Hatta dan Kemerdekaan Literasi Kita

Amri Mahbub Alfathon

Pustakawan Perpusnas RI

 

Langkah Mohammad Hatta tak bisa dihentikan hanya dengan pengasingan. Pada 1935, pria kelahiran Bukittinggi, 12 Agustus 1902, itu dibuang pemerintah kolonial Hindia Belanda ke Boven Digoel atas tuduhan memprovokasi para pemuda Indonesia untuk merdeka. Tempat terpencil di Papua ini dikenal sebagai “neraka”-nya tawanan politik kala itu, dengan rimba liar ganasnya, dan malaria yang mematikan.

Hatta cukup beruntung. Pada 1937, ia dipindahkan dari “Tanah Merah” tersebut ke Banda Neira, sebuah pulau kecil yang indah nan damai di Maluku.

Meski tubuhnya terasing dari dunia luar, pikiran Hatta terus mengembara. Jiwanya tak pernah berhenti gelisah memikirkan kemerdekaan bangsanya. Dia memanfaatkan masa pengasingannya selama tujuh tahun di Digoel dan Banda dengan mengkhatamkan koleksi bacaan: 16 koper buku yang dibawa dari Jakarta.

Pria dengan nama kecil Athar itu juga tak berhenti menulis berbagai gagasan tentang kebangsaan, sejarah, ekonomi, hingga filsafat, yang ia kirimkan ke berbagai surat kabar di Jawa dan Sumatera, dengan tujuan mendidik masyarakat pribumi yang saat itu belum memiliki akses luas ke ilmu pengetahuan. Dia pun rajin berkorespondensi dengan teman-teman semasa kuliahnya di Belanda. Semua itu dilakukannya agar tidak tertutup dari dunia luar. Agar tetap merdeka, setidaknya, dalam pikiran dan jiwanya.

Selama dalam pengasingan di Digoel dan Banda, Hatta mengajarkan anak-anak yang tidak sekolah. Dengan mengajar, menurut Amrin Imran dalam Mohammad Hatta: Pejuang, Proklamator, Pemimpin, Manusia Biasa (1981), Hatta merasa bisa mengenalkan sejarah bangsa Indonesia, serta menanamkan nasionalisme kepada anak-anak. Tak jarang Bapak Proklamator kita ini mengajak anak-anak didiknya untuk berlayar naik perahu sambil menyanyikan lagu “Indonesia Raya”.

Kita memang harus membaca kembali Hatta. Indonesia sudah merdeka ke-75 tahun dan hari kelahirannya, kita mesti kembali membuka lembaran-lembaran sejarah masa pengasingannya untuk menjadi pengingat betapapun fisiknya terpenjara dari dunia luar, tapi pikiran wajib selalu diasah, dan rasa kemanusiaan patut terus dikedepankan. Terlebih di tengah pandemi covid-19 yang membatasi ruang gerak dan menggerus rasa kemanusiaan ini, mari kita berkaca kepada Hatta yang selalu memerdekakan pikiran dan jiwanya.

Tak ubahnya penjara, corona memang mengasingkan kita semua dari berbagai hal, tapi mestinya tidak untuk literasi. Untuk yang satu itu, kita harus seperti dirinya. “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”

Kemerdekaan literasi bagi bangsa Indonesia termasuk cita-cita Hatta. Hal itu tercermin dari apa yang ia lakukan untuk masyarakat Digoel dan Banda. Baginya, literasi adalah kunci kemajuan suatu bangsa. Dalam konteks ini, literasi menjadi seperangkat keterampilan nyata tiap individu tak hanya dalam mengolah kemampuan kognitif, tapi juga mengolah rasa, mengasah kepekaan, dan membangkitkan kesadaran kemanusiaan.

Meski demikian, sudahkah kita merdeka dalam literasi? Sudahkah kita mengedepankan literasi sebagai cita-cita luhur kemanusiaan bangsa Indonesia yang harus diraih dan diperjuangkan?

Pertanyaan tersebut tampaknya akan sangat sulit dijawab jika melihat fakta yang ada. Dalam hal membaca, Indonesia menempati peringkat ke-73 dari 77 negara berdasarkan penilaian PISA (Programme for International Student Asessment) tahun 2019 yang digelar Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD). Peringkat Indonesia jauh di bawah sesama negara ASEAN lain, seperti Singapura (2), Malaysia (57), dan Thailand (67). Yang menjadi indikator penilaian ialah kemampuan siswa dalam memahami, menggunakan daya kritis, dan evaluasi teks untuk mengembangkan pengetahuan dan berpartisipasi dalam masyarakat.

