Pentingnya Modernisasi Pasar Tradisional

 

 

Oleh: Joko Tri Haryanto, Peneliti BKF Kemenkeu *)

Dewasa ini, menyebut pasar tradisional pasti identik dengan bangunan tua tak terurus, kumuh, becek, bau, copet dan saluran mampet. Padahal, dulu pasar justru menjadi salah satu lokasi terfavorit tempat bertemunya berbagai interaksi manusia. Sejarah juga mencatat, kerajaan-kerajaan Jawa bahkan menjadikan pasar sebagai salah satu ikon budaya bersama Masjid Agung, alun-alun dan keraton. Kondisi ini memang terasa cukup memprihatinkan, mengingat banyak wilayah di Indonesia memiliki pasar tradisional dengan keunikan masing-masing.

Secara definisi, pasar tradisional adalah “bangunan yang terdiri dari kios/gerai, los dan dasaran terbuka, yang dibangun oleh penjual atau pengelola pasar”. Barang yang dijual adalah kebutuhan setiap hari, baik makanan, pakaian, elektronik atau jasa lainnya.  Pasar tradisional juga identik dengan proses tawar menawar langsung antara penjual dan pembeli, yang akan membedakan pasar tradisional dengan pasar modern. 

Dilihat dari sisi budaya, proses tawar menawar ini sejatinya bukan sekedar proses transaksi bisnis semata. Di dalamnya terkandung penghargaan tinggi akan sikap dan toleransi sesama manusia. Mau bukti ! Coba perhatikan proses tawar menawar di pasar tradisional. Semuanya dilakukan penuh penghormatan tanpa ada niat untuk sekedar mencari untung. Degradasi pasar tradisional wajib mendapat perhatian yang serius. Banyak pihak menilai maraknya kehadiran pasar modern sebagai penyebab kemunduran pasar tradisional. Pemerintah dianggap tidak melindungi pedagang tradisional.

Meskipun sudah ada peraturan, faktanya pasar modern marak dibangun bak cendawan di musim hujan. Imbasnya konsumen berbondong-bondong pindah dari pasar tradisional ke pasar modern. Bangunan megah, sejuk, bersih, bebas banjir, bebas copet dari pasar modern tentu menjadi godaan yang terlalu sulit untuk ditolak.

Namun jika mau jujur, penyebab utama kemunduran pasar tradisional justru berasal dari sisi internal. Buruknya manajemen pasar, sarana dan prasarana yang minim, keberadaan parkir liar, Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjamur, minimnya akses pasar dan permodalan, serta retribusi liar tanpa kontribusi kinerja justru menjadi penyebab utama mundurnya pasar tradisional. Oleh pengamat, pasar modern dianggap menerima keuntungan dari berbagai masalah internal yang membekap pasar tradisional. Akibatnya laju pertumbuhan pasar modern memang seperti mematikan pertumbuhan pasar tradisional.

Berdasarkan ramalan Bank Pembangunan Asia (ADB), hingga tahun 2011 saja jumlah pasar tradisional sudah menurun 8,1% dibandingkan pertumbuhan pasar modern sebesar 31,4%. Lonjakan kelas menengah penduduk Indonesia 56,5%, juga mengancam keberlangsungan pasar tradisional tersebut. Tanpa perubahan kebijakan, pasar tradisional diramalkan akan menghilang 10 tahun lagi di beberapa daerah. Dengan segala keterbatasan tersebut, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) mencatat jumlah pasar tradisional di Indonesia, mencapai 13,450 unit dengan melibatkan 12,6 juta pedagang dan nilai aset sekitar Rp 65 triliun.

Berdasarkan data Kemendag, pasar tradisional yang terdata sekitar 9,559 unit, dengan 95% berumur di atas 25 tahun, 1% berumur 10-20 tahun dan 3% berada di usia kurang dari 10 tahun. Sisanya tidak aktif dan tinggal nama, akibat fasilitas tidak lengkap dan kurang memadai. Di sisi lain, pasar modern mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Menurut data Kemendag, jumlah pasar modern mencapai 14.000, yang berbentuk convenience store sebanyak 358 toko, minimarket 11.569 toko, supermarket 1.146 toko, hypermarket 141 toko, dan perkulakan atau grosir mencapai 26 toko.

