HASIL PEMERIKSAAN BPK SEMESTER II-2016 - Potensi Kerugian Negara Lebih Rp 19 Triliun

Jakarta – Presiden Jokowi segera menindaklanjuti temuan-temuan Badan Pemeriksa Keuangan terutama yang menyangkut potensi kerugian negara dalam jumlah besar. Sebelumnya BPK melaporkan 5.810 temuan yang memuat 1.393 kelemahan sistem pengendalian internal dan 6.201 permasalahan ketidakpatuhan berdampak finansial hingga Rp19,48 triliun.

NERACA

Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/4), menerima laporan yang terangkum dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) II-2016 yang disampaikan oleh Ketua BPK Harry Azhar Azis.

"Bapak Presiden segera menindaklanjuti apa yang menjadi temuan-temuan BPK karena beliau memang menginginkan pemerintahan ini secara transparan, kredibel kalau ada permasalahan maka segera diselesaikan," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang mendampingi Presiden dalam pertemuan tersebut.

Pramono mencontohkan, Presiden langsung memerintahkan kepada menteri terkait dan kepada Menteri Koordinator untuk segera menindaklanjuti dan menyeelesaikan permasalahan yang menjadi temuan BPK di kementerian/lembaga tertentu. Selain itu, besar harapan Presiden ke depan agar predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk kinerja keuangan seluruh instansi, termasuk pemerintah daerah (Pemda) terus meningkat.

"Memang harapannya adalah dari waktu ke waktu, misalnya, sebagai contoh WTP untuk pemda dulu sekitar 46%-47% sekarang sudah naik menjadi 58%, tetapi itupun Presiden tetap mengharapkan ditingkatkan termasuk Kementerian/Lembaga. Dengan demikian transparansi itu menjadi kata kunci perbaikan pemerintahan," ujarnya.

Berdasarkan hasil pemeriksaan pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan badan lainnya, secara umum BPK mengungkapkan 5.810 temuan yang memuat 1.393 kelemahan sistem pengendalian intern (SPI). Selain itu ada 6.201 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp19,48 triliun.

Ketua BPK Harry Azhar Azis mengatakan, temuan terungkap dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) II-2016. Di antaranya, 18% permasalahan terletak pada kelemahan sistem pengendalian internal (SPI) dan 82% sisanya persoalan ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan.

"Dari ketidakpatuhan itu, permasalahan yang berdampak finansial sekitar 32% atau senilai Rp12,59 triliun. Yang jelas-jelas merugikan negara, yakni sebanyak 1.205 temuan senilai Rp1,37 triliun atau 61%, dan 329 potensi kerugian negara sebesar 17% yang nilainya lebih besar Rp6,55 triliun," ujarnya.

Menurut Harry, sebanyak 22% atau sebanyak 434 kekurangan penerimaan yang berpotensi mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp4,66 triliun. Dalam laporan tersebut, ada tiga permasalahan yang diungkap dalam laporan tersebut. Pertama, soal jaminan kesehatan nasional untuk mendukung pelayanan kesehatan, di mana jumlah dan fasilitas sumber daya manusianya belum memadai untuk mendukung layanan kesehatan pada Puskesmas dan RSUD.

"Karena ada 155 pemerintah daerah yang program jaminan kesehatannya belum terintegrasi dengan program jaminan kesehatan nasional," ujarnya.

Kedua, yakni terkait pembagian tugas dan tanggungjawab penyediaan sarana dan prasarana sekolah jenjang SD, SMP, SMA/SMK antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat belum diatur. Menurut dia, perlu aturan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Ketiga, wajib pajak (WP) yang wajib memungut pajak pertambahan nilai pada empat KPP Wajib Pajak besar terindikasi belum menyetorkan PPN yang dipungut sebesar Rp910,06 miliar dengan potensi sanksi administrasi bunga minimal Rp538,13 miliar. Selain itu, Wajib Pajak PPN terlambat menyetorkan PPN yang dipungut dengan potensi sanksi administrasi berupa bunga sebesar Rp117,70 miliar.

BPK menemukan adanya indikasi kerugian negara mencapai Rp12,59 triliun. Adapun rincian kerugian negara tersebut antara lain berasal dari 1.205 temuan senilai Rp1,37 triliun atau 61%. Kemudian, 329 potensi kerugian negara atau sekitar 17% yang nilainya sebesar Rp6,55 triliun. "Yang ketiga yaitu 22%, 434 kekurangan pemerimaan yang nilainya sebesar Rp4,66 triliun," tutur Harry.

