JK: Ketimpangan RI Cukup Berbahaya

 

Ketimpangan RI Terburuk ke-6 Dunia
Jakarta-Laporan Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia (INFID) mengungkapkan, ketimpangan pendapatan antara orang kaya dan orang miskin di Indonesia terburuk keenam di dunia. Menurut laporan tersebut, ada lima penyebab ketimpangan di negeri ini yang  memperlambat pertumbuhan ekonomi.
NERACA
Meski proporsi masyarakat yang hidup dalam kemiskinan ekstrem memang berkurang menjadi 8%, Oxfam dan INFID menilai, capaian pertumbuhan ekonomi belum diimbangi dengan pemerataan pendapatan.
Bahkan dua dekade terakhir, ketimpangan antara kelompok terkaya dan kelompok miskin di Indonesia meningkat lebih cepat dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara. Laporan tersebut juga mencatat bahwa kekayaan empat orang terkaya Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. “ ketimpangan tersebut tidak hanya memperlambat pengentasan kemiskinan, tetapi juga memperlambat pertumbuhan ekonomi,” ujar Direktur INFID Sugeng Bahagijo, pekan lalu. 
Menurut dia, ada lima penyebab ketimpangan. Pertama, fundamentalisme pasar yang diperkenalkan ke struktur perekonomian Indonesia pada krisis keuangan 1997 telah memungkinkan orang kaya meraup bagian keuntungan terbesar. Akibatnya, political capture meningkat orang kaya mampu memanfaatkan pengaruh yang dimiliki untuk mengubah aturan yang dapat menguntungkan mereka.
Kedua, adanya ketidaksetaraan gender. Ketiga, upah murah yang menyebabkan masyarakat bawah tidak mampu mengangkat diri dari jurang kemiskinan. Keempat, ketimpangan akses antara persedaan dan perkotaan terhadap infratruktur.
Kelima, sistem perpajakan yang gagal memainkan peran mendistribusikan kekayaan. “Indonesia menghadapi ketimpangan multidimensi,” kata Steve Price Thomas, Direktur Advokasi dan Kampanye Oxfam International.
Untuk  mengatasi ketimpangan tersebut, Oxfam dan INFID menyarankan tarif pajak yang tinggi untuk masyarakat super-kaya, sebesar 45% untuk orang-orang berpenghasilan lebih dari Rp 10 miliar per tahun. Golongan ini mencakup eksekutif, manajemen puncak, pemilik, dan pemegang saham beberapa perusahaan terbesar di Indonesia. “Ada 200.000 orang dengan penghasilan di atas Rp 10 miliar di Indonesia,” ujar Dini Widiastuti, Jurubicara  Oxfam.
Menurut dia, tarif teratas 45% dari PPh telah diterapkan oleh negara-negara G-20  seperti Inggris, sementara negara maju seperti Belgia sebesar 50% dan Denmark 51,5%.
Dalam jangka panjang  sistem PPh pribadi juga harus disesuaikan dengan pengenaan pajak tambahan bagi kalangan kaya. Misalnya, kisaran Rp 500 juta-Rp 5 miliar per tahun dikenakan tarif pajak 45% dan 65% untuk berpenghasilan lebih dari Rp 10 miliar per tahun.
Oxfam dan INFID juga menyarankan penerapan tarif pajak tinggi untuk harta kekayaan dan pajak warisan. Sebab beberapa negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, telah menerapkan tarif pajak harta warisan masing-masing 55% dan 50%.
Mereka juga menyarankan pemerintah untuk membatalkan rencana pemangkasan tarif PPh badan dan meninjau ilang intensif pajak. Sebab, hal itu tidak serta merta meningkatkan kepatuhan pajak.
Menkeu Sri Mulyani mengakui tingginya ketimpangan di Indonesia. Walaupun begitu, dia beralasan, gini ratio yang diukur dari konsumsi belum menggambarkan tingkat ketimpangan sebenarnya. Sebab jika gini ratio di hitung berdasarkan penghasilan masyarakat, ketimpangan di Indonesia sangat besar.
Saat terjadi kenaikan harga komoditas pada 2011-2012, setiap 1% pertumbuhan ekonomi menyumbang 0,1% penurunan tingkat ketimpangan di Indonesia. Namun sejak tahun 2013-2015, setiap 1% pertumbuhan ekonommi hanya menyumbang 0,033% penurunan tingkat ketimpangan.
Sri Mulyani juga menilai instrumen pajak menjadi salah satu upaya mengatasi ketimpangan. Namun bukan hanya soal tarif tinggi untuk orang berpenghasilan tinggi. "rate yang progresif is one thing. Tetapi yang terpenting adalah the ability to collect,” katanya .
Pertukaran data pajak otomatis untuk atau Automatic Exchange of Information (AEoI) bisa menurunkan ketimpangan. Cara lain adalah dengan memperbesar anggaran transfer ke daerah.
Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (Infid) menyebut, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki ketimpangan terburuk keenam di dunia.
Bagaimana tidak, dari hasil kajian yang dilakukan, kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta orang termiskin yang ada di tanah air. Hal itu yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan peringkat keenam terburuk di dunia.
Lebih Cermat
