Menakar Potensi Pajak Google

 

Oleh: Endah Sitarasmi, Staf Kantor Pusat Ditjen Pajak *)

 

Kabar baik datang dari Google, perusahaan multinasional yang berbasis di California, Amerika Serikat.  Google memutuskan untuk memindahkan hak atas kontrak Google Ads dari Google Asia Pacific Pte. Ltd. yang berkedudukan di Singapura  ke PT Google Indonesia. Artinya, setiap transaksi pemasangan iklan di Google Ads harus tunduk pada ketentuan perpajakan di Indonesia.

Berdasarkan data statistik Google Trends, Google menduduki peringkat kedua setelah Facebook dalam kategori 10 situs yang paling banyak dikunjungi sampai dengan tahun 2018, disusul oleh Youtube, Twitter, Wikipedia, Lingkedln, Baidu, Ebay, Instagram, dan terakhir adalah Bing.  Google diperkirakan mengoperasikan lebih dari 1 juta server di berbagai belahan dunia dan memproses miliaran query data setiap harinya. Tahun 2018 lalu, Alphabet Inc (perusahaan induk Google) mengumumkan pendapatan sebesar USD 39,2 miliar atau setara Rp546,3 triliun.

Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial karena keunggulan demografi yang dimilikinya. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) melakukan Survey Penetrasi dan Profil Pelaku Pengguna Internet Indonesia tahun 2018, yang melibatkan 5.900 sampel  dengan margin error 1,28%. Hasil survey menyatakan bahwa dari total jumlah penduduk Indonesia berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) sebesar 264,16 juta jiwa, 171,17 juta jiwa diantaranya (64,8%) merupakan pengguna internet aktif. Sejumlah 62,8% dari pengguna internet tersebut, menghabiskan waktu lebih dari 2 jam per hari untuk berselancar di dunia maya. Potensi ini tentu tidak disia-siakan oleh Google dan perusahaan teknologi informasi berbasis internet lainnya.

 Produk yang disediakan oleh Google antara lain: 1) Search Engine (aplikasi pencarian)  berupa Google Search, Google Maps, Google Earth, dan Google Books; 2) Sarana komunikasi dan layanan cloud berupa Gmail, Google Drive, Google Docs, dan browser Google Chrome; 3) Software (perangkat lunak) berupa sistem Android yang lazim digunakan pada telepon genggam; 4) Google Analytics, yaitu  layanan yang berisi peralatan bagi para webmaster untuk menganalisis pengguna webnya; 5) Google SMS, yaitu short message service (layanan pesan singkat); 6) Google Aps Premier Edition, sebuah versi lain Google Apps yang difokuskan pada pengguna bisnis, memiliki beberapa tambahan seperti ruang disk lebih banyak untuk e-mail dan akses Application Programming Interface (API);  7) Knol, sebuah situs web yang ditujukan sebagai sumber referensi pengetahuan.

Dari keseluruhan produk tersebut, jasa periklanan (Google Adwords dan Google Adsense) memberikan porsi pendapatan yang terbesar. Pada layanan Google AdWords, pelanggan memasang iklan yang akan muncul pada halaman hasil penelusuran Google dan jaringan situs partnernya. Selain itu Google Adwords juga terdapat pada Youtube dan Maps berupa banner, teks, foto, video, dll. Terdapat 2 macam sistem pembayaran pada Google Adwors, yaitu Pay Per Click (PPC), dimana pembayaran berdasarkan jumlah klik pada iklan dan Pay Per Million (PPM), pembayaran berdasarkan jumlah iklan yang ditampilkan per 1000 kali tampil.

Sedangkan pada Google Adsense (GoogleAds), pemilik website/blog memasang iklan yang bentuk dan materinya telah ditentukan oleh Google. GoogleAds banyak dimanfaatkan oleh publisher/kreator seperti youtuber atau blogger, karena menitikberatkan pada trafffic suatu blog atau banyaknya view suatu konten. Pemilik web/blog/akun youtube akan mendapatkan pembagian keuntungan dari Google untuk setiap 1 iklan yang di klik oleh pengunjung situs  dengan sistem Pay Per Click (PPC).  Ada pula Adsense for Search, dimana pemilik situs web memasang kotak pencarian Google pada halaman web mereka dan mendapatkan penghasilan dari google untuk setiap pencarian yang dilakukan pengunjung melalui kotak pencarian tersebut.