Itu baru satu hal. Belum lagi perkara masyarakat buta aksara. Badan Pusat Statistik (BPS), dalam “Persentase Penduduk Buta Huruf Tahun 2019”, mencatat masih ada 3,2 juta penduduk Indonesia yang tidak bisa membaca. Ironisnya, jumlah kelompok umur di bawah 15 tahun yang tidak bisa membaca masih cukup tinggi (4,10%). Kalau pada tahun yang sama jumlah penduduk Indonesia di bawah umur 15 tahun ada 66 juta jiwa, berarti ada sekitar 2,7 juta anak-anak yang menjadi tunaaksara.

Kondisi tersebut jelas memprihatinkan karena memperlihatkan dengan gambling tingkat literasi Indonesia masih rendah--kalau tidak bisa dibilang sangat rendah. Ini tentunya berkelindan dengan kurangnya peran individu di tengah masyarakat. Dampak makronya tentu mempengaruhi produktivitas bangsa secara keseluruhan.

Sangat maklum kalau akhirnya timbul pertanyaan, sudahkah negara hadir untuk membangun literasi bangsa? Jawabannya, tentu saja sudah. Pemerintah punya sederet payung hukum yang ditafsirkan ke dalam banyak program kelembagaan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya, punya Gerakan Literasi Nasional. Program ini menyasar sekolah dan masyarakat, bahkan keluarga. Target besarnya masyarakat Indonesia mampu menguasai enam literasi dasar, yaitu baca-tulis, budaya dan kewargaan, digital, finansial, numerasi, serta sains. Tujuannya, untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Adapun Perpustakaan Nasional RI memiliki Pembudayaan Gemar Membaca yang merupakan bagian program jangka panjang Literasi untuk Kesejahteraan. Program ini merupakan upaya paralel antara penguatan literasi dan kesejahteraan masyarakat. Tentu masih banyak lagi proyek ambisius lain yang, sayangnya, mirip (homogen) dan seakan-akan hanya dibedakan oleh nama program.

Pertanyaan selanjutnya, sudahkah program-program yang ada menjadi solusi tepat dalam pengentasan “wabah” nirliterasi bangsa Indonesia? Jawabannya, bisa ya, bisa tidak. Ya, kalau program-program tersebut bisa membentuk manusia Indonesia sebagaimana kodratnya: makhluk yang berpikir. Ya, kalau akhirnya program-program itu tidak hanya membentuk manusia-manusia pragmatis, melainkan melahirkan individu yang bisa hadir untuk individu lainnya hingga akhirnya membangun bangsanya secara holistik. Sebaliknya, kita harus berani mengatakan, bahwa program-program tersebut belum menjadi solusi yang tepat (atau gagal?), kalau ukuran target capaiannya masih sangat kuantitatif dan mementingkan indikator administratif.

Mengukur keberhasilan literasi bangsa bukan sekadar dinilai dari berapa banyak safari program yang dilakukan, atau berapa banyak selebrasi pameran buku yang telah digelar, atau berapa banyak anggaran negara yang sudah diserap. Jauh di atas itu semua, keberhasilan membangun literasi bangsa persis seperti apa yang dimaksudkan Hatta: seberapa jauh literasi bisa memerdekakan pikiran dan jiwa, serta mengasah rasa kemanusiaan. Oleh karena itu, agar tidak terjadi stagnasi dalam pembangunan literasi, harus dimulai dengan tekad yang sama, yakni kemerdekaan dan keadilan dalam literasi untuk semua masyarakat.

Hakikat literasi seperti yang dicita-citakan Hatta ialah menjadi “jalan pembebasan intelektual” untuk keluar dari jerat penyakit anti-intelektualisme. Dewasa kini, tak jarang kita melihat banyak orang dengan akses luas kepada informasi namun mudah sekali percaya dengan hoax dan malah ikut menyebarkannya. Tidak sedikit pula warga Indonesia yang melihat pandemi Covid-19 sebagai sebuah konspirasi.

Hal itu tak lepas dari derasnya informasi di tengah disrupsi teknologi. Di era Industri 4.0 ini, berbagai informasi mudah didapat hanya dengan sekali click, tetapi apakah semua informasi tersebut valid? Belum tentu. Di sinilah kemerdekaan literasi kita diuji.