Namun menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution, data yang dirilis Oxfam terkait ketimpangan orang miskin dengan orang kaya tersebut perlu dilakukan perhitungan yang lebih cermat dan akurat.
"Oxfam, datanya kok gawat juga. Ketimpangan memang memburuk, kalau dikatakan empat orang dibandingkan 100 juta orang itu 40 persen, artinya, masa 1 persen orang kaya memiliki harta sekitar 40 persen orang miskin di seluruh Indonesia, bertentangan dengan angka yang mereka berikan sendiri," ujar Darmin di Jakarta, Jumat (24/2). 
Sebelumnya, Jurubicara Dini Widiastuti mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum diimbangi dengan pembagian pendapatan yang merata. Sehingga, ketimpangan yang tampak di Indonesia menjadi sangat terlihat.
Tercatat juga, ketimpangan antara orang-orang yang tergolong kaya raya dan orang-orang miskin semakin terlihat signifikan selama 20 tahun terakhir.
"Kesenjangan antara kaum super kaya dan penduduk lainnya di Indonesia tumbuh lebih cepat dibanding di negara-negara lain Asia Tenggara," tutur dia.
Dini menambahkan, kesenjangan antara kekayaan orang super kaya dan kelompok lainnya dapat menjadi ancaman. Sebab, jika ketimpangan tidak segera diatasi maka upaya pemerintah menurunkan kemiskinan akan mengalami hambatan.
"Pemerintah perlu memperbaharui kebijakan pajak sesuai dengan potensi ekonomi dan prinsip pembagian utang serta manfaat yang adil, kemudian pemerintah memulihkan dan memberikan penekanan yang lebih atas pembangunan sumber daya manusia dan ketenagakerjaan," ujarnya. 
Sekadar informasi, Oxfam adalah organisasi nirlaba dari Inggris yang berfokus pada pembangunan penanggulangan bencana dan advokasi, bekerja sama dengan mitra lainnya untuk mengurangi penderitaan di seluruh dunia.
Namun, alasan Menko Perekonomian Darmin Nasution yang menggunakan Koefesien Gini 2016 untuk membantah data Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) soal laporan ketimpangan di Indonesia, dinilai tidak tepat.
“Pak Darmin bicara pemerataan pendapatan, kurang relevan kalau kemudian dijadikan alasan untuk meng-counter data Oxfam dan INFID. Dua hal yang berbeda, Oxfam dan INFID berbicara masalah kemiskinan,” ujar ekonom UGM Prof. Tri Widodo seperti dikutip laman aktual.com, Sabtu (25/2).
Dengan asumsi orang miskin hanya punya pendapatan yang tidak termasuk kekayaan seperti rumah, kendaraan, ternak, tanah dan lainnya, maka kisaran rasio perbandingan yang dirilis Oxfam dan INFID menurut dia kemungkinan benar.
“Dari perkiraan kasar saja. Garis kemiskinan penduduk Indonesia Rp 344.809 per kapita per bulan, berarti setahun katakanlah hanya Rp 4 juta per kapita, dikalikan 100 juta penduduk miskin (hasilnya) sekitar Rp 400 triliun,” kata Tri.
Maka, jumlah tersebut tidak jauh dari total kekayaan taipan-taipan Indonesia seperti R. Budi Hartono Rp 105 triliun, Michael Hartono Rp 102 triliun, Chairul Tanjung Rp 63 triliun dan Sri Prakash Lohia Rp 54 triliun.
“Jadi yang lebih tepat adalah pendapatan 100 juta orang miskin dibanding dengan aset 4 orang terkaya. Aset orang termiskin tidak pernah diumumkan, tapi aset orang terkaya diumumkan,” ujarnya. 
Berbicara Koefisien Gini 2016, seperti menurut Darmin, angka 0.39 memang lebih baik (merata) ketimbang tahun 2015 sekitar 0.41. Tri beranggapan Darmin mungkin ingin mengatakan kondisi pemerataan pendapatan membaik atau semakin relatif merata.
Tetapi, kondisi itu lebih tidak merata atau memprihatinkan bila dibandingkan dengan kondisi satu dan dua dasawarsa terakhir, misal tahun 1993 sebesar 0.344 dan 2003 sebesar 0.343.
“Biasanya di negara sedang berkembang, semakin tinggi pendapatan per kapita masyarakat maka semakin tinggi pula ketimpangan pendapatan,” katanya.
Sebaliknya, pada titik tertentu di negara maju, guru besar ekonomika bisnis itu mengatakan,  semakin tinggi pendapatan per kapita masyarakat justru semakin rendah ketimpangan pendapatannya.
Kondisi ini dalam dunia ekonomi dikenal dengan teori Kuznets Curve, yang pertama kali dikemukakan ekonom Simon Kuznets pada medio 1950-an, hubungan empiris antara pembangunan ekonomi dan tingkat ketimpangan. “Sehingga wajar di Indonesia jika kenaikan pendapatan per kapita diikuti dengan ketimpangan yang meningkat,” ujarnya. 
Hal ini pun dipandang lumrah juga terjadi di negara-negara ASEAN lain. Data Koefesien Gini tahun 2011 Filipina sebesar 0.46 dan Singapura 0.47. Tahun 2009, Malaysia sebesar 0.44 dan Thailand 0.39.
“Ketimpangan di Indonesia terjadi karena ketimpangan penguasaan aset produktif bangsa yang dikuasai beberapa individu/kelompok/perusahaan yang kemudian terjadi akumulasi kapital, sehingga memang betul ada kenaikan pendapatan rata-rata (pertumbuhan ekonomi) tetapi diikuti dengan ketimpangan pendapatan,” ujar Tri. bari/mohar/fba

