Dilema Pembiayaan Microfinance

Oleh: Agus Yuliawan

Pemerhati Ekonomi Syariah

Entah sampai kapan selesainya masalah pandemi covid–19 yang terjadi di tanah air? Semua  orang termasuk para pengamat pasti tak ada yang mampu memberikan jawaban yang tegas kapan selesainya. Apalagi jika kita melihat praktik pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di berbagai kota besar, ternyata banyak kebijakan yang  tidak ditaati oleh masyarakat. Itu realitas yang ada selama ini dan  bisa–bisa wabah covid-19 tak selesai hingga akhir tahun ini, karena ketidakdisiplinan warga dan banyaknya tumpang tindih kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang tak populer sebagai kebijakan publik. 

Lantas bagaimana dengan nasib dan kondisi dari lembaga keuangan syariah? Terutama lembaga keuangan syariah yang membawahi orang–orang kecil seperti microfinance syariah. Tentunya mengalami dilematis sekali.

Pasalnya, bagi microfinance dalam kondisi seperti ini-mau maju dan mundur sama–sama kenanya. Di kondisi yang sulit seperti ini microfinance dihadapkan dengan masalah likuiditas yang sangat seret sekali, dimana terjadi kemacetan kesana kemari dari dana yang dipinjamkan kepada para anggotanya. Di sisi lain di saat bulan Ramadhan ada siklus rutinitas dimana banyak anggota atau nasabah melakukan penarikan uang secara besar–besaran untuk kegiatan konsumtif selama ramadhan.

Sebagai lembaga keuangan, tak mungkin microfinance tak memberikan dana ke mereka, apalagi fatsun dari lembaga keuangan mikro adalah memberikan pelayanan terbaik dan mampu dipercaya oleh anggota. Dalam kondisi yang demikian mau tak mau likuiditas dana microfinance harus tergerus untuk memenuhi kebutuhan dari anggota saat penarikan.

Belum lagi kondisi modal keuangan  yang  dimiliki oleh microfinance lebih banyak berasal dari modal eksternal melalui penyertaan dana pihak ketiga lembaga keuangan (perbanan dll), maka di tengah kondisi kebijakan relaksasi yang masih “simpang siur” tersebut, microfinance harus  tetap membayar angsuran yang menjadi akad awal penyaluran pembiayaan. Dengan demikian  pendapatan keuntungan yang dimiliki oleh microfinance akan habis dan terancam sisi kesehatannya. Ekstremnya jika ini tak dikelola dengan manajemen yang baik, kebangkrutan bisa sewaktu–waktu terjadi.

Melihat kenyataan seperti ini intervensi pemerintah kepada lembaga–lembaga microfinance menjadi perhatian tersendiri, apalagi microfinance seperti koperasi adalah salah satu cabang perekonomian nasional selain BUMN dan Swasta yang notabene membawahi nasib wong cilik. Dalam kondisi yang seperti ini diperlukan kebijakan yang taktis dari pemerintah yang bisa cepat  dirasakan oleh microfinance.

Diantaranya kebijakan relaksasi pembiayaan perbankan ke lembaga microfinance  juknisnya harus segera dibuat secepat mungkin oleh pemerintah. Tak bisa relaksasi bersifat “pidato imbauan” tanpa menyiapkan payung hukum pelaksanaan dilapangan—itu sama saja akan menjadi derivatif permasalahan di lembaga keuangan. Payung hukum relaksasi pembiayaan lembaga keuangan sebenarnya dibuat oleh DPR dan Pemerintah jauh hari sebelum adanya covid–19 masuk di Indonesia, sehingga setiap lembaga keuangan akan menyesuaikannya. Tak mungkin membuat payung hukum relaksasi pembiayaan sementara lembaga microfinance sudah pada sekarat, itu tak memberikan solusi sama sekali.

Kemudian diperlukan dana bantuan likuiditas kepada microfinance yang bersifat hibah yang langsung sasarannya kepada pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM)  melalui lembaga khusus negara, dan mampu dipertanggung jawabkan penyalurannya. Tak bisa dalam kondisi yang demikian skema penyalurannya masih menggunakan pendekatan secara paralel antara lembaga keuangan dan microfinance yang masih tetap mengacu pada rate margin bagi hasil yang ditentukan dari awal. Sehingga akan menjadi beban  biaya yang sangat besar bagi end user ketika dana tersebut disalurkan.

Paling vital lagi adalah membangun jaring pengaman sosial yang ada di masyarakat dengan menambah kekuatan adanya kegiatan bantuan sosial (Bansos) kepada masyarakat yang terkena dampak covid. Hal ini dikarenakan dalam kondisi krisis diperlukan kekuatan dan daya tahan masyarakat agar  bisa survive, untuk itu diperlukan bantuan kebutuhan pokok, kesehatan dan pendidikan secara memadai.

Pemerintah harus mampu memberikan daya dukung ini kepada masyarakat dengan kukuatan financial APBN maupun APBD sehingga masyarakat tak mengalami social distress yang tinggi. Lagian tak mungkin pula  kebijakan relaksasi dan likuiditas microfinance tanpa di dukung dengan jaring pengaman sosial yang kuat, bisa–bisa bantuan likuiditas yang disalurkan itu hanya untuk kegiatan konsumtif dan bukan produktif.

 

BERITA TERKAIT

Berat, Namun Triwulan I-2025 APBN Masih Terjaga Aman

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal   Situasi perekonomian global sedang mengalami tekanan yang berat, terutama dipicu oleh kebijakan…

Kebijakan Pro-Industri

Oleh: Febri Hendri Antoni Arief Juru Bicara Kementerian Perindustrian Kondisi industri manufaktur di dalam negeri terbukti menghadapi pukulan berat dari…

Survei Global Fourishing Harvard

Oleh: Pande K. Trimayuni  Ketua Forum Komunikasi Alumni (FOKAL) UI   Barusan saya membaca kiriman artikel di sebuah WA group…

BERITA LAINNYA DI

Kebijakan Pro-Industri

Oleh: Febri Hendri Antoni Arief Juru Bicara Kementerian Perindustrian Kondisi industri manufaktur di dalam negeri terbukti menghadapi pukulan berat dari…

Survei Global Fourishing Harvard

Oleh: Pande K. Trimayuni  Ketua Forum Komunikasi Alumni (FOKAL) UI   Barusan saya membaca kiriman artikel di sebuah WA group…

Kopdes Merah Putih Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Sosialisasi program Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih kini mulai gencar disosialisasikan ke berbagai daerah…

Berita Terpopuler