Kecenderungan populisme politik para elit juga kian menumpulkan ketajaman nurani dan akal budi manusia. Masyarakat dijejali berbagai program yang berselancar di atas dalih kepentingan masyarakat tanpa mendengar dan melihat apa yang sebetulnya masyarakat butuhkan untuk kepentingan literasi mereka.

Padahal, homogenisasi program yang ada, termasuk yang dilakukan di daerah-daerah, malah hanya makin menjauhkan masyarakat dari esensi kemerdekaan berliterasi itu sendiri. Padahal, kalau para pemimpin kita saat ini mau “sedikit” serius, banyak kearifan lokal yang bisa dijadikan langkah efektif untuk meningkatkan literasi bangsa.

Tradisi nadoman atau men-tahqiq­ kitab yang sangat efektif dalam kegiatan pembelajaran di pesantren-pesantren di Jawa, misalnya, bisa dipakai untuk mengembangkan literasi di Jawa pada umumnya. Langkah Pemerintah Bali dengan memasukkan pembacaan kakawin (sajak tradisional berbahasa Jawa Kuno) ke dalam kurikulum pendidikan setempat pula menjadi contoh sukses dalam pengembangan literasi lokal. Akankah Nusantara yang beragam ini malah harus diseragamkan dengan program-program pengembangan literasi yang homogen?

Agar tidak sampai ke homogenisasi pengembangan literasi Nusantara, dekonstruksi paradigma politik literasi yang dilakukan pemerintah mutlak untuk dilakukan. Pendekatan humanistik harus lebih dikedepankan dan masyarakat harus menjadi titik tolak dan garis akhirnya. Dari sana barulah pengembangan fisik dan hal-hal yang bersifat selebrasi bisa dilakukan, seperti pembangunan sarana-prasarana, pengembangan teknologi informasi, dan sosialisasi program.

Nilai literasi secara teleologis dalam memupuk spirit kebangsaan juga tak boleh dilupakan. Sebab, urusan literasi bukan ranah sesaat yang berbau politik pragmatis, melainkan menyiapkan pikiran dan jiwa kebangsaan yang sangat berguna bagi eksistensi bangsa kita di masa depan. Tentunya tak hanya pemerintah yang harus memikul tanggung jawab berat itu, tetapi semua masyarakat Indonesia. Dengan kesadaran ini, tampaknya kita harus memulainya seperti Hatta: memerdekakan pikiran dan jiwa kita.

 

Biodata

Nama : Amri Mahbub Alfathon

Tempat, tgl lahir: Jakarta, 19 Oktober 1990.

Pendidikan : Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

Pekerjaan :

- Jurnalis Butik Musik

- Jurnalis Tempo

- Filolog, peneliti manuskrip kuno, khususnya tentang naskah-naskah suluk Perpustakaan Nasional RI

BERITA TERKAIT

Elemen Masyarakat Dukung Komitmen Presiden Prabowo Berantas Korupsi

  Oleh: Samuel Erza, Pengamat Sosial Politik   Dalam enam bulan pertama masa pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan keseriusan…

Mewaspadai Kepentingan Politik di Balik Aksi Indonesia Gelap

  Oleh: Nancy Mayesi,  Peneliti Sosial dan Politik   Dalam beberapa waktu terakhir, ruang digital dan jalanan Indonesia diramaikan oleh…

BI Rate Kompetitif, Stimulus Cegah Pelemahan Ekonomi

    Oleh: Bara Winatha, Pemerhati Ekonomi Moneter   Bank Indonesia (BI) resmi mengambil langkah strategis dalam merespons dinamika ekonomi…

BERITA LAINNYA DI Opini

Elemen Masyarakat Dukung Komitmen Presiden Prabowo Berantas Korupsi

  Oleh: Samuel Erza, Pengamat Sosial Politik   Dalam enam bulan pertama masa pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan keseriusan…

Mewaspadai Kepentingan Politik di Balik Aksi Indonesia Gelap

  Oleh: Nancy Mayesi,  Peneliti Sosial dan Politik   Dalam beberapa waktu terakhir, ruang digital dan jalanan Indonesia diramaikan oleh…

BI Rate Kompetitif, Stimulus Cegah Pelemahan Ekonomi

    Oleh: Bara Winatha, Pemerhati Ekonomi Moneter   Bank Indonesia (BI) resmi mengambil langkah strategis dalam merespons dinamika ekonomi…