Oleh: Johana Lanjar Wibowo, SAP., Pemeriksa Pajak Pertama Ditjen Pajak, Kemenkeu
Pengembangan industri pada hakikatnya diarahkan untuk menghasilkan invensi, inovasi, penguasaan teknologi baru, atau alih teknologi, seiring digitalisasi di berbagai sektor dalam rangka revolusi industri 4.0. Hal ini otomatis akan berpengaruh pada daya saing industri secara global. Pemerintah fokus kepada peningkatan daya saing industri nasional.
Laporan World Economic Forum (WEF) tentang Global Competitiveness Index 2017-2018 menunjukan daya saing Indonesia secara global tahun 2018 berada pada posisi ke-36 dari 137 negara. Posisi ini naik 5 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada tahun 2017, Indonesia menduduki rangking ke-41 dari 138 negara. Sementara itu, berturut-turut tiga tahun ke belakang, Indonesia berada pada posisi ke-37 dari 140 negara (2016), 34 dari 144 negara (2015), 38 dari 148 negara (2014), dan 50 dari 144 negara (2013).
Di sisi lain, perkembangan teknologi menjadi ancaman bagi ketenagakerjaan Indonesia. Tenaga manusia berpotensi digantikan oleh mesin atau kecerdasan buatan. Risiko penggantian tenaga kerja disebabkan karena ketidakmampuan tenaga kerja untuk beradaptasi dengan teknologi.
Ditambah lagi, bidang pekerjaan tenaga kerja masih belum link and match dengan latar belakang pendidikannya. Oleh karena itu, peningkatan daya saing industri Indonesia secara global juga perlu diimbangi dengan peningkatan daya saing tenaga kerjanya.
Belum lagi, banyak perusahaan khususnya multinational enterprise (MNE) menggunakan royalti, paten, atau lisensi dari luar negeri. Bukan itu saja, mereka juga menjalankan fungsi research and development (R&D) di luar negeri.
Fasilitas Perpajakan
Sebagai antisipasi dampak revolusi industri dan digital terhadap pasar tenaga kerja tersebut, Pemerintah memperluas pemberian fasilitas pajak dengan super deductible tax, sebagai sistem insentif atau regulasi untuk industri. Hal serupa sebenarnya telah diterapkan oleh negara-negara lain, seperti: Singapura, Malaysia, Thailand, India, dan Jepang.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 tahun 2019. Beleid itu mengatur wajib pajak (WP) badan dalam negeri mana saja yang dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan (PPh).
Pertama, industri padat karya. Atas WP dalam kategori ini, diberikan pengurangan penghasilan neto sebesar 60% dari jumlah penanaman modalnya dalam jangka waktu tertentu. Investasi tersebut berupa aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan usaha utama.
Kedua, penyelenggara kegiatan praktik kerja, pemagangan, atau pembelajaran. Atas WP ini, dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200% dari jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut. Insentif ini diberikan dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu.
Peningkatkan kualitas tenaga kerja melalui kegiatan tersebut bertujuan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi tenaga kerja. Hal ini sebagai bagian dari investasi sumber daya manusia dan pemenuhan struktur kebutuhan tenaga kerja oleh dunia usaha maupun industri.
Ketiga, pelaksana kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia. Fasilitas pengurangan penghasilan bruto diberikan kepada WP yang melakukan kegiatan ini paling tinggi 300% dari jumlah biaya yang dikeluarkannya tersebut dalam jangka waktu tertentu.
Sebelumnya, fasilitas fiskal yang diberikan hanya berupa pembebasan atau pengurangan PPh (tax holiday). Sasarannya industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Ketentuan mengenai pemberian tax holiday sendiri telah diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35/PMK.010/2018 sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 150/PMK.010/2018.
Sebetulnya, jika ditelusuri dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh, biaya-biaya, seperti: (a) biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia, (b) biaya beasiswa, magang, dan pelatihan, dan (c) sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Namun, hal ini masih belum banyak menyedot perhatian sektor privat.
