Oleh : Ahmad Febriyanto, Mahasiswa FEB Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Kondisi dunia semakin menurun membuka kesadaran umat manusia untuk mulai lebih perhatian terhadap lingkungan. Kesadaran terkait penurunan iklim dunia bukan menjadi suatu hal yang baru. Hal tersebut sudah mulai dituliskan pada Persetujuan Paris atau Paris Agreement pada 2015. Semangat Persetujuan Paris sangat jelas yaitu mengurangi emisi gas rumah kaca yang memberi pengaruh pada pemanasan global.
Persetujuan 12 Desember 2015 tersebut diadopsi untuk menjadi kerangka kerja perubahan iklim oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Setidaknya Perjanjian Paris sudah ditandatangani oleh 197 negara. Sehingga dengan demikian setiap negara di dunia memiliki peran untuk mengurangi emisi karbon. Langkah spesifik jika mengacu pada Perjanjian Paris maka harapannya 197 negara tersebut dapat memberi respon terhadap ancaman perubahan iklim dengan tujuan menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2â°C pada masa industrialisasi dan menekan kenaikan suhu ke 1,5â°C di atas tingkat pra-industrialisasi.
Peran Perjanjian Paris diharapkan dapat menjadi satu komitmen dari 197 negara untuk bersama-sama mewujudkan Net Zero Emission. Setidaknya emisi karbon semakin lama dapat tereduksi dan perubahan iklim yang terjadi tidak terlalu drastis sebab dapat berpengaruh pada perubahan besar bagi habitat sebagai rumah alami.
Setelah 6 tahun berlakunya Perjanjian Paris, lantas bagaimana dampaknya bagi penurunan karbon emisi di dunia? Jika melihat data International Energy Agency pada 2020 tingkat emisi global menurun sebab masyarakat juga terbatas melakukan kegiatan akibat dampak Covid-19. Namun catatan IEA menunjukkan bahwa pada tahun 2021 emisi karbon mulai meningkat 6% dibanding tahun 2020. Walaupun jika membandingkan tahun 2020 dan tahun 2021 tentu tingkat emisi karbon yang dihasilkan akan berbeda mengingat pada 2020 mobilitas masyarakat dunia terbatas dan pada 2021 masyarakat mulai memasuki era New Normal. Sehingga bagaimana peran Indonesia menyikapi hal tersebut?
Peran Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara yang sepakat dengan Persetujuan Paris maka juga memiliki tugas untuk dapat mendukung program Net Zero Emission. Jika dilihat secara data global beberapa negara yang berkontribusi menyumbang emisi karbon terbanyak antara lain Amerika Serikat (509,143 Giga ton CO2), China (284,467 Giga ton CO2), Rusia (284,467 Giga ton CO2), Brasil (112,562 Giga ton CO2), dan Indonesia (102,562 Giga ton CO2). Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masuk dalam deretan negara penyumbang emisi karbon terbanyak di dunia.
Selain itu berdasar pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencatat bahwa emisi Gas Rumah Kaca nasional pada 2021 sebesar 259,1 juta ton CO2. Tercatat bahwa emisi GRK tersebut berasal dari bahan bakar minyak sebanyak 34 juta ton CO2 dan berasal dari emisi gas sebanyak 1,7 juta ton CO2. Bahkan pada 2030 diproyeksikan angka tersebut akan meningkat sebesar 29,13 % atau menjadi 334,6 juta ton CO2.
Jika melihat beberapa data tersebut pada dasarnya Indonesia sebagai salah satu negara yang setuju dengan Perjanjian Paris harus mengambil peran dalam target penurunan emisi karbon dunia. Pada sisi lain memang ketergantungan dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) belum dapat dilepaskan seratus persen dan mengacu pada data diatas BBM merupakan salah satu penyumbang emisi karbon nasional.
