Oleh: Didik Yandiawan, Penyuluh Pajak di KPP Madya Jakarta Timur *)
Pada 29 November - 2 Desember 2008 merupakan sebuah periode bersejarah. Saat itu, Qatar menjadi tuan rumah penyelenggaraan International Conference of Financing for Development (IFD). Di sana, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional tersebut sebagai tindak lanjut dari implementasi Konsensus Monterrey 2002 (UN-DESA: 2009).
IFD menghasilkan The Doha Declaration on Financing for Development 2009; sebuah deklarasi komitmen terhadap penguatan aspek perekonomian dunia. Dokumen tersebut antara lain mengamanatkan empat elemen perubahan sistem perpajakan pada negara berkembang. Pertama, peningkatan penerimaan pajak melalui modernisasi sistem administrasi perpajakan. Kedua, peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam pemungutan pajak. Ketiga, perluasan basis pajak. Keempat, penanganan efektif upaya penghindaran pajak.
Berselang 15 tahun dari The Doha Declaration, Pemerintah resmi menerbitkan beleid baru mengenai Pemotongan PPh Pasal 21. Pada 27 Desember 2023, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi (PP-58 Tahun 2023). Beleid tersebut resmi berlaku per 1 Januari 2024.
Tujuan Penerbitan PP-58/2023
Berlakunya Undang Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menyebabkan adanya perubahan tarif pajak penghasilan WP orang pribadi dalam negeri. Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan penyesuaian tarif pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima atau diperoleh WP orang pribadi.
Pemerintah menyadari bahwa pemotongan PPh Pasal 21 saat ini memiliki berbagai skema penghitungan yang berpotensi membingungkan WP. Selain itu, secara administrasi perpajakan dianggap memberatkan bagi WP yang berusaha untuk melakukan kewajiban perpajakannya dengan benar. Sehingga, dalam rangka mendorong tingkat kepatuhan WP terhadap pemenuhan kewajiban pemotongan PPh Pasal 21, Pemerintah memberikan kemudahan teknis penghitungan dan administrasi pemotongan PPh Pasal 21.
Sebagaimana diketahui, PPh Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh WP orang pribadi dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU PPh. Adapun Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan batasan penghasilan WP orang pribadi yang tidak dikenai pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Menilik lebih dalam, Pasal 21 ayat (5) UU Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana diubah terakhir dengan UU mengamanatkan pembaruan beleid selevel PP tersebut. Ayat tersebut berbunyi: “Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah”. Adapun Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh mengatur mengenai tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi WP orang pribadi dalam negeri.
Terkait tujuannya, terdapat tiga pembaruan yang diharapkan mampu menghasilkan proses bisnis perpajakan yang efektif, efisien, dan akuntabel. Pertama, memberikan kemudahan dan kesederhanaan bagi WP untuk menghitung pemotongan PPh Pasal 21 di setiap masa pajak. Kedua, meningkatkan kepatuhan WP dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Ketiga, memberikan kemudahan dalam membangun sistem administrasi perpajakan yang mampu melakukan validasi atas perhitungan WP.
Lalu, bagaimana mengenai dampaknya? Faktanya, tidak ada tambahan beban pajak baru sehubungan dengan penerapan tarif efektif. Penerapan tarif efektif bulanan bagi pegawai tetap, hanya digunakan dalam melakukan penghitungan PPh Pasal 21 untuk masa pajak selain masa pajak terakhir. Sementara itu, penghitungan PPh Pasal 21 setahun pada masa pajak terakhir tetap menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh sebagaimana ketentuan saat ini.
Membedah Isi PP-58/2023
Penerapan tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21 telah memperhatikan adanya pengurang penghasilan bruto berupa biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan PTKP. Penerapan tarif efektif ini diharapkan dapat memberikan kemudahan dan penyederhanaan bagi Wajib Pajak.
PP-58 Tahun 2023 terdiri dari 3 (tiga) bab dan 5 (lima) pasal. Bab I berisi definisi. Bab II berisi tarif dan subjek pajak. Bab III berisi pencabutan pasal pada peraturan lama dan pemberlakuan peraturan baru. Pada Pasal 2, diatur bahwa tarif pemotongan PPh Pasal 21 terdiri atas tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dan tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21.
Selanjutnya, PP-58 Tahun 2023 mengatur tarif efektif yang terdiri atas tarif efektif bulanan dan harian. Tarif efektif bulanan tersebut dikategorikan berdasarkan besarnya PTKP sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan WP pada awal tahun pajak. Adapun penghasilan bruto bulanan yang menjadi dasar penerapan tarif efektif bulanan pemotongan PPh 21 yaitu penghasilan yang diterima WP OP dalam satu masa pajak.