Harapannya, perluasan fasilitas pajak dapat mendorong investasi atau keterlibatan dunia industri kepada industri padat karya, mendukung program penciptaan lapangan kerja, dan penyerapan tenaga kerja Indonesia. Meskipun, dalam jangka pendek, konsekuensi logis dari kebijakan ini belanja perpajakan (tax expenditure) naik yang akan mempengaruhi realisasi penerimaan pajak.
Ada beberapa hal yang perlu dimasukkan dalam PMK yang merupakan turunan dari aturan ini nantinya. Pertama, apa saja kegiatan yang termasuk dalam kegiatan praktik kerja, pemagangan, atau pembelajaran, serta penelitian dan pengembangan, yang mendapatkan fasilitas ini? Meskipun definisinya telah diuraikan dalam Penjelasan PP tersebut.
WP badan dalam negeri menyediakan fasilitas praktik kerja atau pemagangan di tempat usahanya. Sedangkan, pembelajaran merupakan kegiatan pengajaran oleh pihak yang ditugaskan oleh perusahaan pada tempat-tempat pendiidkan vokasi, seperti: sekolah menengah kejuruan (SMK), madrasah aliyah kejuruan (MAK), perguruan tinggi pendidikan vokasi, atapun balai latihan kerja.
Kedua, apa saja syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh wajib pajak untuk mendapatkan fasilitas tersebut? Ketiga, bagaimana skema pemberian fasilitas pajaknya? Keempat, jangka waktu fasilitas pajak yang diberikan. Terakhir, bagaimana pengawasan agar pemberian fasilititas tersebut tepat sasaran sehingga memastikan insentif tersebut berdampak signifikan terhadap output atau outcome yang dihasilkan.
Pendidikan dan Pelatihan Vokasi
Bukan itu saja, pemberian insentif fiskal juga perlu diikuti dengan langkah-langkah strategi pengembangan pendidikan dan pelatihan vokasi. Hal ini sejalan dengan rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 yang mana pembangunan sumber daya manusia menjadi salah satu prioritas. Fokus pembangunan ini juga dituangkan dalam UU No.11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Peningkatan pendidikan dan pelatihan vokasi (vocational training and school) menjadi sasaran, dengan lima strategi, yaitu: (1) peningkatan peran dan kerjasama industri dalam pendidikan dan pelatihan vokasi, (2) reformasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan vokasi, (3) pendidikan dan pelatihan vokasi berbasis kerjasama industri, (4) penguatan tata kelola pendidikan dan pelatihan vokasi, dan (5) penguatan sistem sertifikasi kompetensi.
Langkah awalnya dengan pemetaan kebutuhan dan pengembangan bidang keahlian termasuk penguatan informasi pasar kerja. Selanjutnya, penyelarasan kurikulum, model pembelajaran, dan program studi sesuai kebutuhan industri. Tidak berhenti di situ, pengendalian satuan pendidikan dan program studi vokasi baru, juga harus menjadi perhatian.
Tidak ketinggalan, peningkatan akreditasi atau standar kompetensi berdasarkan okupasi yang mengacu standar internasional, sinkronisasi sistem sertifikasi yang ada di berbagai sektor, serta penguatan lembaga sertifikasi profesi.
Oleh : Jodi Mahendra, Pemerhati Kebijakan Publik Indonesia resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), sebuah…
Oleh : Andi Mahesa, Mahasiswa PTS di Jakarta Perang terhadap kejahatan siber, khususnya praktik judi daring, kembali…
Oleh : Doni Laksana, Pengamat Pertanian Swasembada pangan merupakan salah satu tonggak utama dalam mewujudkan kemandirian suatu bangsa.…
Oleh : Jodi Mahendra, Pemerhati Kebijakan Publik Indonesia resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), sebuah…
Oleh : Andi Mahesa, Mahasiswa PTS di Jakarta Perang terhadap kejahatan siber, khususnya praktik judi daring, kembali…
Oleh : Doni Laksana, Pengamat Pertanian Swasembada pangan merupakan salah satu tonggak utama dalam mewujudkan kemandirian suatu bangsa.…