NERACA
Jakarta – Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), As Natio Lasman mengungkapkan, dalam pelaksanaan transisi energi di Indonesia memiliki tantangan yang harus dihadapi, khususnya terkait dengan kemandirian dan ketahanan energi.
"Isu ketahanan energi merupakan isu strategis dikarenakan pemanfaatan EBT saat ini adalah 12% dari total bauran energi nasional. Oleh karenanya, dalam menyusun peta jalan transisi energi, pemerintah senantiasa memperhatikan aspek availability (ketersediaan energi), affordability (harga energi yang terjangkau), accessibility (akses terhadap energi), dan acceptability (penerimaan sosial dan lingkungan) untuk memastikan Indonesia berhasil mencapai Net Zero Emisssion (NZE) dan ketahanan energi nasional," ungkap As Natio.
Sehingga dalam hal ini, As Natio berharap dari keikutsertaan para Pemerintah Daerah pada Pameran Transisi Energi ini, akan menumbuhkan motivasi dan mendorong pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) di wilayahnya masing-masing sehingga total bauran EBT dalam energi nasional akan meningkat dan sesuai dengan target 23% pada tahun 2025.
Lebih lanjut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus berkomitmen untuk mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2023 yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat. Salah satunya besaran alokasi pembangunan fisik di sektor EBTKE sebesar Rp868.714.647.000. Anggaran tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah untuk menjalankan proses transisi energi dengan memperkuat infrastruktur sektor ESDM berbasis EBT.
Selain itu, terkait dengan EBT, Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif kembali mengingatkan kembali peran penting pengembangan EBT di Indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi, sekaligus untuk mewujudkan Indonesia Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat melimpah yaitu sekitar 3.000 giga watt (GW), di mana potensi panas bumi mencapai 24 GW.
"Pada COP26 tahun 2021, Indonesia telah berkomitmen untuk melakukan penurunan emisi gas rumah kaca yang dipertegas bahwa Indonesia akan mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu diperlukan upaya memitigasi perubahan iklim dengan menurunkan emisi karbon (dekarbonisasi) namun dengan tetap menjaga ketahanan energi," papar Arifin.
Aksi mitigasi yang berperan paling besar dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi adalah pengembangan EBT sebagai langkah transisi menuju energi yang lebih bersih, minim emisi, dan ramah lingkungan.
Arifin mengungkapkan, Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat melimpah yaitu sekitar 3.000 GW. Potensi panas bumi sendiri sebesar 24 GW. Selama 5 tahun terakhir, Pembangkit EBT terus mengalami peningkatan, saat ini kapasitas pembangkit EBT sebesar 12 GW, dan panas bumi menyumbang sekitar 2,2 GW.
Potensi EBT akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mempercepat transisi energi. Pada tahun 2060 kapasitas pembangkit EBT ditargetkan sebesar 700 GW yang berasal dari solar, hidro, bayu, bioenergi, laut, panasbumi, termasuk hidrogen dan nuklir.
“Pembangkit panas bumi diperkirakan akan mencapai 22 GW yang didorong dengan pengembangan skema bisnis baru, inovasi teknologi yang kompetitif dan terjangkau, antara lain deep drilling geothermal development, enhanced geothermal system, dan offshore geothermal development," terang Arifin.
Arifin juga menerangkan, untuk mempercepat dan memperbesar pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energ, Pemerintah memberlakukan kembali tarif uap panas bumi dan tenaga listrik dan mengusulkan kemudahan proses perizinan penggunaan lahan di hutan konservasi, dan pembebasan pajak bumi dan bangunan.
Presiden Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Prijandaru Effendi juga mengatakan bahwa panas bumi dapat menjadi sumber energi alternatif yang bersih dan dapat dijadikan sebagai sumber energi transisi.
"Panas bumi adalah sumber energi bersih, andal dan berkelanjutan yang jika dikembangkan dan dikelola dengan baik dapat menjadi salah satu solusi penting dalam transisi energi nasional guna mendukung ketahanan energi dimasa mendatang," ujar Prijandaru.
"API akan terus menyuarakan energi panas bumi sebagai sumber energi utama dalam menjamin keberlanjutan pembangunan nasional demi terwujudnya kemandirian energi nasional serta sekaligus berkontribusi pada komitmen kita di konvensi Paris agreement yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016," papar Prijandaru.
Prijandaru menegaskan, API berkomitmen untuk meningkatkan pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi sebagai mana yang sudah tercatat dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yakni sebesar 7,2 GW pada tahun 2025 dan tahun 2030 sebesar 10 GW dan 17 GW di tahun 2050.
"Pencapaian pamanfaatan panas bumi sesuai target di RUEN tidak mudah karena itu diperlukan kerja keras dan program akselerasi yang konkret dan realistis. Berkaitan dengan itu API akan membantu pencapaian target tersebut namun kami membutuhkan dukungan penuh Pemerintah agar permasalah dan tantangan yang ada saat ini dapat segera diselesaikan," pungkas Prijandaru.
NERACA Jakarta - Pemerintah terus memperkuat strategi perdagangan luar negeri sebagai langkah antisipatif terhadap kebijakan tarif tinggi dari Amerika Serikat…
NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bertekad untuk terus meningkatkan produktivitas dan memperluas akses pasar bagi industri nasional. Salah satu…
NERACA Jakarta – Berbagai langkah terus dilakukan oleh pemerintah untuk menyerap crude pal oil (CPO) untuk dalam negeri. Hal ini…
NERACA Jakarta - Pemerintah terus memperkuat strategi perdagangan luar negeri sebagai langkah antisipatif terhadap kebijakan tarif tinggi dari Amerika Serikat…
NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bertekad untuk terus meningkatkan produktivitas dan memperluas akses pasar bagi industri nasional. Salah satu…
NERACA Jakarta – Berbagai langkah terus dilakukan oleh pemerintah untuk menyerap crude pal oil (CPO) untuk dalam negeri. Hal ini…