Upaya Penyelamatan

Pemerintah sesungguhnya sudah menginisiasi beberapa upaya penyelamatan terkait dengan keberadaan pasar tradisional tersebut. Setiap tahunnya, pemerintah selalu menganggarkan skema bantuan program revitalisasi pasar tradisional. Sayangnya, besarnya anggaran tersebut sepertinya masih belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Berkaca dari pelajaran tersebut, revitalisasi sepertinya menjadi kunci utama penyelamatan pasar tradisional. Dan revitalisasi tidak harus selalu dimaknai “besarnya anggaran” oleh pemerintah. Revitalisasi justru harus lebih dimaknai sebagai upaya “perubahan mendasar manajemen” pengelolaan pasar tradisional menuju pasar idaman, yang terdiri dari perubahan dimensi tata ruang, barang, dan kendaraan.

Secara teori pasar idaman itu memiliki kriteria tersendiri. Kriteria utama pasar idaman adalah kebersihan pasar. Pasar tradisional harus bersih, jangan sampai volume sampah melebihi volume barang. Pasar tradisional juga harus sehat, dimana barang yang diperdagangkan harus higienis, tidak kadaluarsa dan tidak berbahaya bagi kesehatan konsumen.

Pasar tradisional juga dituntut mewujudkan ketertiban. Timbangan barang sesuai ukuran, tidak boleh dikurangi atau dilebihkan. Kemudian pasar tradisional harus mampu menjamin konsumen, artinya dalam bertransaksi konsumen harus dibuat nyaman dan aman. Keadilan juga wajib tercipta di pasar tradisional. Pasar harus mampu menjaga keseimbangan antara barang domestik dengan impor. Kriteria pasar idaman terakhir adalah kesejahteraan. Pasar tradisional harus mampu menjamin terciptanya kesejahteraan, bukan hanya untuk pedagang melainkan juga konsumennya.

Keseluruhan prinsip pasar idaman tersebut mustahil diraih jika mindset pasar tradisional masih seperti sekarang. Tentu dibutuhkan perubahan paradigma dari sisi manajemen pasar tradisional. Pasar harus diumpamakan selayaknya organisasi profit lainnya. Artinya pasar harus memiliki visi dan misi. Visi dan misi pasar tradisional inilah yang akan men-drive berbagai upaya pengembangan pasar.

Diupayakan visi dan misi yang disusun se-implementatif mungkin, dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Pasar tradisional juga wajib menciptakan value creation sebagai urat nadi pemasaran. Penciptaan value customer ini, tentu membutuhkan pemahaman dan pemenuhan atas kebutuhan pelanggan. Di banyak pasar tradisional, nilai pelanggan sebetulnya sudah ada berdasarkan keunikan masing-masing. Keunikan inilah yang harus terus dikembangkan dan diarahkan menjadi kekuatan bersaing dari pasar tradisional tersebut.

Visi, misi dan value creation pada akhirnya akan berjalan dengan dukungan sinergi yang harmonis antar stakeholders yang terlibat di pasar. Semua pihak harus merasa memiliki dan memikirkan pasar. Disinilah peran Pemerintah menjadi sangat krusial, bagaimana mentransformasikan visi, misi dan value creation pasar menjadi hal yang diimplementasikan di lapangan. Jika nantinya semua persyaratan dapat diwujudkan, bukan tidak mungkin pasar tradisional akan mampu membawa bangsa Indonesia terbang tinggi dalam percaturan internasional.  *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

 

 

BERITA TERKAIT

Elemen Masyarakat Dukung Komitmen Presiden Prabowo Berantas Korupsi

  Oleh: Samuel Erza, Pengamat Sosial Politik   Dalam enam bulan pertama masa pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan keseriusan…

Mewaspadai Kepentingan Politik di Balik Aksi Indonesia Gelap

  Oleh: Nancy Mayesi,  Peneliti Sosial dan Politik   Dalam beberapa waktu terakhir, ruang digital dan jalanan Indonesia diramaikan oleh…

BI Rate Kompetitif, Stimulus Cegah Pelemahan Ekonomi

    Oleh: Bara Winatha, Pemerhati Ekonomi Moneter   Bank Indonesia (BI) resmi mengambil langkah strategis dalam merespons dinamika ekonomi…

BERITA LAINNYA DI Opini

Elemen Masyarakat Dukung Komitmen Presiden Prabowo Berantas Korupsi

  Oleh: Samuel Erza, Pengamat Sosial Politik   Dalam enam bulan pertama masa pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan keseriusan…

Mewaspadai Kepentingan Politik di Balik Aksi Indonesia Gelap

  Oleh: Nancy Mayesi,  Peneliti Sosial dan Politik   Dalam beberapa waktu terakhir, ruang digital dan jalanan Indonesia diramaikan oleh…

BI Rate Kompetitif, Stimulus Cegah Pelemahan Ekonomi

    Oleh: Bara Winatha, Pemerhati Ekonomi Moneter   Bank Indonesia (BI) resmi mengambil langkah strategis dalam merespons dinamika ekonomi…