Selanjutnya, dalam menghitung tarif efektif harian, penghasilan bruto harian yang menjadi dasar penerapan tarif efektif harian pemotongan PPh 21 yaitu penghasilan Pegawai Tidak Tetap yang diterima secara harian, mingguan, satuan, atau borongan. Dalam hal penghasilan tidak diterima secara harian, dasar penerapan yang digunakan adalah jumlah rata-rata penghasilan sehari yaitu rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
Masih di pasal yang sama, kategori tarif efektif bulanan terdiri atas Kategori A, B, dan C. Kategori A diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status PTKP tidak kawin tanpa tanggungan (TK/0), tidak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 1 (satu) orang (TK/1), dan kawin tanpa tanggungan (K/0). Kategori A memiliki 44 kelompok tarif efektif, dimulai dari 0% untuk penghasilan bruto bulanan Rp0-Rp5,4 juta s.d. 34% untuk penghasilan bruto bulanan lebih dari Rp,1,4 miliar.
Kategori B diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status tidak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 2 (dua) orang (TK/2), tidak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 3 (tiga) orang (TK/3), kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 1 (satu) orang (K/1), dan kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 2 (dua) orang (K/2). Kategori B memiliki 40 kelompok tarif efektif, dimulai dari 0% untuk penghasilan bruto bulanan Rp0-Rp6,2 juta s.d. 34% untuk penghasilan bruto bulanan lebih dari Rp1,405 miliar.
Adapun Kategori C diterapkan atas penghasilan bruto bulanan yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan dengan status Penghasilan Tidak Kena Pajak kawin dengan jumlah tanggungan sebanyak 3 (tiga) orang. Kategori C memiliki 41 kelompok tarif efektif, dimulai dari 0% untuk penghasilan bruto bulanan Rp0-Rp6,6 juta s.d. 34% untuk penghasilan bruto bulanan lebih dari Rp1,419 miliar.
Bagi penerima pengasilan bruto harian, Penghasilan bruto harian yang menjadi dasar penerapan tarif efektif harian pemotongan PPh Pasal 21 yaitu penghasilan Pegawai Tidak Tetap yang diterima secara harian, mingguan, satuan, atau borongan.
Dalam hal penghasilan tidak diterima secara harian, dasar penerapan yang digunakan adalah jumlah rata-rata penghasilan sehari yaitu rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan. PP-58 Tahun 2023 mengatur dua tarif. Pertama, penghasilan bruto harian sampai dengan Rp450 ribu dikenai tarif sebesar 0%. Selanjutnya, penghasilan bruto harian di atas Rp450 ribu s.d. Rp2,5 juta dikenai tarif sebesar 0,5%.
Tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 beleid tersebut digunakan untuk pemotongan PPh Pasal 21 bagi WP orang pribadi yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, termasuk pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota tentara nasional Indonesia, anggota kepolisian negara Republik Indonesia, dan pensiunannya.
Sebagai ilustrasi, seorang pegawai tetap berstatus K/0 yang menerima penghasilan bruto Rp10 juta per bulan jika menggunakan penghitungan versi lama akan dipotong PPh Pasal 21 nya sebesar Rp226.250,00 per bulan. Dengan penghitungan versi PP-58 Tahun 2023, PPh Pasal 21 yang dipotong selama bulan Januari s.d. November adalah sebesar Rp200 ribu. Angka tersebut diperoleh dari hasil perkalian antara penghasilan bruto yang diterima dengan lapisan tarif pada Kategori B (2% x Rp10 juta). Jika membandingkan penghitungannya, meskipun pada bulan Desember 2024 jumlah PPh Pasal 21 dipotong atas penghasilan WP OP pegawai tersebut lebih tinggi dari bulan-bulan sebelumnya, sejatinya tidak terdapat adanya penambahan beban pajak kumulatif setahun bagi WP OP tersebut.
Setelah berlakunya PP-58 Tahun 2023, pekerjaan besar menanti. Tak sekadar menantikan hadirnya peraturan turunan selevel Peraturan Menteri Keuangan (PMK) saja, melainkan juga sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat mengenai aspek peraturan serta aplikasi PPh Pasal 21. Tentunya, dengan tangan dan hati yang terbuka, kita wajib menyambut gembira lahirnya PP-58 Tahun 2023 sebagai salah satu tonggak perubahan administrasi perpajakan. Berkiblat pada The Doha Declaration 2009, peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam pemungutan pajak adalah tujuan utamanya. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Oleh: Johana Lanjar W, Penyuluh Antikorupsi Utama Kemenkeu *) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyoroti wajah pendidikan nasional…
Oleh: Anggi Kusumawardhani, Pengamat Masalah Perburuhan Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2025 harus dimaknai sebagai momentum memperkuat…
Oleh: Ratna Dwi Putranti, Peneliti di Urban Catalyst Management Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, Pemungutan Suara Ulang…
Oleh: Johana Lanjar W, Penyuluh Antikorupsi Utama Kemenkeu *) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyoroti wajah pendidikan nasional…
Oleh: Anggi Kusumawardhani, Pengamat Masalah Perburuhan Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2025 harus dimaknai sebagai momentum memperkuat…
Oleh: Ratna Dwi Putranti, Peneliti di Urban Catalyst Management Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, Pemungutan Suara Ulang…