Google menghadapi sengketa pajak dengan berbagai negara. Otoritas pajak Inggris akhirnya berhasil memaksa Google membayar pajak sebesar 130 juta poundsterling (Rp2,2 triliun) setelah bersengketa kurang lebih 6 tahun. Angka tersebut masih jauh dari yang diharapkan oleh pemerintah Inggris, mengingat omset Google di Inggris mencapai 7,2 miliar poundsterling (Rp123 triliun). Pemerintah Perancis menagih pajak sebesar 1,6 miliar euro (Rp23,5 triliun) karena Google memindahkan sebagian besar penghasilannya ke Irlandia, negeri surga pajak. Hal ini juga terjadi di Italia, Spanyol dan banyak negara lainnya.

PT GI sebagai perpanjangan tangan Google LLC. (Amerika Serikat), mulai.beroperasi  di Indonesia sejak September 2011 dan tercatat pernah bersengketa dengan Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2016 karena dianggap tidak membayar pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh di Indonesia. Berdasarkan kontrak dengan induknya, PT Google Indonesia mendapatkan fee sebesar 4% dari pendapatan iklan yang diperoleh di Indonesia. Pendapatan tersebut dijadikan basis pajak, padahal seharusnya basis pajak dihitung dari keseluruhan pendapatan iklan. Saat itu PT GI menolak ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan menolak dilakukan pemeriksaan oleh Ditjen Pajak.

Dipicu oleh kebuntuan sengketa tersebut serta menyikapi perkembangan perusahaan multinasional terutama sektor ekonomi digital yang semakin pesat, bulan April lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menandatangai Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha (BUT). Ketentuan ini menegaskan bahwa setiap bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi asing atau badan asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia dengan kriteria: 1) adanya suatu tempat usaha di Indonesia; 2) tempat usaha tersebut bersifat permanen; dan 3) tempat usaha tersebut digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan. adalah BUT dan wajib mematuhi ketentuan perpajakan di Indonesia.

Beleid ini menegaskan pengertian Place of Business (tempat usaha), yaitu: segala jenis tempat, ruang, fasilitas, atau instalasi, termasuk mesin atau peralatan, yang digunakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan, yang dapat berupa: tempat kedudukan manajemen; cabang perusahaan; kantor perwakilan; gedung kantor; pabrik; bengkel; gudang; ruang untuk promosi dan penjualan; pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; dan komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha melalui internet.

PT GI telah memenuhi kriteria BUT dalam ketentuan tersebut karena memiliki kantor perwakilan, komputer, agen elektronik dan peralatan otomatis yang dimiliki dan digunakan untuk menjalankan usaha dan mendapatkan penghasilan di Indonesia.

Dikutip dari laman resmi google: https://support.google.com/google-ads, PT Google Indonesia mengumumkan kepada para pelanggan Google Ads beberapa hal sebagai berikut: 1) Mulai tanggal 1 Oktober 2019 invoice akan diterbitkan oleh PT Google Indonesia (GI) sebagai reseller layanan, 2) Untuk mematuhi peraturan pajak setempat, semua penjualan Google Ads di Indonesia akan dikenakan PPN sebesar 10%, 3) Pelanggan diminta untuk mengupdate alamat penagihan di Indonesia, 4) Jika pelanggan ingin memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 sebesar 2%, maka diminta mengirimkan bukti potong PPh 23 tersebut ke PT GI, 5) Untuk pelanggan yang berstatus pemungut PPN, diminta memberikan bukti pembayaran berupa Surat Setoran Pajak (SSP) dengan mengirimkan dokumen fisik asli dan bertandatangan, 6) Google tidak dapat memberikan saran tentang masalah pajak, pelanggan dipersilahkan menghubungi konsultan pajak jika ada hal-hal yang belum dipahami. Terkait pengalihan kontrak tersebut, pihak PT GI akan meminta pelanggan Google Ads untuk memperbarui data-data mereka berupa nama asli, Nomor Induk Kependudukan (NIK) serta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk keperluan pembuatan Faktur Pajak.

Itikad baik PT Google Indonesia untuk menaati ketentuan perpajakan melalui pemungutan PPN dan Pemotongan PPh Pasal 23 per 1 Oktober 2019 ini patut diapresiasi, apalagi dalam kondisi sulitnya memenuhi target penerimaan pajak di tengah lesunya perekonomian global.  Semoga langkah ini dapat diikuti oleh Youtube, Instagram, Facebook dan platform Over The Top (OTT) sejenis  yang beroperasi dan mengeruk keuntungan dari rakyat Indonesia. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi. .

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…