 

Jakarta-Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengingatkan bahwa kesenjangan yang ada di Indonesia sudah cukup membahayakan karena adanya perbedaan agama antara yang kaya dan miskin. "Kesenjangan di Indonesia cukup berbahaya dibanding di negara lain. Di Thailand yang kaya dan miskin sama agamanya. Di Filipina juga begitu, baik yang kaya maupun miskin memiliki agama yang sama. Sementara di Indonesia yang kaya dan miskin berbeda agama," ujarnya saat menutup sidang tanwir Muhammadiyah di Ambon, hari Minggu (26/2).

NERACA

Lebih lanjut JK menjelaskan di Indonesia sebagian besar orang yang kaya adalah warga keturunan yang beragama Khong Huchu maupun kristen. Sedangkan orang yang miskin sebagian besar Islam dan ada juga yang kristen. "Ini sangat berbahaya. Karena itu kita harus berusaha bersama untuk mengatasi hal ini," kata Jusuf Kalla seperti dikutip antara.

JK mengatakan, bahwa persoalan kesenjangan tidak hanya menjadi masalah bangsa Indonesia. Juga sangat terasa adanya ketimpangan antara negara maju dan bukan. Juga di internal negara manapun. Di Amerika pun juga terjadi kesenjangan.  

"Pancasila bukan tidak kita laksanakan hanya sila ke limanya sangat sulit kita laksanakan," kata JK.

