Residu Pemilu 2019 : Politik Identitas dan Polarisasi Masyarakat (2)

Oleh : Toni Ervianto, Alumnus Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI)

Berbagai isu sosial, ekonomi, dan politik yang muncul dalam ranah publik atau media sosial selalu terbagi menjadi dua kubu tanpa adanya dialog publik. Isu pembangunan jalan tol di Jawa, misalnya, menjadi isu partisan antara kedua kelompok. Perdebatan antara "tol milik Jokowi" dan "rakyat tidak makan infrastruktur" tidak bisa dihindari tanpa ada diskusi substantif terkait isu yang lain seperti tarif dan penggunaan fasilitas jalan tersebut. Politik partisan juga merembet ke pemilihan kepala daerah (Pilkada) seperti di DKI Jakarta. Kemenangan Anies Baswedan sebagai Gubernur Jakarta pada tahun 2017 diidentikkan dengan kemenangan kubu Prabowo. Para ahli berpendapat kemenangan Anies disebabkan penggunaan politik populis yang juga dipakai Prabowo. Pendekatan menggunakan isu agama sebagai senjata terbukti ampuh untuk meraih kemenangan.

Pemanfaatan isu SARA dan Ormas keagamaan juga teridentifikasi telah dimanfaatkan sebagai komoditas politik mendeskreditkan “lawan”, sehingga legitimasi event Pilkada sebagai momentum pesta politik strategis nasional demi keberlangsungan estafet roda pemerintahan negara menjadi terancam. Sedangkan, Gerakan Indonesia Sholat Subuh (GISS) diskenariokan sebagai gerakan politik yang menghalalkan penggunaan politik identitas untuk meraih tujuan pragmatisme politik. Kondisi ini menunjukkan adanya degradasi pengaruh tokoh prominen yang menyebabkan meraka mempolitisasi isu-isu agama, SARA dan isu berbau politik identitas lainnya.

Menilik kepada pendapat Donald Stokes (1963) terkait elektabilitas yang menyatakan kuat lemahnya elektabilitas calon dalam kontestasi politis sangat ditentukan atau merujuk pada kekuatan atomik calon dalam menarik dukungan dalam artian apakah calon memiliki karisma ditengah masyarakat, popularitas yang positif atau memili reputasi bersih dari korupsi. Jadi, penggunaan politik identitas jelas menunjukkan karena pelakunya kurang memiliki kriteria elektabilitas yang dikemukakan Stokes.

Belajar dari Negara Lain

Bangsa Indonesia harus mempercayai fenomena adanya “political uncertainty atau ketidakpastian politik” ataupun “an economic turbulence atau turbulensi ekonomi” bukanlah sesuatu yang disebabkan oleh faktor tunggal. Dalam perspektif intelijen, harus diyakini adanya “hidden agenda” dan “driving forces factors” yang menggerakkannya. Kita harus ambil pelajaran serius dari apa yang disebut “Glassnost dan Perestroika” yang memecahkan Uni Soviet pecah menjadi 15 negara bagian, kemudian “Arab Spring” yang menimpa sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika, seperti misalnya kasus perpecahan bangsa setelah pemilihan umum (pemilu) pernah terjadi di Kenya tahun 2007. Persaingan antara dua kandidat calon presiden berujung dengan 630.000 orang kehilangan tempat tinggal dan 1.133 terbunuh.

Bahkan, kita patut menduga apa yang terjadi di Hong Kong, Bolivia, Peru, Haiti dan Chile adalah bagian dari “hidden agenda” untuk menciptakan color revolutions. Istilah terakhir ini bermakna “mengganti pemerintahan yang tidak bisa dikontrol dengan pemerintah yang mau menjalankan keinginan asing”. NGO dan media massa khususnya media sosial adalah “color revolutions tools” yang dipakai dibanyak negara, sedangkan “driving forces factors” cukup beragam mulai kocar kacir situasi ekonomi, instabilitas keamanan, utang luar negeri yang membengkak, amoral, ataupun korupsi dan pelanggaran HAM oleh negara.

Media propaganda pelaku color revolutions terus menerus digunakan sejak perang dingin dimulai adalah media informasi. Perjudian mereka dengan menyebarluaskan internet sampai sekarang masih harus dibuktikan apakah secara umum bermanfaat bagi mereka atau justru merugikan. Selain kampanye lewat media informasi berupa internet, buku-buku yang diterbitkan juga menjadi media kampanye mereka. Beberapa tahun sebelum Amerika Serikat dan sekutunya melakukan pemetaaan-ulang atau remapping Timur-Tengah yang berujung pada kekacauan politik di Aljazair, Mesir, dan Libya serta Suriah, Hillary Clinton meminta budget yang sangat besar pada pemerintah Amerika untuk menjalankan perang propaganda lewat media. Kebutuhan mendesak pada besaran dana yang fantastis bagi media propaganda ini bahkan sempat menjadi isu utama di majalah yang menjadi corong kebijakan luar negeri Amerika Serikat, Foreign Policy.

