KASUS JATUHNYA PESAWAT SUKHOI SUPERJET 100 - Brand Image Produk Rusia Dipertaruhkan

Jakarta – Baru sejenak menikmati langit biru Indonesia dalam terbang perdana joy flight, pesawat Sukhoi Superjet (SSJ) 100 buatan Rusia jatuh dengan menelan korban jiwa 44 orang. Tak pelak, brand atau nama besar Sukhoi pun kini dipertaruhkan.

“Yang kita ketahui, Sukhoi baru saja merintis untuk bisnis penerbangan sipil. Sebelumnya, lebih pada produksi pesawat tempur. Dengan kejadian ini, tentunya akan mengganggu. Kalau pun ada maskapai penerbangan yang menggunakannya, imej-nya akan turun dan konsumen pun akhirnya lebih memilih dan mencari maskapai yang lebih dipercaya. Menurut saya, butuh dua atau tiga tahun untuk mengembalikan situasi”, papar pengamat pemasaran yang juga Guru Besar FEUI Prof. Dr. Rhenald Kasali kepada Neraca, Minggu (13/5).

Rhenald menambahkan, setiap maskapai yang mengalami kecelakaan tentunya ada masa-masa penurunan konsumen. “Tapi, seperti yang saya katakan, kembali lagi dengan pendekatan maskapai ke konsumen untuk mengembalikan tingkat kepercayaan tersebut”, tukas dia seraya menyebutkan bahwa yang akan terganggu tidak hanya dari calon pembeli pesawat, tapi juga konsumen juga merasa terganggu kepercayaannya.

Oleh karena itu, menurut dia, tergantung maskapai penerbangannya bagaimana melakukan pendekatan kepada konsumen. Karena, paling tidak butuh 2-3 tahun untuk meredakan atau menghilangkan rasa ketidaknyamanan konsumen.

Dari sisi pembeli pesawat, lanjut Rhenald, pembeli pastinya akan melihat kemudahan dalam merawat pesawat tersebut. Maskapai penerbangan yang lebih memilih Airbus, misalnya, karena pertimbangan apabila ada kerusakan dia tidak merasa sulit. Bahkan, masih bisa “dikanibal”. “Selain itu juga tingkat kepercayaan pembeli kepada pembuat pesawat”, ujarnya.

Namun, pengamat bisnis penerbangan Samudera Sukardi tak sependapat dengan Rhenald. Menurut dia, kejadian jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 itu tidak akan berpengaruh besar pasar pesawat buatan Eropa Timur seperti Rusia dan China ke Indonesia.

Pasalnya, lanjut Samudera, jenis pesawat yang dibutuhkan Indonesia adalah berkapasitas menengah. “Pesawat berjenis MA-60 buatan China, Sukhoi Super Jet-100, Embraer buatan Brasil, dan Bombardier buatan Kanada, sangat dibutuhkan di wilayah kita. Ini untuk jarak dekat dan antarkota serta runway-nya di bawah 2.000 meter,” ujarnya kemarin.

Selain itu, kata Samudera, total jumlah bandara di Indonesia sebanyak 600 buah. Sebanyak 80% sampai 90% runway-nya di bawah 2.000 meter. Hal ini sangat tidak memungkinkan bagi pesawat berjenis Boeing-737 dan Airbus-320 untuk mendarat. “Kedua pesawat itu hanya bisa turun di landasan yang panjangnya 2.300-2.400 meter,” tambahnya.

Masalah teknologi, Samudera menegaskan, tidak masalah karena antara Barat dan Timur sudah saling melengkapi satu sama lain.

Dia lalu mencontohkan China, yang mesin dan avioniknya berasal dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Begitu pula dengan Rusia yang konsultannya didatangkan dari Boeing, AS. Dengan demikian, pangsa pasar pesawat buatan Timur masih cemerlang di kawasan Asia, khususnya Indonesia.

Samudera menjelaskan, ada tiga penyebab kecelakaan pesawat. Pesawat itu sendiri, pilot, dan infrastruktur. Terkait pesawat, Samudera menilai, jika ingin mengudara apalagi menjual produknya ke pasar global maka harus melalui tes uji layak terbang internasional.

“Teknologi dan perawatan atau maintenance. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan. Nah, Sukhoi sudah mendapatkan sertifikasi dari Badan Keselamatan Penerbangan Eropa (EASA) tahun 2010. Jadi, tidak mungkin teknologi jadi biang jatuhnya pesawat,” tegas dia.

