Oleh: Joko Tri Haryanto, Peneliti BKF Kemenkeu *)
Tak terasa 18 tahun sudah perjalanan desentralisasi fiskal era reformasi. Dalam beberapa kesempatan, Presiden kembali mengingatkan makna pentingnya kembali kepada prinsip awal desentralisasi fiskal yang diarahkan untuk mencapai kepentingan dan tujuan nasional melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Terlihat jelas koneksi empati dalam diri Presiden karena beliau merupakan contoh pimpinan yang lahir di masa desentralisasi era reformasi itu sendiri.
Meski mendapat apresiasi, desentralisasi fiskal masih menyisakan beberapa persoalan. Kemandirian daerah yang masih terhambat, maraknya korupsi penyelenggara pemerintahan plus beban belanja birokrasi di daerah yang terus meningkat, mau tak mau wajib untuk segera dicarikan solusinya. Di dalam Rancangan APBN 2020, sedianya pemerintah memiliki beberapa hal baru dan strategis demi meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan daya saing, salah satunya juga terkait dengan alokasi Transfer ke Daerah (TKD) berupa penguatan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik pada dua bidang yaitu sosial dan transportasi laut. Selain itu juga diupayakan pengalokasian DAU tambahan untuk penyetaraan penghasilan tetap perangkat desa serta penggajian Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Dalam besaran keseluruhan, alokasi TKD 2020 mencapai Rp786,8 triliun sementara Dana Desa (DD) berkisar Rp72,0 triliun. Pos terbesar masih diberikan untuk Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp430,1 triliun, kemudian Dana Bagi Hasil (DBH) sekitar Rp116,1 triliun dan Dana Otonomi Khusus/Dana Tambahan Infrastruktur serta Dana Keistimewaan mencapai Rp22,7 triliun. Dana Alokasi Khusus (DAK) terbagi menjadi Fisik sekitar Rp72,2 triliun dan Non-Fisik dikisaran Rp130,6 triliun dengan tambahan aloaksi Dana Insentif Daerah (DID) Rp15 triliun. Sebagai tambahan informasi, sejak 2017 kenaikan alokasi TKD dan DD sudah melampaui besaran dana belanja pemerintah pusat yang dikelola melalui Kementerian/Lembaga (K/L).
Hal ini memang ditempuh oleh pemerintah sebagai konsekuensi nyata dari komitmen menjalankan praktek desentralisasi fiskal sepenuhnya di Indonesia, sekaligus memenuhi prinsip money follow function dan bertransformasi menjadi money follows programs. Sayangnya, beberapa pihak justru menilai dewasa ini terjadi kecenderungan daerah makin bergantung kepada pemerintah pusat. Laporan beberapa lembaga independen menyebutkan rata-rata persentase kemandirian daerah di Indonesia tak lebih dari 15%-20%. Persentase tersebut juga diartikan masih besarnya kebergantungan daerah terhadap dana pemerintah pusat, hingga mencapai 80%-85%. Dengan pola persentase belanja birokrasi daerah yang rata-rata di atas 50%, ruang gerak pembangunan infrastruktur di daerah memang relatif kecil.
Laju pemekaran daerah dan desa menjadi catatan lain yang juga perlu dicermati bersama. Ada anekdot yang menyebutkan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia justru dekat dengan konotasi pemekaran luas wilayah, hal yang tidak di jumpai di kasus negara-negara lain seperti India, China, Jerman dan Rusia. Sebagai upaya menekan laju pemekaran, selain memperpanjang kebijakan moratorium, pemerintah juga senantiasa menaikkan level persyaratan. Perlu diingat bahwa opsi pemekaran sejatinya digunakan sebagai cara terbaik mempercepat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah dengan memperpendek rentang birokrasi.
Sayangnya dari hasil evaluasi beberapa lembaga independen, pemekaran daerah yang marak terjadi justru bertransformasi bak gurita yang mengancam eksistensi negara. Sebagian besar opini publik menyatakan bahwa pemekaran daerah belum mampu menyejahterakan masyarakat. Janji-janji manis usulan pemekaran ternyata sekedar basa basi demi kepentingan birokrasi semata. Hasil studi beberapa lembaga internasional pun menyebutkan bahwa ada persepsi yang berbeda antara pemerintah pusat dan daerah dalam menyikapi pemekaran. Akibatnya banyak daerah baru hasil pemekaran justru tidak efektif dalam menggerakkan perekonomiannya. In-efektivitas penggunaan dana juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak optimal, selain tidak tersedianya tenaga layanan publik dalam kapasitas yang memadai.
Padahal dari sisi APBN, pemekaran daerah jelas menimbulkan beban, khususnya peningkatan alokasi anggaran Transfer ke Daerah. Pemekaran daerah selama ini difasilitasi melalui skema DAK prasarana pemerintah yang akan digunakan sebagai modal awal pembangunan berbagai instansi vertikal di daerah seperti BPS, Kepolisian, Militer, Peradilan, dan Agama. Secara regulasi, aturan mengenai pemekaran daerah itu sendiri dijelaskan dalam pasal Pembentukan Daerah.
Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah. Pembentukan daerah harus memenuhi persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan. Meski menjadi satu pembahasan, pemekaran justru sering digaungkan sementara opsi penghapusan serta penggabungan daerah yang dianggap tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah justru sering dilupakan.
Dengan segala kelengkapan regulasi yang sudah ada, mekanisme audit kelayakan daerah otonom baru, tampaknya menjadi kunci utama kebijakan. Jika memang hasil audit menemukan adanya ketidaklayakan daerah otonom baru, seyogyanya mandat pasal yang mengatur tentang pembubaran atau penggabungan daerah harus ditegakkan sebagaimana mestinya. Begitupula sebaliknya. Jangan sampai ketidakberesan mekanisme audit tersebut justru menyebabkan republik akan terus mekar dan membesar. Karena hal ini nantinya secara lambat namun pasti akan menciptakan bom waktu yang berdampak signifikan ke berbagai persoalan lainnya. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Oleh: Samuel Erza, Pengamat Sosial Politik Dalam enam bulan pertama masa pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan keseriusan…
Oleh: Nancy Mayesi, Peneliti Sosial dan Politik Dalam beberapa waktu terakhir, ruang digital dan jalanan Indonesia diramaikan oleh…
Oleh: Bara Winatha, Pemerhati Ekonomi Moneter Bank Indonesia (BI) resmi mengambil langkah strategis dalam merespons dinamika ekonomi…
Oleh: Samuel Erza, Pengamat Sosial Politik Dalam enam bulan pertama masa pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan keseriusan…
Oleh: Nancy Mayesi, Peneliti Sosial dan Politik Dalam beberapa waktu terakhir, ruang digital dan jalanan Indonesia diramaikan oleh…
Oleh: Bara Winatha, Pemerhati Ekonomi Moneter Bank Indonesia (BI) resmi mengambil langkah strategis dalam merespons dinamika ekonomi…