Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Ancaman Krisis

 

Oleh: Prof. Dr. Didik J Rachbini, Guru Besar Ekonomi dan Founder Indef

Baru-baru ini publik dikejutkan dengan kasus antrean makanan di negara adidaya Amerika Serikat. Nampaknya krisis pandemi Covid-19 terus berlanjut, bahkan setelah pandemi itu sendiri berakhir menjadi endemi. Sebelumnya, dua negara mengalami krisis ekonomi dan politik, yakni Pakistan dan Sri Lanka.   Pertanyaannya, Apakah ada ancaman krisis ekonomi di Indonesia dalam satu atau dua tahun ke depan?

Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, tetapi bisa dikaji dari sejumlah indikasinya.  Setidaknya ada enam indikator Masalah yang terus berkelindan dalam ekonomi Indonesia, yakni Pertama, Krisis Covid 19 dan dampaknya yang ternyata tidak berhenti setelah krisis berhenti. Dampaknya terus ada setelah covid-19-nya berhenti. Berbeda dengan krisis ekonomi yang berhenti ketika inflasi telah reda, masalah supplai selesai, Perbankan sudah bisa memberikan kucuran kredit lagi. Tetapi krisis Indonesia multi dimensi, paling tidak ada dua dimensi yakni Kesehatan dan Ekonomi. Berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Maka seharusnya pemerintah tidak boleh abai terhadap dampak dari krisis Covid ini.

Rumitnya, justru krisis Covid-19 ini dimulai dari kebijakan yang tidak memadai, bahkan tidak karuan karena respon kebijakan salah kaprah di awal krisis Covid-19 pada 2020.  Pertanda bahwa pemerintah sayangnya tidak punya kapabilitas yang memadai dalam merespon krisis ini.  Masalah reda hampir dengan sendirinya ketika semakin banyak populasi penduduk terjangkit virus ini dan menjadi kebal – selain usaha pemerintah yang semakin baik dalam menanganinya. 

Kedua, yaitu Kesinambungan Pertumbuhan Ekonomi.  Bukan hanya janji presiden dulu untuk tumbuh 7%. Ini lupakan saja karena mustahil terwujud. Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi 5% seperti sekarang masih menjadi tanda tanya karena pengaruh krisis global yang sudah memakan korban, Sri Lanka dan Pakistan.  Dalam dua periode pemerintahan ini, tidak usah berharap ekonomi tumbuh 7% seperti janji kampanye, tidak akan sampai ke tingkat itu. Dalam kondisi tidak krisis saja (2014-2019) pertumbuhan ekonomi nyatanya tidak seperti yang dijanjikan, apalagi ketika terjadi krisis.

Lantas apa yang akan terjadi berikutnya?  Dengan pertumbuhan ekonomi hampir satu dekade seperti saat ini, maka harapan bangsa Indonesia untuk melakukan lompatan menjadi negara industri menjadi sulit dan bahkan tidak akan terwujud. Pemerintah menyia-nyiakan momentum historis  bonus demografi, yang hanya datang sekali dalam sejarah-bangsa-bangsa. 

Indonesia di tangan rezim seperti ini akan menjadi negara yang lemek dan “sakit”. Pendapatgan per kapita cuma naik turun di sekitar US$4.000. Sementara, Korea Selatan yang setara pada tahun1970-an awal sudah terbang dengan pendapatan per kapita US$33.000 dan Malaysia US$12.000 per kapita.  Indonesia yang “sakit” sangat sulit melompat dari negara berpendapatgan menengah menjadi negara berpendapatan tinggi melewati batas US$10.000 per kapita.

Di dalam pemerintahan sekarang ini, ekonomi mandek di sini, sudah hampir 10 tahun ini pendapatan per kapita kita hanya US$4.000 karena kepemimpinan dan kebijakan yang tidak memadai dan lemah.  Bonus demografi hilang, dimana stagnasi pendapatan menengah ke bawah akan menyimpan masalah besar, porsi kemiskinan penduduk akan cukup besar. Hal itu akan menjadi masalah dalam stabilitas sosial.

Ketiga, adalah Krisis Harga Pangan dan Energi. Di Amerika saat ini inflasi mulai tinggi dan sudah mulai ada antrean makanan. Makanan cukup, tetapi harganya tidak lagi terjangkau. Dalam ekonomi itu diartikan kondisi mulai sedikit chaos. Mengapa hal itu tidak atau belum terjadi di Indonesia?  Pemerintah Indonesia kini menjyiram subsidi besar-besaran dan mencegat semua kemungkinan inflasi dengan mengorbankan apa saja sumber daya, menguras APBN, dan berutang besar. Cara kebijakan yang sembrono seperti ini berbahaya dan akan menjadi bom waktu di masa mendatang.  Bebannya akan ditimpakan  pada presiden yang akan datang. Presiden mendatang akan mendapat beban yang sangat berat dari warisan sekarang.

Subsidi dan Utang Besar

Subsidi dari pemerintah saat ini sudah mencapai lebih dari Rp500 triliun. Suatu jumlah yang sangat besar dan berat. Hal itu sama dengan anggaran Presiden SBY dulu yang Rp 500 triliun untuk semua kabupaten dan provinsi, dan digunakan untuk bermacam-macam bidang pertahanan, keamanan, pendidikan, perikanan dan lain-lain. Jadi presiden saat ini mengambil langkah-langkah subsidi yang sangat besar dalam rangka mencari aman, tetapi akan membebani presiden berikutnya.