Hal senada dikatakan pakar teknologi penerbangan Dr. Ninok Leksono. Menurut dia, bisnis penjualan pesawat dari Eropa Timur masih terang meski terjadi kecelakaan Sukhoi Super Jet-100 di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. “Memang, insiden itu menyebabkan Rusia syok. Mereka harus berjuang lagi untuk bangkit meyakinkan pembeli, khususnya yang sudah memesan,” ujarnya, Minggu.

Hanya saja, Ninok menambahkan, kejadian tersebut sebelumnya juga pernah terjadi pada 1988 silam. Saat itu, pesawat Airbus 320 pernah jatuh saat demo terbang. Sebanyak tiga orang tewas dan 50 orang lainnya luka-luka dalam insiden yang terjadi saat event airshow di Habsheim, Alsace, Perancis pada 26 Juni 1988.

Hasil penyelidikan kemudian memastikan bahwa penyebab kecelakaan adalah kesalahan pilot. Para penyidik tidak menemukan bukti adanya gangguan atau kerusakan mesin pesawat. Akan tetapi, kejadian nahas itu tidak berdampak buruk bagi Airbus. Terbukti, Airbus A320 kemudian menjadi salah satu model pesawat paling laris di dunia hingga sekarang.

Ninok menjelaskan, terkait teknologi, Sukhoi sudah setara dengan standard dunia. Karena pesawat jarak menengah ini telah bekerjasama dengan perusahaan penerbangan AS dan Eropa, seperti Boeing, Snecma, Thales, Messier Dowty, Liebherr Aerospace dan Honeywell.

Pesawat ini, lanjut Ninok, mampu membawa 100 penumpang hingga kemampuan jelajah mencapai 4.500 kilometer. Dia menuturkan, pesawat yang terbang perdana tahun 2008 ini telah menerima pesanan lebih dari 200 pesawat di berbagai negara, termasuk Indonesia. “Yang paling penting, investigasi total, apa penyebab jatuhnya lalu sampaikan dengan jelas ke publik. Itu juga bagian dari pemulihan kepercayaan,” tukasnya.

Utamakan Keselamatan

Sementara itu, anggota Komisi V DPR Arwani Tohmafi mengatakan bahwa dalam pembelian alat transportasi massa seperti pesawat Sukhoi Superjet 100, yang perlu diutamakan adalah aspek keselamatan, bukan bisnisnya. "Kelayakan bisnis itu harus disandingkan dengan terpenuhinya aspek keselamatan," ujar Arwani usai mengikuti diskusi di Jakarta Pusat, akhir pekan lalu.

Arwani menyoroti, adanya pola perkembangan dunia marketing, khususnya dalam jual beli transportasi massa seperti pesawat yang awalnya hanya sebatas pameran sampai pihak maskapainya mendatangi konsumen dan mengajak melakukan demo penerbangan.

Namun demikian, lanjut Arwani, meski pola perkembangan marketing semakin dinamis, pemerintah jangan sampai longgar memberikan pengawasan dalam proses pembelian alat transportasi tersebut. "Keselamatan harus jadi yang utama, jadi jangan hanya bicara soal bisnis tetapi tidak memberikan jaminan keselamatan," kata Arwani. ardi/novi/rin

 

BERITA TERKAIT

UPAYA PERLUAS BASIS PAJAK: - Tidak Perlu Turunkan Ambang Batas PTKP

  Jakarta-Akademisi  dan Manajer Riset CITA tidak menyarankan penurunan ambang batas PTKP untuk memperluas basis pajak seperti yang disarankan Organization…

MENKO PANGAN: - Modal Awal Koperasi Merah Putih Rp3 Miliar per Unit

NERACA Bandung - Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengungkapkan, koperasi desa merah putih akan diberi modal awal dari pemerintah…

Pemerintah Pastikan MBG Bebas Kontaminasi

NERACA Jakarta – Pemerintah menegaskan komitmennya dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan memastikan bahwa makanan yang disediakan aman,…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

UPAYA PERLUAS BASIS PAJAK: - Tidak Perlu Turunkan Ambang Batas PTKP

  Jakarta-Akademisi  dan Manajer Riset CITA tidak menyarankan penurunan ambang batas PTKP untuk memperluas basis pajak seperti yang disarankan Organization…

MENKO PANGAN: - Modal Awal Koperasi Merah Putih Rp3 Miliar per Unit

NERACA Bandung - Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengungkapkan, koperasi desa merah putih akan diberi modal awal dari pemerintah…

Pemerintah Pastikan MBG Bebas Kontaminasi

NERACA Jakarta – Pemerintah menegaskan komitmennya dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan memastikan bahwa makanan yang disediakan aman,…