IHPS II ini merupakan ringkasan dari 604 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang diselesaikan BPK pada semester II-2016. LHP tersebut meliputi 81 LHP atau 13% pada pemerintah pusat, 489 LHP atau 81% pemerintah daerah dan BUMD, serta 34 LHP atau 6% BUMN dan badan lainnya. Berdasarkan jenis pemeriksaan, LHP terdiri sembilan LHP atau satu persen keuangan, 316 LHP atau 53% kinerja, dan 279 LHP atau 46% dengan tujuan tertentu (PDTT).

Terkait dengan pengelolaan pendapatan pajak dan pengelolaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), BPK menyimpulkan pengawasan dan pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak (WP) belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Harry mengatakan, permasalahan yang perlu diperhatikan terkait dengan pemeriksaan atas pengelolaan PNBP adalah piutang macet biaya hak penggunaan frekuensi berpotensi tidak tertagih sebesai Rp1,85 triliun pada Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Sebelumnya BPK menyatakan lima proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mangkrak dengan anggaran sebesar Rp609,54 miliar dan US$ 78,69 juta yang dikerjakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak bermanfaat.  Temuan tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan BPK yang dimuat dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) II- 2016.

Kelima proyek tersebut merupakan bagian dari proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10 ribu mega watt periode 2006-2015. Kelima proyek PLTU tersebut, di antaranya PLTU Tanjung Balai Karimun, PLTU Ambon, PLTU 2 NTB Lombok, PLTU Kalbar 2, dan PLTU Kalbar 1.

BPK menyimpulkan, PLN belum mampu merencanakan secara tepat dan belum mampu menjamin kesesuaian dengan ketentuan, serta serta kebutuhan teknis yang ditetapkan. Oleh karena itu, BPK berpendapat, proyek tersebut perlu mendapat perhatian.

“PLN juga belum mengenakan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pembangunan PLTU sebesar Rp704,87 miliar dan US$102,26 juta,” menurut keterangan tertulis BPK.

Pemborosan uang negara itu dikalkulasi dengan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp9.000 pada 2007. Jika dihitung baik dari nilai proyek dan denda keterlambatan, maka negara mengucurkan sekitar Rp2,94 triliun. Proyek PLTU itu berada di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat presiden untuk dua periode yakni  2004-2014.

Sebelumnya, Jokowi menyoroti mangkraknya 34 pembangkit listrik sisa program Fast Track Program (FTP) I dengan total kapasitas 627,8 MW. Pemerintah mengestimasi potensi kerugian 34 pembangkit ini sebesar Rp3,76 triliun.

Dari 34 pembangkit, PLN kemudian setuju untuk melanjutkan 23 proyek dan melakukan terminasi atas 11 pembangkit yang terdiri antara lain Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Kuala Tungkal (2x7 Megawatt (MW)), PLTU Bengkalis (2x10 MW), PLTU Ipuh Seblat (2x8 MW), PLTU Tembilahan (2x5,5 MW), PLTU Buntok (2x7 MW), PLTU Kuala Pambuang (2x3 MW), dan PLTU Tarakan (2x7 MW).

Pemborosan Uang Negara

Secara terpisah, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Asman Abnur‎ mengungkapkan, saat ini mayoritas pemerintah daerah (Pemda) masih memiliki nilai akuntabilitas di bawah standar, yaitu di bawah B sepanjang 2016.

Masih rendahnya akuntabilitas pemda dari harapan inilah yang dikatakan Asman menjadi pekerjaan rumah yang harus dia selesaikan. Salah satu cara dengan memberikan contoh pemda yang memiliki nilai rata-rata akuntabilitas yang lebih baik, seperti Pemprov Jawa Barat.

"Pemprov Jawa Barat yang telah berhasil meraih predikat A dalam evaluasi akuntabilitas kinerja pemerintah tahun 2016, diharapkan langkah ini juga dapat segera diikuti pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jabar lainnya," ujarnya, kemarin.

Menurut dia, masih banyak pemda yang memiliki nilai akuntabilitas rendah tersebut‎ menyebabkan sasaran pembangunan tidak sesuai harapan, sehingga telah menyebabkan pemborosan keuangan negara hingga mencapai nilai Rp 400 triliun. Jumlah itu sangat fantastis mengingat saat ini pemerintah membutuhkan banyak dana untuk pembangunan nasional, khususnya di sektor infrastruktur.

Untuk itu, MenPAN-RB telah menargetkan pada 2017, seluruh pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten, maupun kota harus memiliki nilai akuntabilitas minimal B (baik).

“Kita harus mengakui, bahwa sampai saat ini masih banyak program yang belum mengikuti prinsip performance based budgeting, pembangunan yang belum tepat sasaran, program dan kegiatan tidak nyambung, juga tidak menutup masih adanya proyek titipan. Ini semua telah menyebabkan pemborosan keuangan negara yang luar biasa, sehingga tata kelola pemerintah yang akuntabel, efektif serta efisien belum bisa kita capai,” ujarnya. bari/mohar/fba



BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…