Keempat, ada utang yang sangat besar dan defisit dalam setahun Rp1,000 triliun. Utang satu tahun sebesar Rp1,500 triliun, yang berarti hal itu lebih besar dari pendapatan pajak dari seluruh rakyat Indonesia. Mengapa bisa terjadi? karena tidak ada check and balance; Parlemen 82% dikuasai partai pendukung pemerintah. Tidak ada yang berani untuk mengontrol.

Justu pada masa krisis sekarang, Pemda-pemda, Bupati dan seterusnya berfoya-foya hampir dua kali lebih besar dari masa sebelum krisis. Itu bisa dihitung dari angka di kementrian berapa kali perjalanan dinas, dalam dan luar negeri, yang ternyata lebih banyak. Alasannya agar ekonomi bergerak, tetapi tentu saja bukan seperti itu caranya.

Pada saat krisis semestinya anggaran lebih dikendalikan. Ketika krisis, orang seharusnya menghemat, tidak pergi kemana-mana dulu. Bisa terjadi ada pemotongan anggaran. Potongan itulah yang dimasukkan dalam anggaran PEN. tetapi sekarang yang terjadi dipotong pun tidak, tetapi anggaran PEN sudah mencapai Rp700 triliun.

Kelima, adanya Kesenjangan Sosial. Apakah Indonesia akan mengalami nasib seperti Srilanka dan Pakistan? Dari segi ekonomi pasti berbeda. PDB Indonesia US1 triliun, Srilanka hanya ber PDB US$80 miliar. Jadi Indonesia is large economy, Srilanka is small economy. Pada saat Indonesia krisis, Srilanka tidak alami krisis. Tidak ada hubungan langsung antara Srilanka dan Indonesia. Yang ada, masalah-masalah poin 1 sampai 5 tersebut, apakah bisa diselesaikan? Sementara ini pola penyelesaiannya seperti pada poin Ketiga, dengan menggelontorkan subsidi besar-besaran. Krisis Harga bisa dikendalikan, tetapi dengan mengorbankan banyak sekali hal. Krisis barangkali bisa tertunda. Akan lebih baik seperti saran pak JK agar menyesuaikan harga dengan kemampaun masyarakat, tetapi golongan bawah tetap dibantu.

Indonesia dengan Srilanka jelas berbeda. Tetapi potensi resesi krisis dan resesi Indonesia memang ada. Dengan catatan jika stabilitas politik lebih berat. Jika harga-harga terus naik, maka rakyat akan protes keras. Jadi, Srilanka dan Indonesia tidak sama, dan tidak bisa ditarik-tarik Indonesia akan mengalami krisis seperti Srilanka. Hanya, melihat krisis global sekarang dan Indonesia punya masalah berat seperti sekarang, maka potensi krisis pasti ada. Potensi akan semakin besar jika stabilitas politik tidak memadai. Segala kebijakan hendaknya tetap care terhadap krisis, kebijakan pembangunan IKN adalah contoh kebijakan yang tidak care terhadap krisis.

Keenam, sebagai tambahan dari pengembangan diskusi lima masalah tersebut, adalah Kapasitas kebijakan pemerintah tidak memadai dan banyak sekali salah kaprah. Ini masalah kepemimpinan ekonomi yang absen, yang bisa dilihat dan dari akibat buruknya kebijakan yang dihasilkan. Tidak ada lagi menteri yang memiliki kepemimpinan teknokratis, semua menjadi politisi rabun dekat, sehingga memperlemah kebijakan yang dihasilkan dalam kepemimpinan masalah ekonomi. Dulu masih bisa berharap kepada menteri keuangan, tetapi tidak lagi sekarang. Oleh karenanya, kita ragu dalam masalah ekonomi akan bisa diselesaikan sehingga kita lepas dari krisis atau resesi di masa mendatang.

BERITA TERKAIT

Saran Membangun Koperasi Merah Putih

    Oleh: Didik J Rachbini Ph.D., Ekonom Senior Indef & Rektor Universitas Paramadina   Koperasi Merah Putih sebagai pilar…

Kolaborasi Antar Instansi, Optimalisasi dalam Pemberantasan Korupsi

Kolaborasi Antar Instansi, Optimalisasi dalam Pemberantasan Korupsi Oleh : Yola Amanda Sari, Pegiat AntiKorupsi Pemberantasan korupsi masih menjadi prioritas utama…

Peningkatan Produksi Sawit: Langkah Capai Target Swasembada Energi

  Oleh : Dirandra Falguni,  Pengamat Energi Terbarukan   Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menetapkan langkah strategis…

BERITA LAINNYA DI Opini

Saran Membangun Koperasi Merah Putih

    Oleh: Didik J Rachbini Ph.D., Ekonom Senior Indef & Rektor Universitas Paramadina   Koperasi Merah Putih sebagai pilar…

Kolaborasi Antar Instansi, Optimalisasi dalam Pemberantasan Korupsi

Kolaborasi Antar Instansi, Optimalisasi dalam Pemberantasan Korupsi Oleh : Yola Amanda Sari, Pegiat AntiKorupsi Pemberantasan korupsi masih menjadi prioritas utama…

Peningkatan Produksi Sawit: Langkah Capai Target Swasembada Energi

  Oleh : Dirandra Falguni,  Pengamat Energi Terbarukan   Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menetapkan langkah strategis…