NERACA
Jakarta - Di balik kepedulian dan antusiasme masyarakat yang sangat tinggi dalam membantu sesama, sebetulnya masih ada pekerjaan rumah bersama yang harus diselesaikan para pemangku kepentingan terkait kegiatan pengumpulan uang dan barang, yaitu revisi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang kian terasa tidak kompatibel dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.
Mengutip Antara, Jumat (15/7), Pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Hibnu Nugroho menilai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang harus direvisi karena sudah tidak relevan dengan situasi sekarang ini.
Hibnu mengatakan revisi juga perlu dilakukan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.
"Keluarnya suatu undang-undang pasti didahului dengan adanya kebutuhan. Apalagi tahun 1961, berarti sangat dibutuhkan sekali," kata Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu.
Akan tetapi di era sekarang, kata dia, UU Pengumpulan Uang atau Barang yang diundangkan pada tahun 1961 harus ditinjau kembali karena lembaga-lembaga pengumpul sumbangan sudah ada dan bermacam-macam, seperti Palang Merah Indonesia, Badan Amil Zakat Nasional, dan sebagainya.
Dalam hal ini, lanjut dia, revisi terhadap UU Nomor 9 Tahun 1961 tersebut diperlukan karena memiliki sifat dan suasana kebatinan yang berbeda dengan kondisi saat sekarang.
"Sanksi yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1961 terlalu ringan sehingga tidak relevan dengan kondisi sekarang. Demikian pula dengan syarat dan tata cara pembentukan lembaganya," kata Hibnu.
Padahal saat sekarang, kata dia, dalam kegiatan pengumpulan dana terutama yang berasal dari masyarakat perlu adanya manajemen yang ketat karena pertanggungjawabannya adalah pertanggungjawaban publik.
Oleh karena itu, lanjut dia, UU Pengumpulan Uang atau Barang harus diselaraskan dengan kondisi sekarang.
Lebih lanjut, Prof. Hibnu mengatakan jika revisi terhadap UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dilaksanakan, masalah perizinan perlu dipertegas.
"Perizinan tetap diperlukan karena hadirnya negara itu bukan untuk merintangi tetapi paling tidak untuk memonitor arah penggunaan dari pengumpulan dana yang bersangkutan. Jangan sampai dana itu digunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif," katanya.
Terkait dengan hal itu, dia mengatakan kegiatan pengumpulan uang dan barang paling tidak atas sepengetahuan atau izin dari pimpinan daerah.
Menurut dia, hal itu bukan berarti intervensi melainkan sebagai bentuk keterbukaan dan akuntabilitas bahwa negara hadir sehingga kalau ada permasalahan bisa ditanggulangi atau disupervisi agar tidak melenceng dari tujuan penggunaan dana yang bersangkutan.
Mengenai kemungkinan izin dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diperlukan dalam pembentukan lembaga pengumpul sumbangan, Prof. Hibnu mengatakan BNPT belum perlu dilibatkan dalam proses perizinan lembaga pengumpul zakat tersebut.
"BNPT kalau dilibatkan berarti sudah ada indikasi ke sana. BNPT itu tanpa diminta sudah bisa melihat arah dari pengumpulan dana tersebut karena tugasnya melakukan tracking arah pengumpulan yang ada," katanya.
Menurut dia, izin pengumpulan sumbangan cukup dari kepolisian dan pemerintah daerah setempat sebagai bentuk informasi atas pengumpulan dana yang bersangkutan.
"Jangan sampai niat baik itu menjadi salah, jangan sampai niat baik itu juga dipersulit. Ini kan pengumpulan dana untuk kepentingan umat, untuk kepentingan masyarakat, jadi belum saatnya BNPT dilibatkan dalam proses perizinan, terlalu jauh," kata Hibnu.
Sementara, Pengamat hukum Muhamad Baihaqi dari Divisi Hukum dan Advokasi Indonesia Muslim Crisis Center (IMCC) memandang perlu merevisi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 untuk memasukkan aspek transparansi.
"Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dan PP Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan sudah tidak kompatibel karena selama ini kedua regulasi itu tidak terdapat klausul yang menyatakan harus memberikan transparansi anggaran kepada publik," kata Muhamad Baihaqi saat dihubungi di Jakarta, Jumat (15/7).
Menurut dia, klausul transparansi penting agar publik bisa mengetahui bagaimana lembaga amal tersebut menjalankan audit pengelolaan dana dan pihak-pihak yang menjalin kerja sama dengan lembaga tersebut.
Pemerintah harus berupaya untuk melakukan revisi terhadap kedua regulasi tersebut karena saat ini banyak lembaga pengumpulan dana publik yang mengatasnamakan kemanusiaan.
Ditegaskan pula bahwa transparansi perlu dilakukan oleh lembaga amal terkait dengan penyaluran dana yang dikumpulkan.
Laporan audit menjadi salah satu bukti bahwa lembaga amal tersebut menjalankan transparansi, seperti tujuan penggunaan dana bagi bantuan korban bencana alam di suatu daerah.
Selain itu, lembaga amal juga harus menyertakan bukti penyerahan simbolis bantuan kepada pemerintah daerah atau perwakilan masyarakat.
"Peraturan perundang-undangan itu sudah tidak kompatibel untuk digunakan saat ini oleh lembaga-lembaga pengumpulan dana publik yang mengatasnamakan kemanusiaan," kata Muhamad Baihaqi.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah dari Universitas Trisakti mendukung revisi UU Nomor 9 Tahun 1961 dan PP Nomor 29 Tahun 1980.
"Kedua regulasi ini hanya mengedepankan aspek pengaturan, atau belum mencapai aspek-aspek, seperti sasaran penyaluran dana yang dikumpulkan," kata Trubus.
Revisi UU Nomor 9 Tahun 1961 dan PP Nomor 29 Tahun 1980 perlu diarahkan pada aspek transparansi sasaran penyaluran dari dana publik yang telah dikumpulkan lembaga amal. Mohar
NERACA Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak nota keberatan alias eksepsi terdakwa Antonius Nicholas Stephanus…
NERACA Jakarta - Anggota Komisi V DPR RI, Irine Yusiana Roba Putri, menyampaikan penolakan tegas terhadap usulan Wakil Menteri Perumahan…
NERACA Jakarta - Membangun budaya antikorupsi bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi menjadi tugas bersama seluruh elemen bangsa.…
NERACA Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak nota keberatan alias eksepsi terdakwa Antonius Nicholas Stephanus…
NERACA Jakarta - Anggota Komisi V DPR RI, Irine Yusiana Roba Putri, menyampaikan penolakan tegas terhadap usulan Wakil Menteri Perumahan…
NERACA Jakarta - Membangun budaya antikorupsi bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi menjadi tugas bersama seluruh elemen bangsa.…