Oleh: Hartono, Penyuluh Pajak Ahli Madya di KPP Perusahaan Masuk Bursa *)
Sejak bulan April 2022, Wajib Pajak (WP) terdaftar yang bergerak di sektor jasa keuangan beramai-ramai mengunjungi loket layanan konsultasi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Perusahaan Masuk Bursa (PMB). WP menanyakan perihal pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa keuangan yang berlaku mulai 1 April 2022. Hingga saat ini, Pengenaan PPN atas jasa keuangan masih menanti pengesahan beleid pelaksanaannya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengatur perubahan status jasa keuangan menjadi jasa kena pajak (JKP). Sebagaimana diketahui, melalui Pasal 4A ayat (3) huruf d, jasa keuangan telah dihapus dari daftar jenis jasa kelompok tertentu yang tidak dikenai PPN. Selain itu, dalam UU tersebut tarif PPN mengalami perubahan dari 10% menjadi 11% dan mulai 1 Januari 2025 menjadi 12%.
Perubahan tersebut menjadikan para pengusaha jasa keuangan harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Setelah dikukuhkan, PKP berkewajiban memungut PPN atas jasa yang diserahkan, menerbitkan faktur pajak, menyetorkan PPN terutang, dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) masa PPN.
Apa Itu PPN Jasa Keuangan?
Pada prinsipnya, jasa keuangan meliputi lima jenis. Pertama, jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/ atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Kedua, jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak Iain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya.
Ketiga, jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa sewa guna usaha dengan hak opsi, usaha kartu kredit, dan/atau pembiayaan konsumen. Keempat, jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia. Kelima, jasa penjaminan.
PPN atas jasa keuangan terutang pada saat penyerahan. Apabila terdapat pembayaran sebelum penyerahan JKP, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. PKP harus menerbitkan Faktur Pajak pada saat terjadi penyerahan atau pembayaran apabila terjadi sebelum penyerahan JKP atau Penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan atau saat lain yang diatur Peraturan Menteri Keuangan.
Cara menghitung PPN cukup mudah, yaitu dengan mengalikan tarif PPN 11% dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berupa nilai penyerahan. Meskipun DPP bisa ditentukan berdasarkan jumlah harga jual, penggantian, atau nilai lain, sepanjang tidak ada ketentuan khusus yang mengatur, maka DPP yang dipergunakan adalah nilai yang seharusnya diminta/ditagih oleh PKP.
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak mengamanatkan bahwa per 1 April 2022 PKP harus membuat faktur pajak elektronik (e-faktur), mengunggah (upload) untuk mendapat persetujuan DJP paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan faktur pajak. Sebagai gambaran, penyerahaan jasa keuangan yang dilakukan pada tanggal 5 April 2022, maka faktur pajaknya harus dibuat pada 5 April 2022 dan harus diunggah untuk mendapat persetujuan DJP paling lambat tanggal 15 Mei 2022.
Atas faktur pajak yang tidak diunggah hingga tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan, maka faktur pajak tersebut tidak akan bisa diupload untuk memperoleh persetujuan dari DJP dan bukan merupakan faktur pajak. Konsekuensinya, pembeli tidak dapat mengkreditkan Faktur Pajak tersebut.
PKP yang belum menerbitkan e-faktur dapat segera menerbitkan faktur, namun apabila lewat atau terlambat mengunggah, solusinya PKP dapat mengubah masa pajak atau tanggal faktur pajak yang telah diterbitkan tersebut menggantinya dengan bulan atau masa berikutnya sesuai batas akhir yang diperkenankan untuk mengunggah yaitu tanggal 15 bulan berikutnya. Konsekuensinya faktur pajak tersebut menjadi terlambat diterbitkan. PKP akan mendapat sanksi Pasal 14 ayat (4) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) berupa sanksi administrasi atas keterlambatan menerbitkan faktur pajak berupa denda sebesar 1% (satu persen) dari DPP.
Meskipun peraturan pelaksanaannya belum terbit, pengusaha jasa keuangan harus melaksanakan ketentuan pemungutan PPN atas jasa keuangan berdasarkan pengenaan PPN secara umum. Apabila PKP tidak menerbitkan e-faktur dan tidak memungut PPN karena semata-mata merasa ketentuan pengenaan PPN atas jasa keuangan belum jelas perhitungan DPP-nya, berisiko terkena sanksi. Sanksi yang ditimbulkan akibat tidak atau terlambat membuat faktur adalah denda sebesar 1% (satu persen) dari DPP. Tentu saja pengusaha harus tetap membayar pajak terutang yang seharusnya dipungut dari konsumen atau nasabahnya.
Menanti Beleid Pelaksanaan
Mengingat pentingnya kegiatan jasa keuangan, para pengusaha berharap agar pemerintah mengeluarkan beleid pelaksanaan PPN atas jasa keuangan berdasarkan Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU PPN. Hal ini dikarenakan jasa keuangan termasuk dalam jasa tertentu yang dapat tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak baik untuk sementara waktu maupun selamanya yang diberikan secara terbatas untuk tujuan mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional.
Aspirasi ini bukan tanpa alasan. Para pengusaha merasa keberatan atas pengenaan PPN jasa keuangan di tengah kondisi ekonomi yang masih lesu akibat wabah Covid-19. Saat ini pemajakannya berdampak langsung pada aktivitas keuangan dan cash flow bagi perusahaan.
Sebagai alternatif solusi, untuk sementara pengusaha jasa keuangan bisa memanfaatkan peluang Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU PPN tersebut. Asumsinya adalah bahwa jasa keuangan termasuk jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Selanjutnya, pengusaha jasa keuangan yang telah dikukuhkan sebagai PKP dapat membuat Faktur Pajak tersebut dengan kode 08 (nol delapan) yang digunakan untuk penyerahan BKP atau JKP yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN.
Apabila pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksanaan PPN atas jasa keuangan, nantinya pengusaha jasa keuangan dapat melakukan pembetulan e-faktur pajak dan pembetulan SPT PPN, serta rekonsiliasi dengan konsumen atau nasabah. Alternatif tersebut merupakan jalan tengah bagi PKP yang bergerak di sektor jasa keuangan dalam rangka melaksanakan ketentuan PPN dan menghindarkan PKP dari pengenaan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. *) Tulisan ini merupakan opini pribadi
Oleh : Hernanda Adi, Mahasiswa Uninus Bandung Realisasi kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan tren…
Oleh: Dhita Karuniawati, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Dalam menghadapi tantangan ekonomi global dan dinamika industri…
Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Advokat & Konsultan Hukum Maraknya berbagai pelanggaran hukum yang terjadi sejak beberapa tahun yang…
Oleh : Hernanda Adi, Mahasiswa Uninus Bandung Realisasi kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan tren…
Oleh: Dhita Karuniawati, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Dalam menghadapi tantangan ekonomi global dan dinamika industri…
Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Advokat & Konsultan Hukum Maraknya berbagai pelanggaran hukum yang terjadi sejak beberapa tahun yang…