Full Day School: Strategi Peningkatan Mutu atau Beban Baru bagi Siswa dan Guru?

 

Oleh: Dinda Shafa Rahmayadi, Mahasiswa  Fakultas Ilmu Pendidikan, UNJ

Pendidikan adalah salah satu tiang utama bangsa. Setiap negara harus memiliki kualitas pendidikan yang memuaskan. Dengan pendidikan yang berkualitas, negara dapat terus maju mengikuti perkembangan zaman.

Dilansir dari data UNESCO (2024), Indonesia merupakan negara yang tergolong memiliki kualitas pendidikan yang rendah. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya pemantauan pemerintah terhadap proses perkembangan pendidikan di Indonesia.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah menerapkan beberapa kebijakan pendidikan, salah satunya adalah Full Day School (FDS) yang digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, yaitu Prof Muhadjir Effendy. Kebijakan Full Day School merupakan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2017 tentang hari sekolah. Permendikbud ini mengatur pelaksanaan hari sekolah selama 5 hari dalam seminggu dengan durasi waktu 8 jam per hari, termasuk waktu istirahat.

Penerapan kebijakan ini mulai berlaku pada tahun ajaran baru bulan Juli 2017. Namun, jika sekolah belum memiliki sumber daya dan sarana transportasi yang mendukung, maka kebijakan ini dilakukan secara bertahap.

Pada awal penerapannya, kebijakan Full Day School banyak menuai kontroversi. Namun, setiap kebijakan pasti memiliki keunggulan dan kelemahan dalam implementasinya, termasuk pendapat pro dan kontra dari berbagai pihak.

Salah satu kekurangan dari penerapan Full Day School adalah peningkatan stres dan kejenuhan. Hal ini berkaitan dengan kondisi fisik dan psikologis siswa, di mana siswa akan merasa lebih mudah lelah dan stres jika harus berada di lingkungan sekolah selama 8 jam.

Meskipun terdapat waktu istirahat, tetap saja tidak sebanding dengan waktu belajar yang didapatkan. Para siswa juga akan merasa jenuh jika disuguhkan pembelajaran secara terus menerus.

Anggota Komisi X DPR, Ledia Hanifah Amaliah, pernah mengkritik kebijakan Full Day School karena dinilai dapat mempengaruhi kondisi psikologis siswa, dengan jumlah waktu istirahat yang terbatas dari total 8 jam sekolah.

Kebijakan ini belum menjamin adanya peningkatan prestasi siswa atau justru dapat menyebabkan rusaknya konsentrasi belajar siswa. Alih-alih fokus untuk memperhatikan pelajaran, siswa malah terfokus untuk menunggu kapan waktunya bel pulang karena sudah jenuh dengan tugas dan pelajaran.

Ketidaksesuaian gaya belajar juga menjadi kelemahan dalam kebijakan ini, karena tidak semua siswa merasa nyaman belajar terlalu lama di sekolah. Terkadang ada yang lebih merasa nyaman belajar di rumah atau di lingkungan sekitarnya, sehingga penerapan kebijakan ini tidak akan efektif untuk mereka yang gaya belajarnya berbeda.

Mereka akan kehilangan waktu bermain selepas sekolah dengan teman-temannya, kurangnya interaksi dengan orang tua di rumah, dan waktu mereka untuk bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya.  Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan siswa secara emosional, karena lingkungan keluarga dan masyarakat juga merupakan bagian dari proses pendidikan.

Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI), Asrorun Ni’am Sholeh berpendapat bahwa kebijakan Full Day School dapat mengganggu kehidupan sosial anak, mengurangi interaksi dengan keluarga, dan berpotensi melanggar hak dasar anak.

Sekolah-sekolah yang berada di daerah perkotaan yang memiliki fasilitas mencukupi seperti ruang kelas yang bersih dan nyaman, tenaga pengajar yang berkualitas dan mencukupi mungkin dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran hingga sore hari.

Sosiolog Musni Umar mengemukakan pendapat bahwa kebijakan Full Day School mungkin hanya akan cocok diterapkan di kota-kota besar yang memiliki fasilitas memadai, namun tidak sesuai dengan daerah pedesaan yang fasilitasnya masih belum mendukung penerapan ini.

Peningkatan beban biaya orang tua juga bisa bertambah, sebab peningkatan waktu belajar di sekolah dapat menambah biaya untuk uang saku, bekal makanan, dan perlengkapan sekolah yang akan menjadi masalah baru bagi keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah.

