UU NO 9/1961 SUDAH KETINGGALAN ZAMAN - Filantropi Butuh Regulasi yang Adaptif

Jakarta - Pemerintah sudah saatnya perlu mengakomodasi semangat masyarakat untuk melakukan kedermawanan sosial dan seharusnya mengurangi peraturan-peraturan yang justru dapat mengurangi antusiasme itu seperti masa pelaporan yang pendek serta proses perizinan yang berbelit-belit. Pasalnya, UU No 9/1961 dianggap sudah tidak adaptif lagi di tengah besarnya potensi dana masyarakat yang dapat digalang melalui kegiatan kedermawanan sosial atau yang lazim dikenal sebagai Filantropi saat ini.

NERACA

"Jika penggalangan dana filantropi dapat dimanfaatkan secara positif dan optimal, hal ini dapat membantu pemerintah menjadi pembiayaan program pemerintah yang mendukung target SDG's yang telah ditetapkan oleh PBB," ujar Direktur Eksekutif Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) Hamid Abidin dalam Lokakarya RUU Pengumpulan Uang dan Barang di Jakarta, Senin (27/3). Pada kesempatan itu, Hamid mengingatkan hasil survei Gallup Internasional menempatkan masyarakat Indonesia pada peringkat kedua dunia sebagai masyarakat paling senang berderma.

Ini menunjukkan bahwa kegiatan pengumpulan sumbangan menjadi trend yang sangat positif dan terus berkembang pesat di Indonesia, dengan perkembangan teknologi dan media sosial, kegiatan pengumpulan dana publik tidak terbatas pada satu wilayah melainkan lintas wilayah di seluruh Indonesia maupun di seluruh dunia, sehingga dana publik adalah sebuah potensi yang luar biasa yang dapat mendukung pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan sosial masyarakat.

“Namun isu akuntabilitas penyelenggaraan dana publik menjadi sorotan banyak pihak, pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan atas penyelenggaraan dana publik di Indonesia ini dirasa belum maksimal, sehingga dapat berpotensi merugikan bagi para pendonor, para pengumpul sumbangan, para pengelola sumbangan dan para penerima manfaat sumbangan. Pengawasan terhadap penyelenggaraan sumbangan di Indonesia tidak terlihat ketika ada pihak-pihak yang dirugikan dari kegiatan penyelenggaraan sumbangan,” ujar Hamid.

Dia menjelaskan, UU No 9/1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang, diundangkan sejak 10 Mei 1961, hingga saat ini sudah berusia 52 tahun yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan situasi masyarakat serta tatanan pemerintahan. Hal ini diakibatkan dari pergeseran dan perubahan yang terjadi sebagai dampak dari perkembangan zaman dan pembangunan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan situasi tersebut antara lain di bidang ketatanegaraan dan dinamika masyarakat. Dalam ketatanegaraan ditandai dengan perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi, sedangkan dalam dinamika masyarakat ditandai dengan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam Penyelenggaraan Sumbangan.

Sebagai akibat dari perubahan dan dinamika masyarakat tersebut, memberikan dampak materi muatan dalam UU No 9/1961 sebagian besar tidak dapat diterapkan dan ada beberapa hal yang belum terakomodasi,  sehingga dipandang perlu undang-undang tersebut diganti dengan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Sumbangan Publik.

Mengingat pentingnya UU tersebut, PFI mengajak berbagai pihak untuk:

Pertama, Berpartisipasi aktif dan terlibat langsung menumbuhkan kepedulian dan kesetiakawanan serta kesukarelaan dalam mewujudkan penyelenggaraan sumbangan untuk membantu bagi setiap orang untuk dapat terpenuhi kebutuhan pokok dan bebutuhan dasar serta mengembangkan potensi diri untuk memberdayakan dirinya agar dapat menjalankan fungsi sosial dan keberfungsian sosial.

Kedua, Mewujudkan penyelenggaraan sumbangan yang tertib administrasi, transparan, dan akuntabel sehingga mendapat kepercayaan publik dan tata kelola sumbangan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, Meningkatnya promosi dan kampanye secara masif dalam penyelenggaraan sumbangan untuk kemanusiaan. Keempat, Mendesak pemerintah dan parlemen (DPR RI) memberikan perhatian dan menjadi RUU tentang Penyelenggaraan Sumbangan Publik menjadi prioritas Program Legislasi Nasional 2017-2018.  Kelima, memperkuat jaringan,komunikasi, koordinasi dan sinergi dalam mengoptimalkan penyelenggaraan sumbangan sebagai gerakan kemanusiaan yang adil dan beradab, dengan prinsip non diskriminasi dan tanpa unsur kepetingan politik praktis.

