Era Transformasi Digital

Merebaknya disrupsi teknologi yang terjadi di berbagai aspek kehidupan manusia saat ini menjadi sorotan dalam berbagai diskursus. Era disrupsi adalah zaman ketika teknologi telah memorak-porandakan lanskap proses bisnis yang berlaku sebelumnya. Dengan demikian, transformasi dalam organisasi perusahaan menjadi mutlak, karena arus deras perkembangan teknologi kini tidak lagi dapat dibendung.

Kita melihat bagaimana disrupsi teknologi telah menggoyang sektor ritel dan menghantam sebagian bisnis transportasi, lalu mampukah birokrasi pengelola keuangan bertahan hidup di tengah banjir digitalisasi? 

Bagaimanapun, digitalisasi dan dinamika teknologi bukan saja melanda dunia tapi juga Indonesia. Dari 253 juta penduduk Indonesia, separuhnya adalah generasi milenial atau generasi yang akrab dengan internet. Diantaranya 52,17% atau sekitar 132 juta adalah pengguna internet, 65% penduduk berbelanja online sebulan sekali, dan 19,92% dari total populasi penduduk merupakan nasabah pengguna e-banking di Indonesia, menurut data Ari Nugroho (Infobank, September 2017). Artinya, digitalisasi telah merambah di berbagai aspek kehidupan masyarakat yang cepat atau lambat, disadari atau tidak telah masuk dalam ranah kebijakan publik dan teknologi informasi nasional.

Sayangnya, sampai saat ini baru segelintir organisasi pemerintahan yang cukup matang dalam melakukan transformasi digital sehingga memerlukan akselerasi transformasi digital. Begitu pula dengan keuangan swasta maupun negara, akselerasi digitalisasi menjadi mutlak untuk mencapai kematangan digital (digital maturity) yakni kondisi ketika teknologi digital telah mentransformasi proses organisasi, sumber daya manusia dan model pelayanan publik. Bagaimanapun, kematangan digital seharusnya mendapat dukungan manajemen perusahaan secara komprehensif. Sehingga dinamika perusahaan sawsta maupun BUMN tidak akan tertinggal atau berada dalam persimpangan, namun sebaliknya mampu memfasilitasi penyediaan layanan masyarakat yang lebih berkualitas di era disrupsi.

Pada era disrupsi, dunia bisnis dianggap relatif lentur, tanggap dan antisipatif dalam merespon perkembangan teknologi. Hal tersebut berbeda dengan tingkat responsivitas sektor publik. Birokrasi  cenderung malas, lamban bahkan terseok-seok dalam menghadapi perubahan yang sesungguhnya tidak lagi linier. Perbedaan tersebut utamanya disebabkan karakteristik sektor publik yang spesifik terkait dengan kebijakan dan regulasi.

Dalam era disrupsi fungsi IT bergeser dari sekadar pendukung proses bisnis menjadi suatu fungsi yang dapat mentransformasi proses bisnis. Lazimnya, fungsi IT adalah mendukung proses bisnis keuangan yang tertuang berbagai peraturan, sehingga pelaksanaan tugas menjadi lebih sederhana, mudah dan efisien. Pada era disrupsi, teknologi berjalan di depan, dan “memaksa” terjadinya perubahan proses bisnis keuangan. Logikanya adalah bahwa IT dan digitalisasi telah membuka ruang untuk peningkatan produktivitas dan efisiensi transaksi keuangan. Adapun manfaat yang diperoleh masyarakat adalah penghematan waktu dan kenyamanan dengan mengunakan pelayanan online untuk mengakses pelayanan publik. Konsekuensinya regulasi dituntut lebih luwes dan fleksibel.

Pada sektor publik, penyesuaian pola kerja akibat arus teknologi memiliki konsekuensi bahwa kebijakan dan regulasi harus pula disesuaikan. Sebut saja inisiatif IFMIS (Integrated Financial Management System) yang mengintegrasikan berbagai platform aplikasi keuangan yang berbeda-beda menjadi satu aplikasi yang terintegrasi. IFMIS telah memudahkan dan menyederhanakan proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, bahkan telah memangkas anggaran Information Technology (IT). Namun, proses digitalisasi keuangan publik harus mencurahkan banyak sumber daya untuk menyesuaikan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum IT dapat mendobrak tatanan yang ada menjadi lebih baik.

Dinamika lainnya adalah otomasi perbankan dan jasa keuangan yang sejalan dengan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang telah dicanangkan Pemerintah. Kelenturan kebijakan dan regulasi dalam merespon dinamika industri perbankan sebagai mitra pemerintah dalam melakukan transaksi keuangan publik yang lebih berkualitas menjadi tantangan tersendiri. Hal ini dikarenakan pengaturan manajemen keuangan yang kaku dan upaya mengubahnya cenderung prosedural dan bersifat redtape (formalitas dan prosedur berbelit-belit). Dalam mengintroduksi digitalisasi dalam pembayaran, ritme birokrasi harus mulai diselaraskan dengan ritme perbankan dan industri terkait lainnya. Birokrasi organisasi yang gagal menyesuaikan ritme tersebut tidak akan efektif dalam mencapai tujuan mulianya yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Semoga!

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…