Pembiayaan Ekspor Kajian Sisi Hukum Ekonomi

Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA., Akademisi dan Akuntan Publik

 

  Perkembangan ekonomi suatu negara di mulai dari ekonomi tertutup menjadi ekonomi terbuka dan selanjutnya memasuki era baru yaitu era globalisasi kekinian. Dalam era globalisasi, suatu negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi dunia, dengan demikian berbagai variabel ekonomi maupun non ekonomi terkait dengan dunia internasional. Oleh sebab itu pelaku usaha dan pemerintah suatu negara harus bersinergi melakukan berbagai upaya agar dapat berperan aktif dalam tataran ekonomi dan bisnis internasional.

  Perlu disadari bahwa apa yang terjadi di suatu negara, khususnya negara adi daya akan berimbas signifikan terhadap perekonomian nasional negara lain, karena negara berada dalam tataran tanpa sekat.

Perdagangan Internasional

Salah satu wujud dari bisnis internasional adalah perdagangan internasional (International Trade). Semula terjadinya perdagangan internasional disebabkan adanya comparative advantage (David Ricardo,1817), yang lama kelamaan bergeser menjadi competitive advantage. Perdagangan internasional yang merupakan transaksi antar negara yang biasanya dilakukan dengan cara ekspor dan impor yang tergambar dalam neraca perdagangan antar negara (Balance Of Trade), yang hasilnya bisa surplus atau defisit.

Bagi Indonesia kalau mengalami surplus implikasinya dapat meningkatkan nilai tukar rupiah terhadap nilai mata uang asing atau disebut kurs rupiah menguat. Disamping itu ekspor yang meningkat melebihi impor secara aggregate akan berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan nasional. Model ekonomi makro menjelaskan bahwa variabel utama yang dapat meningkatkan pendapatan nasional terdiri dari konsumsi, investasi, belanja pemerintah dan ekspor.

Itulah sebabnya setiap negara berusaha untuk dapat menguasai pasar dunia melalui kebijakan ekspor yang tepat. Banyak faktor untuk dapat meningkatkan ekspor suatu negara antara lain Competitive Advantage yang dimiliki suatu produk atau jasa yang dihasilkan, peraturan perundang-undangan terkait dengan ekspor termasuk sistem pembiayaan ekspor. Sistem pembiayaan yang praktis dan efisien merupakan kunci yang dapat mendorong peningkatan ekspor, khususnya bagi Usaha Mikro Kecil Menengah.

Dunia usaha berharap adanya kemudahan pembiayaan, mengingat setelah meleburnya Bank Ekspor Impor menjadi Bank Mandiri, praktis tidak ada satupun lembaga pembiayaan yang fokus pada pembiayaan ekspor dengan cost of fund yang relatif murah.

Peran ekspor sangat strategis dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Penulis teringat kuliah Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dalam mata kuliah Perekonomian Indonesia pada tahun 1980, bahwa ekspor merupakan variabel yang penting dalam model ekonomi makro sebagai pembentuk pendapatan nasional. Bahkan beliau menyatakan lebih lanjut jika suatu negara mau maju justru harus mengambil peran besar dalam pasar global, melalui strategi kebijakan ekonomi outward looking, sehingga aliran uang dari luar negeri akan masuk kedalam sistem perekonomian nasional.

Hal ini akan berimbas positif pada kegiatan ekonomi ikutannya didalam negeri seperti sektor manufaktur, pertanian, perkebunan, jasa dan lain sebagainya (trickle down effect) yang dapat membuka lapangan kerja. Mata rantai ekonomi akan hidup dan ujungnya tingkat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat meningkat sesuai cita-cita kemerdekaan.

Lembaga Pembiayaan Khusus

Pemerintah berusaha melakukan berbagai terobosan, salah satunya membentuk suatu skema khusus dalam pembiayaan ekspor dengan mengeluarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (UU LPEI).

Adapun konsideran dari UU LPEI, pertama bahwa sektor perdagangan luar negeri merupakan salah satu faktor penunjang pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas perekonomian nasional untuk meningkatkan kesejahteraan, kemajuan dan kemandirian bangsa. Kedua bahwa untuk mempercepat pertumbuhan perdagangan luar negeri Indonesia dan meningkatkan daya saing pelaku bisnis, diperlukan suatu lembaga pembiayaan independen yang mampu menyediakan pembiayaan, penjaminan, asuransi dan jasa lainnya.

Artinya pemerintah sangat menyadari bahwa pembiayaan ekspor merupakan hal yang sangat krusial, diperlukan suatu skema yang terintegrasi dan praktis, sehingga dibentuk Undang-undang khusus pembiayaan ekspor yang mencakup, baik pembiayaannya maupun penjaminan dan asuransi dan jasa lainnya yang berkaitan dengan ekspor. Sebagai Undang-undang yang Lex Specialis secara hukum berbeda dengan hukum pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan komersil yang sudah ada.