Dalam konteks Indonesia, informasi tentang kerja agen-agen kebudayaan di Indonesia yang berafiliasi pada sekutu tanya hanya menjadi gosip di ruang belakang, namun sudah mewujud menjadi produk buku seperti karya Wijaya Herlambang. Studi Herlambang ini bertemu dengan studi Frances Stonor yang dengan berani mengisahkan tentang operasi CCF yang memeroleh back cover dari CIA dan M-16 di berbagai kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Dalam sejarah ekonomi, buku John Perkins berjudul The Confession of an economic hitman sendiri menjadi pelengkap bagaimana operasi ekonomi rahasia dari blok sekutu beroperasi di Indonesia, dengan didalangi oleh CIA. Studi politik yang membahas tentang ulah para intelijen CIA, M-16, maupun agen-agen rahasia negara lain semisal yang ditulis oleh Frances Stonor bisa diperoleh dengan mudah.

Efek dari persebaran informasi itu mungkin tidak pernah dipikirkan orang sebelumnya. Namun kita bisa mempertanyakan secara lebih kritis apa kira-kira pengaruh dari publikasi kegiatan intelijen atau spionase ekonomi-politik-budaya yang dulu dilakukan Barat di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat dengan jelas hidupnya kembali politik ideologi, terutama politik berdasarkan garis ideologi yang secara jelas mengikuti desain politik aliran ala Geertz (di masyarakat kita) dan ala Feith dalam perpolitikan kita. Maka tak bisa kita menghindari godaan bahwa publikasi kegiatan intelijen yang secara massif dilakukan baik oleh orang-orang di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin maupun oleh para peneliti Barat ini menghidupkan kembali suasana politik era perang dingin.

Oleh karena itu, bangsa Indonesia perlu mempelajari penyebab bubarnya suatu negara bisa beraneka ragam, agar dapat dihindari. Uni Soviet termasuk negara dengan pimpinan terpusat dan menerapkan sistem ekonomi terencana. Tapi kenyataannya, Uni Soviet bubar pasca-kematian pemimpin Soviet yang pertama, Vladimir Lenin, pada tahun 1924. Uni Soviet akhirnya dipimpin oleh Josef Stalin penggantinya setelah memenangkan perebutan kekuasaan. Josef memimpin negara tersebut dengan proses industrialisasi besar-besaran dengan sistem ekonomi terencana dan penindasan politik.

Sementara, perang Vietnam atau perang Indocina Kedua terjadi antara 1957 dan 1975 di Vietnam. Perang ini menjadi bagian dari Perang Dingin antara dua kubu ideologi besar, yakni Komunis dan SEATO. Dua kubu yang saling berperang adalah Republik Vietnam (Vietnam Selatan) dan Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara). Amerika Serikat, Korea Selatan, Thailand, Australia, Selandia Baru dan Filipina (yang bantuan militer oleh Taiwan dan Spanyol) bersekutu dengan Vietnam Selatan, sedangkan Uni Soviet, Tiongkok, Korea Utara, Mongolia dan Kuba mendukung Vietnam Utara yang berideologi komunis.

Jumlah korban yang meninggal diperkirakan lebih dari 280.000 jiwa di pihak Vietnam Selatan dan lebih dari 1.000.000 jiwa di pihak Vietnam Utara. Perang ini mengakibatkan eksodus besar-besaran warga Vietnam ke negara lain, terutamanya Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Barat lainnya, sehingga di negara-negara tersebut bisa ditemukan komunitas Vietnam yang cukup besar.

Kemudian, United Arab Republic merupakan sebuah negara yang terbentuk antara tahun 1958 hingga 1961. Republik ini merupakan gabungan antara Mesir dan Suriah. Suriah keluar dari gabungan ini pada tahun 1961, sedangkan Mesir masih disebut sebagai Republik Arab Bersatu hingga 1971.

Republik Arab Bersatu merupakan langkah pertama mewujudkan sebuah negara Pan-Arab, yaitu gagasan Jamal Abdun Nashir. Ia menjadi seorang pahlawan Arab setelah kemenangan politiknya dalam Krisis Suez 1956. Presiden Nashir dan Presiden Suriah Syukri al-Quwatli menandatangani Perjanjian Kesatuan pada tanggal 22 Februari 1958. Nashir dilantik sebagai Presiden Republik Arab Bersatu dan Kairo dijadikan ibu kotanya. Namun, akibat perebutan kekuasaan di Suriah pada 1961 oleh pihak militer, Suriah dikeluarkan dari Republik Arab Bersatu, menandai berakhirnya gabungan ini. Nama Republik Arab Bersatu masih ada hingga tahun 1971, pada saat namanya dikembalikan menjadi Mesir.

