Ketika Etika Egosentris Menodai PPKM Mikro

 

Oleh: Toto TIS Suparto, Pemerhati Etika, Pengkaji di Institut Askara

 

Para etikawan melempar berbagai pengertian etika. Salah satunya saya tangkap untuk digunakan dalam tulisan ini, yakni etika yang dimaknai sebagai :  "Nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya".

Tingkah laku itu ada yang cenderung egosentris. Pemikir pendahulu kita menyatakan egosentrisme sebagai sifat dan kelakuan yang selalu menjadikan diri sendiri sebagai pusat segala hal. Kelakuan yang asyik dengan diri sendiri. Keasyikan ini membuat kecenderungan untuk menilai obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa berdasarkan kepentingan pribadi. Akibatnya menjadi kurang sensitif terhadap kepentingan-kepentingan atau hal-hal yang menyangkut orang lain.  Jadi hakikat etika egosentris bercirikan: mementingkan diri sendiri; kurang peduli; kurang peka terhadap keadaan sosial, kurang rasa empati sosial, dan merasa dirinya paling benar.

Dalam perspektif etika, ciri-ciri yang disebut tadi adalah penganut paham egoisme psikologis. Etikawan, saya sebut saja misalkan James Rachels, mengungkapkan teori egoisme itu mencakup egoisme psikologis dan egoisme etis. Secara garis besar egoisme psikologis intinya berpendapat bahwa lebih cenderung memilih tindakan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Sementara egoisme etis sekilas mirip dengan egoisme psikologis. Namun sesungguhnya beda. Secara sederhana egoisme etis tidak mengabaikan sama sekali kepentingan orang lain.

Mengapa saya menyinggung tentang etika egosentris? Hal ini terkait pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bahwa kasus aktif Covid-19 menurun signifikan setelah diberlakukan PPKM Mikro tahap kelima pada 6-19 April 2021. Tetapi lepas dari pernyataan Menko itu,  saya membaca angka lain yaitu penambahan kasus baru harian.  Ternyata ada ironi pada Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tahap kelima tersebut.

Mari kita lihat, saat dimulai PPKM tahap kelima,  angka penambahan positif Covid 19 per hari sebanyak 4.549 kasus baru. Begitu PPKM dilaksanakan, beberapa hari kemudian kasus baru menunjukkan tren meningkat. Misalkan, pada 7 April naik menjadi 4.860 kasus, dan terbanyak pada 15 April di mana kasus positif bertambah 6.177. Setelah itu menurun dan akhirnya pada 19 April tercatat 4.952 kasus baru.

Secara keseluruhan periode 6-19 April terdapat tren naik dari  4.549 kasus baru (6 April) menjadi 4.952 kasus baru (9 April). Angka ini menjadi "pengganjal" efektivitas PPKM tersebut. Satu sisi tujuan PPKM untuk menekan penambahan kasus baru Covid 19, namun kenyataannya malah bertambah. Bukankah ini ironi?

Apa penyebabnya? Hemat saya, jika diteropong dari perspektif etika, adalah kendurnya kewaspadaan masyarakat sehingga disiplin menerapkan protokol kesehatan ikut menurun. Banyak kasus yang menguatkan asumsi disiplin prokes yang menurun tersebut. Kita mengelus dada manakala menyaksikan kerumunan sore hari menjelang buka puasa Ramadan. Pasar-pasar Ramadan mengundang kerumunan saat pembeli sibuk memilih takjil. Celakanya di tengah kerumunan itu masih ada saja yang lalai memakai masker. Bisa dibayangkan, bila saling bersentuhan plus berbicara tanpa masker, peluang terpapar virus lebih terbuka.

Kita musti belajar dari India. Meledaknya kasus baru Covid 19 tak lepas dari longgarnya kerumunan.  Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tidak ingin Indonesia bernasib seperti India.  Menkes Budi mengungkapkan ada dua penyebab naiknya kasus corona di India. Pertama, karena ada strain baru virus yang masuk. Kedua, kendurnya prokes meski vaksinasinya sudah berjalan. Masyarakat di sana disebut kurang waspada.

Di manapun ada kerumunan, di sanalah  terdapat karakter heterogen. Kita terkadang tak menyadari bahwa di tengah kerumunan ada terdapat manusia egois. Mereka ini mempraktikkan etika egosentris sebagaimana saya jelaskan pada pembuka tulisan ini.

Oleh sebab itu, manusia egois dalam lingkup PPKM ini memang harus disisihkan. Mungkin manusia egois itu merasa imunnya kuat, lalu enggan pakai masker, tetapi lupa bahwa di sekitarnya ada orang lain. Kita tidak bisa memaklumi mereka. Sanksi hukum dan sanksi sosial merupakan  solusi tepat untuk menyadarkan manusia egois itu.  Tanpa ketegasan ini kurva kasus baru Covid 19 akan lama menurun. Justru yang membahayakan, bayang-bayang petaka India ada di depan mata.

BERITA TERKAIT

Sejarah dan Ingatan Kolektif Bangsa

  Oleh: Pande K. Trimayuni, Sekjen DPP Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia   Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, pada Jumat…

Percepat Pemerataan Energi Lewat Program Listrik Desa

    Oleh: Indah Hapsari, Pengamat Kebijakan Publik   Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam membangun pemerataan akses energi melalui pelaksanaan…

Pemerintah Tegas Jaga Lingkungan dalam Investasi Tambang di Raja Ampat

  Oleh: Marinus Imbenai, Pemerhati Lingkungan Hutan     Raja Ampat dikenal sebagai salah satu kawasan terindah di Indonesia, dengan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Sejarah dan Ingatan Kolektif Bangsa

  Oleh: Pande K. Trimayuni, Sekjen DPP Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia   Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, pada Jumat…

Percepat Pemerataan Energi Lewat Program Listrik Desa

    Oleh: Indah Hapsari, Pengamat Kebijakan Publik   Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam membangun pemerataan akses energi melalui pelaksanaan…

Pemerintah Tegas Jaga Lingkungan dalam Investasi Tambang di Raja Ampat

  Oleh: Marinus Imbenai, Pemerhati Lingkungan Hutan     Raja Ampat dikenal sebagai salah satu kawasan terindah di Indonesia, dengan…