Terjadinya kasus kredit macet yang melibatkan 8 orang terdakwa dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI yang saat ini dalam proses persidangan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas dugaan korupsi dengan persangkaan yang didakwakan adalah kerugian keuangan Negara, perlu dikaji lebih cermat dari sisi hukum ekonomi.

Dugaan Pidana ?

Memahami UU No. 2 Tahun 2009 harus menggunakan kacamata hukum yang luas bukan kacatama Undang-undang semata, perlu pemahaman filosofi hukum, sosiologi hukum, hukum yang hidup dalam dinamika masyarakat bisnis dan ekonomi (living law). UU LPEI, menuliskan bahwa LPEI merupakan lembaga independen dengan status sovereign (berdaulat). Kenapa status ini dibuat khusus ? ya jawabannya karena ekspor perlu pembiayaan khusus. Filosofi hukum dan ekonomi dalam keberadaan LPEI sangat jelas dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 2009, bukan dalam batang tubuhnya.

Pertanyaannya apakah dengan pemberian status khusus tersebut hukum pidana menjadi tidak diberlakukan ? Jawabannya, membaca pidana tidak hanya membaca teks sekalipun itu diatur pada Pasal 43 UU No. 2 Tahun 2009, karena cara berfikir demikian terlalu sempit. Jika terjadi kesalahan pengelolaan yang dijalankan oleh pejabat LPEI tidak harus pidana, solusinya kita harus memahami tugas mulia yang dijalankan oleh LPEI, yaitu LPEI merupakan agen pemerintah yang sengaja dibentuk untuk memberi pembiayaan yang tidak dimasuki oleh bank atau lembaga pembiayaan komersil.

 Penulis tidak bermaksud mengabaikan pentingnya pidana dalam kehidupan bernegara, tetapi semata-mata mengkaji secara akademik keilmuan hukum ekonomi, karena jika persoalan keperdataan yang menjadi inti masalah hukumnya sudah tepat. Kenapa ditarik ke ranah pidana. Apalagi konteksnya dalam rangka meningkatkan ekspor yang otomatis merupakan kegiatan mensukseskan pembangunan ekonomi nasional.

Dugaan pidana korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional, dalam kacamata hukum, jelas tidak tepat, sedikitnya ada empat alasan: pertama, penegak hukum tidak memahami betul filosofis keberadaan UU 2/2009. Kedua, tugas mulia LPEI menjadi lumpuh, jika pidana dijadikan dasar mengusut unsur kerugian keuangan negara.

Ketiga, ruang perdebatan kerugian keuangan negara, tidak memiliki landasan amat kuat. Para pakar hukum terus berbeda pandangan. Penulis ingat kasus mantan Dirut Pertamina, Karen Agustiawan, yang dibebaskan Mahkamah Agung dari segala tuntutan hukum. Karena yang dilakukan Karen merupakan business judgment rule yang perbuatannya bukan merupakan tindak pidana.

Keempat, persoalan kebijakan pembiayaan ekspor adalah perbuatan hukum perdata. Jika perbuatan hukum sudah sesuai prosedur atas dasar hukum perjanjian, lalu muncul pengembalian yang macet, apakah bisa dinilai kerugian keuangan negara ? Apakah itu bukan utang piutang yang diikat dengan jaminan sesuai prosedur kredit dalam kegiatan pembiayaan oleh lembaga pembiayaan atau perbankan? Dari disiplin akuntansi keuangan yang berlaku secara universal dapat dilakukan pencadangan yang lebih lanjut diatur dalam standar akuntansi keuangan. Kalaupun muncul kerugian keuangan negara akibat kesalahan tata kelola perusahaan, apakah pidana menjadi utama (primum remedium atau last resort) dalam UU 2/2009 ?

Kerugian atas pemberian kredit bukanlah merupakan kerugian keuangan negara, bahkan dari sisi akuntansi pun bukanlah merupakan kerugian. Dari sisi pidana, kerugian haruslah bersifat kerugian riil (riel loss).

Empat alasan hukum di atas, menjadi alasan mudah diterima akal sehat. Kalau begitu, langkah hukum Kejaksaan Agung dinilai tidak tepat. Bagaimana mungkin ekonomi Indonesia tumbuh, jika tugas mulia LPEI terkendala pidana. Karena sejak semula dipahami, pidana adminsitrasi (administrative penal law), tidak tepat dilakukan sama halnya dengan pidana umum, sekalipun ada normanya dalam UU 2/2009.

BERITA TERKAIT

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…