Sedangkan, bubarnya negara Yugoslavia terjadi akibat serangkaian pergolakan politik dan konflik selama awal 1990-an. Setelah krisis politik pada 1980-an, Republik Federal Sosialis Yugoslavia terpecah. Meskipun sudah terbelah, masih ada isu yang belum terselesaikan, yang menyebabkan perang antar-etnis Yugoslavia menjadi sengit. Perang ini mempengaruhi Bosnia, Herzegovina dan bagian-bagian tetangga Kroasia.

Semenjak Josip Broz Tito menjabat sebagai Presiden Yugoslavia, negara ini kembali teratur. Model organisasi negara Yugoslavia, serta "jalan tengah" antara ekonomi terencana dan liberal terbilang sukses. Yugoslavia mengalami periode pertumbuhan ekonomi yang kuat dan stabilitas politik yang relatif hingga tahun 1980-an. Tapi awal tahun 1980, saat Josip Broz Tito meninggal dunia, kondisi Yugoslavia tak terkendali, terutama pada bidang ekonomi dan politik.

Upaya Mengatasinya

Kita terbilang beruntung lantaran pembelahan sosial itu tidak lantas bereskalasi menjadi konflik sosial yang melibatkan sesama anak bangsa, seperti banyak terjadi di negara Timur Tengah. Selama ini, polarisasi politik itu lebih banyak diekspresikan di ranah media sosial. Meski demikian, kondisi itu tidak lantas sepenuhnya menganulir potensi konflik sosial akibat polarisasi politik tersebut. Jika kita tidak waspada, embrio konflik akibat polarisasi politik itu bisa mengecambah menjadi gesekan sosial yang mengancam eksistensi kita sebagai sebuah bangsa.

Untuk mencegah kasus seperti di Kenya, kita harus memperbaiki kondisi politik saat ini dengan menggunakan pendekatan dari atas ke bawah. Hal ini bisa dilakukan melalui rekonsiliasi oleh kedua kandidat dan elite politik pendukungnya saat ini. Salah satunya bisa dilakukan dengan menempatkan persatuan bangsa di atas kepentingan politik golongan. Pernyataan kekalahan dari pihak Prabowo dan elite pendukungnya bisa menjadi permulaan. Kemudian dilanjutkan dengan Jokowi melakukan pidato kemenangan. Kedua hal ini bisa menjadi tradisi baru dalam demokrasi untuk meredakan ketegangan di kalangan akar rumput. Sikap kenegarawanan dari kedua kandidat untuk sama-sama mengakui hasil pemilihan tanpa menempuh proses hukum dapat menjadi angin segar untuk mengakhiri polarisasi politik yang terjadi sejak 2014.

Mengingat politik identitas disebabkan sebagai ekses sikap abai elite politik untuk mengajarkan bagaimana seharusnya berkompetisi secara sehat dan elegan, maka elit politik termasuk Parpol harus mengajarkan bagaimana berdemokrasi yang baik, termasuk memenangkan rivalitas politik dengan mengedepankan “high politics practices” dan menisbikan “low politics practices” seperti misalnya pasangan calon yang memenangkan pemilihan bersikap tegas menolak kemenangannya karena tahu bahwa orang-orang yang mendukung telah memainkan isu politik identitas negatif secara sporadis kepada lawan politiknya.

Kemudian, cara lainnya untuk mengatasinya adalah partai politik dan kandidat yang diusung jangan lagi bersandar pada praktik politik pragmatis, termasuk disisi yang lain sebagai gerakan bottom up atau community based, maka munculnya gerakan masyarakat yang menyuarakan anti terhadap politik identitas negatif, termasuk masyarakat anti hoaks perlu didukung secara masif oleh negara karena dapat berpengaruh mengurangi praktik politik identitas dikemudian hari.

BERITA TERKAIT

Sekolah Rakyat Jadi Harapan Baru Wujudkan Target Indonesia Emas 2045

    Oleh: Dhita Karuniawati, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia     Guna menuju Indonesia Emas 2045, pemerintah…

RUU Perampasan Aset, Langkah Nyata Pemerintah Pulihkan Kerugian Negara

    Oleh : Antonius Utama, Pengamat Kebijakan Publik   Wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset kembali mengemuka…

Dampak Penegakan Hukum Terhadap Ekonomi Nasional

    Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik & Advokat          Pada hakikatnya tindak pidana korupsi (Tipikor)…

BERITA LAINNYA DI Opini

Sekolah Rakyat Jadi Harapan Baru Wujudkan Target Indonesia Emas 2045

    Oleh: Dhita Karuniawati, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia     Guna menuju Indonesia Emas 2045, pemerintah…

RUU Perampasan Aset, Langkah Nyata Pemerintah Pulihkan Kerugian Negara

    Oleh : Antonius Utama, Pengamat Kebijakan Publik   Wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset kembali mengemuka…

Dampak Penegakan Hukum Terhadap Ekonomi Nasional

    Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik & Advokat          Pada hakikatnya tindak pidana korupsi (Tipikor)…