Di sisi lain, penerapan kebijakan Full Day School dapat menjadi keunggulan jika didukung oleh pendekatan yang humanis dan menyenangkan, yaitu dengan menciptakan proses pembelajaran yang lebih bermakna dan membahagiakan siswa, sehingga siswa tidak akan merasa jenuh dengan proses pembelajaran yang memakan waktu lama.

Suyatno (2018) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa sekolah yang menerapkan Humanizing the Classroom dapat mengurangi dampak negatif dari penerapan jam belajar yang panjang, sehingga siswa tetap merasa nyaman saat belajar di kelas.

Selain upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, kebijakan ini juga diterapkan untuk mengontrol kegiatan para siswa di luar jam sekolah dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk lebih memperdalam pemahaman, membentuk karakter dan menggali potensi yang ada.

Kebijakan ini memberikan kemudahan bagi orang tua yang sibuk bekerja, dengan pengawasan dari pihak sekolah orang tua lebih percaya dan merasa aman karena anaknya akan menghabiskan waktu di lingkungan sekolah yang aman dan positif.

Dengan adanya Full Day School juga dapat mempererat hubungan pertemanan antar siswa di lingkungan sekolah. Dengan waktu pembelajaran yang lebih lama, dapat membantu guru untuk membangun kedekatan emosional dengan siswanya.

Guru akan lebih mudah memahami karakteristik dari masing-masing siswa sehingga dapat melihat langsung bagaimana tahap perkembangan siswanya dalam proses belajar.

Kebijakan Full Day School memiliki peran besar dalam mengembangkan pendidikan karakter dan potensi siswa. Melalui kegiatan ekstrakurikuler yang menyenangkan, siswa dapat lebih aktif mengenali kelebihan yang mereka miliki.

Dengan demikian, kebijakan Full Day School sudah memiliki tujuan yang baik dalam meningkatkan mutu pendidikan. Namun, kebijakan ini masih belum bisa diterapkan secara efektif di semua sekolah karena keterbatasan infrastruktur yang berbeda-beda di setiap daerah.

Kebijakan ini juga perlu untuk dievaluasi dan dikaji ulang secara luas dengan mempertimbangkan kondisi fisik dan psikologis siswa, kesejahteraan guru, dan kesiapan sekolah.

Sebelum menerapkan kebijakan Full Day School, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu memastikan pemerataan akses pendidikan di berbagai daerah tertinggal, termasuk pemerataan fasilitas dan infrastruktur penunjang proses pembelajaran yang efektif.

Setelah seluruh kebutuhan dasar pembelajaran terpenuhi, barulah kebijakan Full Day School dapat diterapkan secara bertahap di setiap sekolah. Sebab, apabila fasilitas belum merata, maka sulit bagi seluruh sekolah untuk melaksanakan kebijakan tersebut secara optimal, padahal tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional.

BERITA TERKAIT

Saran Membangun Koperasi Merah Putih

    Oleh: Didik J Rachbini Ph.D., Ekonom Senior Indef & Rektor Universitas Paramadina   Koperasi Merah Putih sebagai pilar…

Kolaborasi Antar Instansi, Optimalisasi dalam Pemberantasan Korupsi

Kolaborasi Antar Instansi, Optimalisasi dalam Pemberantasan Korupsi Oleh : Yola Amanda Sari, Pegiat AntiKorupsi Pemberantasan korupsi masih menjadi prioritas utama…

Peningkatan Produksi Sawit: Langkah Capai Target Swasembada Energi

  Oleh : Dirandra Falguni,  Pengamat Energi Terbarukan   Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menetapkan langkah strategis…

BERITA LAINNYA DI Opini

Saran Membangun Koperasi Merah Putih

    Oleh: Didik J Rachbini Ph.D., Ekonom Senior Indef & Rektor Universitas Paramadina   Koperasi Merah Putih sebagai pilar…

Kolaborasi Antar Instansi, Optimalisasi dalam Pemberantasan Korupsi

Kolaborasi Antar Instansi, Optimalisasi dalam Pemberantasan Korupsi Oleh : Yola Amanda Sari, Pegiat AntiKorupsi Pemberantasan korupsi masih menjadi prioritas utama…

Peningkatan Produksi Sawit: Langkah Capai Target Swasembada Energi

  Oleh : Dirandra Falguni,  Pengamat Energi Terbarukan   Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menetapkan langkah strategis…