Gejolak Harga Beras

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi

Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela antre untuk mencoblos di TPS, tetapi kini rakyat antre untuk mendapatkan beras murah. Sungguh ironis, republik yang pernah dikenal sebagai negara agraris ternyata tidak mampu lagi meraih predikat swasembada pangan dan kini semakin terbebani kebutuhan impor beras. Bahkan, sejumlah komoditas juga semakin sering di impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Padahal, imbas dari realitas ini tidak saja mereduksi ketahanan pangan tapi juga neraca perdagangan dan defisit anggaran. Oleh karena itu, harus ada evaluasi secara komprehensif mengapa fakta kelangkaan beras dan lonjakan harganya cenderung terus terjadi setiap tahun, sementara di sisi lain ramadhan - lebaran biasanya juga terbelit laju inflasi musiman, terutama yang dipicu oleh fluktuasi kenaikan harga sembako.

Fluktuasi harga beras cenderung semakin dilematis selama 4 bulan terakhir dan untuk harga beras premium kini mencapai Rp.18.000 sedangkan untuk medium Rp.14.000. Pastinya harga beras yang naik berdampak sistemik terhadap semua sektor, apalagi fakta yang ada juga menegaskan bahwa perilaku konsumsi pangan di republik ini cenderung ‘semego’ yang artinya belum merasa makan atau belum merasa kenyang jika belum makan nasi.

Padahal kasus seperti ini bisa sangat runyam karena kebutuhan konsumsi terhadap beras - pangan akan cenderung terus meningkat selaras dengan pertumbuhan kuantitas dan juga kualitas penduduk termasuk juga fakta dari bonus demografi. Oleh karena itu fluktuasi dari harga beras harus diantisipasi sehingga tidak memicu gejolak sosial, termasuk ancaman di balik keresahan publik akibat dari lonjakan harga beras. Betapa tidak, harga beras jelas sangat sensitif terhadap laju inflasi.

Apa yang terjadi dengan lonjakan harga beras tentunya tidak bisa terlepas dari persoalan permintaan dan penawaran sesuai dengan hukum pasar. Artinya, stabilitas permintaan di saat normal tentu akan bisa diprediksi dengan cermat (ceteris paribus) sesuai teori untuk memastikan pasokan di pasar. Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan ada problem dari penawaran yang dipicu oleh banyak faktor, baik itu internal atau eksternal. Realitas dari permintaan terkait dengan kebutuhan konsumsi beras oleh masyarakat.

Data BPS di sektor pangan menegaskan jika kebutuhan nasi rata-rata per orang 250 gram beras setiap hari, maka kebutuhan beras nasional per hari 61.875 dan kebutuhan setahun 22,6 juta ton beras. Kebutuhan ini secara matematis seharusnya bisa dipenuhi dengan pertanian dalam negeri karena republic ini selain dikenal sebagai negara maritim, juga negara agraris dan pastinya sebutan gemah ripah lohjinawi memberikan peluang subur di pertanian pangan.

Konsekuensi dari pertumbuhan penduduk, baik dari aspek kuantitas dan kualitas maka kebutuhan konsumsi terhadap pangan dan beras cenderung terus meningkat. Pada tahun 2002 rerata konsumsi beras per minggu penduduk di republik ini mencapai 1,57 kg per orang dan di tahun 2017 naik menjadi 1,92 kg per orang. Oleh karena itu, kapasitas dari produksinya harus ditingkatkan, baik melalui intensifikasi dan juga ekstensifikasi.

Selain itu, juga perlu ada diversifikasi pangan, tidak hanya fokus kepada beras sehingga hal ini bisa mereduksi predikat keperilakuan ‘semego’. Diversifikasi juga bisa dilakukan lewat edukasi dan literasi, termasuk melibatkan dokter dan ahli gizi, termasuk missal memberi pemahaman bahwa konsumsi beras yang berlebihan bisa lebih rentan terhadap diabetes. Artinya, mereduksi tingginya permintaan bukan berarti mengurangi konsumsinya secara drastis tetapi memunculkan kesadaran kolektif untuk berperilaku gaya hidup sehat.

Jadi, problem perberasan nasional setiap tahun harus diantisipasi sedari awal, termasuk juga perluasan pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi sehingga produksi beras nasional terjamin, bukan hanya dari aspek produksi tapi juga kualitasnya. Argumen yang mendasari karena fluktuasi harga beras sangat sensitif terhadap gejolak sosial, terutama menyangkut urusan perut. Selain itu kepastian pasokan juga mengacu pertimbangan dari iklim meski di sisi lain perubahan iklim tidak harus menjadi kambing hitam dari persoalan klasik ini.

BERITA TERKAIT

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

BERITA LAINNYA DI

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…