakarta – Kembangkan potensi ekonomi syariah lebih optimal, Bank Indonesia (BI) berupaya memperkuat pengembangan melalui tiga bentuk strategi…
Jakarta-Jumlah outstanding utang pinjaman online (Pinjol) perseorangan di Indonesia tercatat sudah mencapai Rp 75,44 triliun Per Maret 2025 ini.…
NERACA Raja Ampat – Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto terus memperkuat perlindungan terhadap kawasan konservatif…
NERACA Jakarta – Kembangkan potensi ekonomi syariah lebih optimal, Bank Indonesia (BI) berupaya memperkuat pengembangan melalui tiga bentuk strategi…