Tidak Ada Pengampunan Pajak Jilid II

Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan tidak ada program amnesti pajak jilid II, karena pelaksanaan perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 berbeda dengan UU Pengampunan Pajak. Keterangan pers tertulis Humas DJP yang diterima di Jakarta, Selasa (21/11), menyatakan penegasan perlakuan perpajakan dalam PMK baru ini memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak (WP) yang secara sukarela mengungkapkan harta yang belum pernah dilaporkan.

NERACA

Pada saat bersamaan, DJP konsisten menjalankan penegakan kepatuhan sesuai PP 36/2017, sehingga apabila ditemukan data dan informasi harta yang tidak dilaporkan, DJP menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) Pajak tanpa menunggu Wajib Pajak mengungkapkan harta tersebut. Untuk itu, Wajib Pajak yang secara sukarela mengungkapkan harta tersebut dengan membayar pajak penghasilan final sesuai tarif dalam PP 36/2017 yaitu sebesar 12,5 persen hingga 30 persen, sepanjang DJP belum menerbitkan SP2 Pajak, maka tidak dikenakan sanksi sesuai pasal 18 UU Pengampunan Pajak.

Perlakuan ini tidak bisa disamakan dengan program amnesti pajak yang berlangsung pada 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017, karena Wajib Pajak yang telah mengikuti program tersebut tidak lagi dilakukan pemeriksaan maupun penyidikan oleh otoritas pajak. Selain itu, Wajib Pajak yang berpartisipasi dalam program amnesti pajak telah mendapatkan penghapusan sanksi apabila membayar pokok tunggakan pajak yang terutang dalam SKP serta memperoleh pembebasan PPh atas pengalihan saham, tanah dan bangunan.

Keistimewaan tersebut tidak diperoleh oleh WP yang tidak mengikuti program amnesti pajak, karena proses pemeriksaan dan penyidikan tetap berlangsung dan tarif yang dikenakan atas pengungkapan harta lebih besar dari tarif yang tercantum dalam UU Pengampunan Pajak. Sebagai informasi, hingga akhir Maret 2017, dana repatriasi yang masuk ke dalam negeri tercatat Rp 128,3 triliun dari komitmen sebesar Rp 147 triliun. Dengan demikian, masih ada Rp 18,7 triliun dana yang tidak masuk laporan realisasi repatriasi. Adapun target repatriasi yang dipatok pemerintah adalah Rp 1.000 triliun. Sementara itu, untuk realisasi deklarasi dalam tax amnesty tercatat sebesar Rp 4.734 triliun atau melampaui target yang sebesar Rp 4.000 triliun. Realisasi ini termasuk deklarasi dalam negeri yang sebesar Rp 3.698 triliun dan deklarasi luar negeri sebesar Rp 1.036 triliun.

Seperti diketahui, pemerintah merevisi aturan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118 Tahun 2016 dan menempatkan beleid layaknya program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid IV. Hal itu dilakukan demi mengejar penerimaan pajak yang baru sekitar 70 persen dari target Rp1.283,57 triliun pada Oktober lalu. PMK 118/2016 berisi mengenai pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Dalam revisi ini, pemerintah memberi kelonggaran bagi wajib pajak untuk menggunakan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan (SKB PPh) agar bisa memperoleh fasilitas pembebasan PPh dengan melakukan balik nama atas tanah dan bangunan yang dideklarasikan pada program tax amnesty sebelumnya. Waktunya, hanya sampai 31 Desember 2017 mendatang.

Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, ada beberapa latar belakang revisi PMK 118/2016. Mulai dari jumlah peserta tax amnesty yang tak maksimal, kantong penerimaan yang belum terisi penuh, hingga memfasilitasi masyarakat yang masih ragu membayar pajak. "Ada wajib pajak yang tetap ingin patuh, tapi takut karena tahu ada tax amnesty, tapi awalnya tidak aware (peduli)," ujar Prastowo, seperti dikutip CNN. Dengan berbagai latar belakang itu, ia melihat, kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kali ini tentu akan menuai kontra, terutama dari para wajib pajak yang sudah patuh mengikuti tax amnesty.

Sebab, sebelumnya pemerintah seolah memperingatkan wajib pajak dengan menyebut bahwa tax amnesty yang dilaksanakan dalam tiga periode merupakan ajang pengampunan satu-satunya. Namun, kini rupanya masih ada pengampunan, meski tak seringan tarif pajak yang harus dibayarkan saat tax amnesty dulu yang hanya sebesar 2 persen, 3 persen, hingga 5 persen. Adapun, besaran tarif pengampunan pajak nantinya akan sebesar 12,5 persen bagi wajib pajak penghasilan di bawah Rp4,8 miliar, wajib pajak pribadi 25 persen, wajib pajak badan 30 persen. 

Menurut dia, hal ini memberikan kekhawatiran kepada masyarakat lantaran kebijakan pemerintah tak konsisten dan mudah berubah-ubah hanya demi mengejar pajak dari masyarakat dan perusahaan. Bahkan, efek lebih lanjut dari kebijakan ini, bisa menimbulkan distorsi bagi masyarakat. "Distorsinya lebih ke masalah pertumbuhan ekonomi, misalnya konsumsi dan daya beli masyarakat. Pasca tax amnesty, orang memang agak khawatir untuk belanja karena ada persepsi pajak agresif," jelasnya.

Kendati begitu, revisi aturan juga memberi nilai tambah yakni, membuat wajib pajak tak terbebani dengan tarif tinggi dan memberikan sumbangsih kepada penerimaan negara yang hingga Oktober lalu masih seret. Sementara itu, Pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia (UI), Ruston Tambunan, berpendapat, penerimaan pajak yang masih jauh dari target dan potensi kekurangan (shortfall) cukup besar memaksa pemerintah membuka periode tax amnesty jilid II. “Target penerimaan kan belum tercapai, shortfall tinggi, dan perkiraannya hanya tercapai 90 persen. Kemudian seolah-olah muncul ada tax amnesty jilid II atau perpanjangan lewat PMK,” kata Ruston.

Menurut Ruston, WP atau peserta tax amnesty memang memiliki kewajiban untuk melaporkan hartanya periode 2016-2017 dalam SPT Tahunan PPh. Namun untuk periode 2015 ke bawah, sudah diatur dengan jelas dalam UU Tax Amnesty. "Kalau ditemukan harta 2015 ke bawah belum diungkap, dan ditemukan oleh Ditjen Pajak, maka akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan kena denda 200 persen. Jadi revisi PMK ini dan UU Tax Amnesty, tidak sinkron," tegasnya.

Ruston tak menjamin pengampunan pajak jilid II ini dapat meningkatkan kepatuhan WP dan ujung-ujungnya mendongkrak penerimaan pajak hingga akhir tahun. "Apakah ini cara Menkeu di last minutes memberi kesempatan lagi ke WP untuk memperbaiki kepatuhannya. Dengan tarif 30 persen, 25 persen, dan 12,5 persen tidak menjamin juga akan meningkatkan penerimaan," katanya. bari

 

 

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…