Peran pemerintah dalam hal ini menjadi sangat penting utamanya dalam menyusun strategi. Strategi yang tepat akan membawa masa transisi energi menuju EBT ini dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat. Sebab jika melihat pada beberapa fenomena yang ada bahwa kenaikan BBM tetap menjadi salah satu momok bagi masyarakat dan hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat masih sangat bergantung dalam penggunaan BBM.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa jika BBM naik maka kebutuhan pokok juga akan naik. Dengan melihat kenyataan tersebut maka dalam era transisi energi ini peran pemerintah dalam memberi edukasi kepada masyarakat sangat penting. Memberi edukasi pada masyarakat juga tidak harus membuka seminar atau penyuluhan pada tingkat kelurahan melainkan pemerintah dapat mengandalkan kampanye digital untuk kemudian dapat memberi edukasi pada masyarakat. Masifnya penggunaan digital saat ini akan membentuk dunia baru sehingga dengan demikian strategi marketing dalam hal ini adalah pemasaran kampanye layanan masyarakat juga harus melalui digital atau sosial media.
Menetapkan Pajak Karbon
Kampanye dengan menggunakan media sosial diharapkan pengetahuan masyarakat mengenai EBT meningkat dan kesadaran terkait keadaan lingkungan juga mulai tumbuh. Pada sisi lain juga masyarakat mengerti dengan setiap kebijakan pemerintah dalam upaya transisi energi. Selain memberi skema transisi energi seperti penggunaan kendaraan listrik, penguatan regulasi yang ada menjadi salah satu hal yang sangat penting dalam keberhasilan transisi energi.
Salah satu kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah adalah pajak karbon. Sebagaimana tertulis dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberi dampak negatif pada lingkungan. Peraturan ini merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah dalam menyikapi tingginya emisi karbon di Indonesia. Tujuannya sangat jelas yaitu adalah memperketat regulasi terkait emisi karbon di Indonesia dan dapat mereduksi tingkat emisi karbon nasional.
Pemerintah melalui peraturan tersebut mengatur bahwa pajak karbon akan kenai tarif sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Untuk subjek wajib pajak karbon adalah orang pribadi dan suatu badan atau lembaga. Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan berdasar pada peta jalan karbon dan jalan pasar karbon.
Dalam penerapannya sendiri pajak karbon pertama dikenakan pada badan dalam bidang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara sejak 1 April 2022. Skema tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesadaran bagi masyarakat bahwa dengan menghasilkan CO2 yang terlalu banyak maka individu atau suatu badan akan mendapatkan kewajiban pajak atas karbon.
Dengan memberlakukan regulasi yang ketat terkait karbon maka masyarakat akan berpikir dua kali jika akan menggunakan kendaraan yang akan menghasilkan CO2 atau bahkan suatu badan usaha juga akan mulai memperhatikan lingkungan dalam proses produksi hingga distribusi. Tentu jika melihat dari semangat Perjanjian Paris maka hal tersebut relevan dengan Pajak Karbon yang diterapkan pemerintah Indonesia. Dengan demikian Zero Emission dapat terwujud di Indonesia dan dapat berdampak secara global.
Oleh : Jodi Mahendra, Pemerhati Kebijakan Publik Indonesia resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), sebuah…
Oleh : Andi Mahesa, Mahasiswa PTS di Jakarta Perang terhadap kejahatan siber, khususnya praktik judi daring, kembali…
Oleh : Doni Laksana, Pengamat Pertanian Swasembada pangan merupakan salah satu tonggak utama dalam mewujudkan kemandirian suatu bangsa.…
Oleh : Jodi Mahendra, Pemerhati Kebijakan Publik Indonesia resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), sebuah…
Oleh : Andi Mahesa, Mahasiswa PTS di Jakarta Perang terhadap kejahatan siber, khususnya praktik judi daring, kembali…
Oleh : Doni Laksana, Pengamat Pertanian Swasembada pangan merupakan salah satu tonggak utama dalam mewujudkan kemandirian suatu bangsa.…