Pembicara lainnya, staf ahli Komisi VIII DPR-RI Suratman mengatakan, pengumpulan sumbangan dalam bentuk uang atau barang dan /atau jasa dari, oleh peningkatan kesejahteraan sosial untuk mencapai masyarakat adil dan makmur sesuai dengan tujuan NKRI sebagaimana tertuang dalam Sila ke-5 Pancasila dan Pembukaan UU Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Nilai semangat kegotongroyongan tersebut senantiasa perlu dilestarikan dan dilaksanakan secara terus-menerus, dan berkesinambungan secara sinergis dari seluruh lapisan masyarakat dan komponen bangsa.

“Maksud pengumpulan uang atau barang dalam RUU ini pada hakekatnya ditujukan untuk membangun nilai-nilai semangat kegotongroyongan dan kepedulian masyarakat untuk membantu masyarakat yang tidak mampu/lemah oleh masyarakat yang  mampu/kuat dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur,” ujarnya.

Pengumpulan Sumbangan sebagai suatu bentuk sarana kegiatan penggalian  potensi masyarakat mampu yang diperuntukkan bagi masyarakat yang kurang mampu, melalui bentuk penghimpunan uang atau barang. Kegiatan tersebut merupakan salah satu ciri Bangsa Indonesia yang mempunyai jiwa tolong-menolong, gotong-royong, dan memiliki tanggung jawab bagi sesama.

Era Hukum Kolonial

Hamid menuturkan, payung hukum perkumpulan sampai saat ini masih mengacu pada hukum era kolonial atau Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum. Regulasi tersebut dianggap tidak relevan dengan kondisi perkumpulan saat ini.

“Yang terjadi kemudian justru yayasan dan perkumpulan dimasukkan ke dalam Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan. Yang kami khawatirkan justru terseret ke ranah politik ketimbang pada pemberdayaan sosial,” ujarnya.

Fokus kegiatan organisasi filantropi di Indonesia saat ini banyak di bidang pendidikan, kesehatan, penyantunan, dan tanggap bencana. Namun, lembaga filantropi masih menghadapi ganjalan dari proses perizinan untuk menggelar penggalangan dana. Pasalnya, dalam UU No 9/1961 disebutkan penggalangan dana harus didahului permohonan izin kepada Kementerian Sosial (Kemensos), dan izin penggalangan dana hanya berlaku selama enam bulan.

Pelanggaran terhadap peraturan ini bisa berwujud pidana kurungan maksimal tiga bulan atau denda maksimal Rp 10.000. Uang yang diperoleh dari kegiatan penggalangan yang melanggar juga akan disita negara.

Dalam surat permohonan izin, menurut dia, juga harus ditentukan luas penyelenggaraan wilayahnya. Ketentuan ini menjadi satu bukti bahwa perundangan ini tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman karena media sosial sudah membuat pembatasan geografis tidak lagi bermakna.

“Yang perlu diubah adalah rezim perizinan menjadi rezim pendaftaran. Permudah pendaftaran, tetapi perketat pengawasan,” katanya. Menurut Hamid, saat ini penggalangan dana tidak terawasi dengan baik.

Dalam UU No 9/1961 terdapat sejumlah kelemahan yang belum diatur secara tegas seperti pengumpulan jasa di luar uang dan barang, mana yang perlu izin dan mana yang tidak perlu izin pemerintah, hak donatur dan kewajiban, berapa besar prosentase yang boleh digunakan untuk operasional penyelenggaraan sumbangan 10% atau 20%, pemisahan rekening antara dana benacana dan non bencana, sumbangan masyarakat melalui media sosial (medsos), sumbangan masyarakat dari luar negeri. Lantas apakah boleh individu (perorangan) mengajukan permohonan izin sumbangan, karena selama ini hanya lembaga atau kepanitiaan yang boleh mengajukan izin pengumpulan dana msyarakat.

Sebelumnya Daniel Yusmic, Ketua Tim Peneliti FH Unika Atma Jaya Jakarta, mengatakan, berdasarkan usia dari regulasi yang dikaji menunjukkan, lembaga filantropi belum pernah secara aktif mengadvokasi pembuatan atau perubahan UU. Itu menjadi salah satu penjelasan dari kebijakan yang belum sinkron. “Proses pembuatan UU nuansa politisnya sangat terasa. Itulah sebabnya, mereka harus bisa mengawalnya secara saksama,” ujarnya. bari/mohar/fba

 

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…