Sebelumnya Ketum PP Muhammadiyah Haedar Natsir atas nama organisasi menganugerahkan penghargaan kepada M Jusuf Kalla sebagai bapak perdamaian dan kebhinnekaan bukan dalam kata-kata dan retorika tapi dalam langkah dan tindakan yang menorehkan jejak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebelumnya Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia (INFID) mengungkapkan, ketimpangan pendapatan antara orang kaya dan orang miskin di Indonesia terburuk keenam di dunia. Menurut laporan tersebut, ada lima penyebab ketimpangan di negeri ini yang  memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Meski proporsi masyarakat yang hidup dalam kemiskinan ekstrem memang berkurang menjadi 8%, Oxfam dan INFID menilai, capaian pertumbuhan ekonomi belum diimbangi dengan pemerataan pendapatan.

Bahkan dua dekade terakhir, ketimpangan antara kelompok terkaya dan kelompok miskin di Indonesia meningkat lebih cepat dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara. Laporan tersebut juga mencatat bahwa kekayaan empat orang terkaya Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. “ ketimpangan tersebut tidak hanya memperlambat pengentasan kemiskinan, tetapi juga memperlambat pertumbuhan ekonomi,” ujar Direktur INFID Sugeng Bahagijo, pekan lalu. 

Menurut dia, ada lima penyebab ketimpangan. Pertama, fundamentalisme pasar yang diperkenalkan ke struktur perekonomian Indonesia pada krisis keuangan 1997 telah memungkinkan orang kaya meraup bagian keuntungan terbesar. Akibatnya, political capture meningkat orang kaya mampu memanfaatkan pengaruh yang dimiliki untuk mengubah aturan yang dapat menguntungkan mereka.

Kedua, adanya ketidaksetaraan gender. Ketiga, upah murah yang menyebabkan masyarakat bawah tidak mampu mengangkat diri dari jurang kemiskinan. Keempat, ketimpangan akses antara persedaan dan perkotaan terhadap infratruktur.

Kelima, sistem perpajakan yang gagal memainkan peran mendistribusikan kekayaan. “Indonesia menghadapi ketimpangan multidimensi,” kata Steve Price Thomas, Direktur Advokasi dan Kampanye Oxfam International.

Untuk  mengatasi ketimpangan tersebut, Oxfam dan INFID menyarankan tarif pajak yang tinggi untuk masyarakat super-kaya, sebesar 45% untuk orang-orang berpenghasilan lebih dari Rp 10 miliar per tahun. Golongan ini mencakup eksekutif, manajemen puncak, pemilik, dan pemegang saham beberapa perusahaan terbesar di Indonesia. “Ada 200.000 orang dengan penghasilan di atas Rp 10 miliar di Indonesia,” ujar Dini Widiastuti, Jurubicara  Oxfam.

Menurut dia, tarif teratas 45% dari PPh telah diterapkan oleh negara-negara G-20  seperti Inggris, sementara negara maju seperti Belgia sebesar 50% dan Denmark 51,5%.

Dalam jangka panjang  sistem PPh pribadi juga harus disesuaikan dengan pengenaan pajak tambahan bagi kalangan kaya. Misalnya, kisaran Rp 500 juta-Rp 5 miliar per tahun dikenakan tarif pajak 45% dan 65% untuk berpenghasilan lebih dari Rp 10 miliar per tahun.

Oxfam dan INFID juga menyarankan penerapan tarif pajak tinggi untuk harta kekayaan dan pajak warisan. Sebab beberapa negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, telah menerapkan tarif pajak harta warisan masing-masing 55% dan 50%.

Mereka juga menyarankan pemerintah untuk membatalkan rencana pemangkasan tarif PPh badan dan meninjau ilang intensif pajak. Sebab, hal itu tidak serta merta meningkatkan kepatuhan pajak.

Menkeu Sri Mulyani mengakui tingginya ketimpangan di Indonesia. Walaupun begitu, dia beralasan, gini ratio yang diukur dari konsumsi belum menggambarkan tingkat ketimpangan sebenarnya. Sebab jika gini ratio di hitung berdasarkan penghasilan masyarakat, ketimpangan di Indonesia sangat besar.

Saat terjadi kenaikan harga komoditas pada 2011-2012, setiap 1% pertumbuhan ekonomi menyumbang 0,1% penurunan tingkat ketimpangan di Indonesia. Namun sejak tahun 2013-2015, setiap 1% pertumbuhan ekonommi hanya menyumbang 0,033% penurunan tingkat ketimpangan.

Sri Mulyani juga menilai instrumen pajak menjadi salah satu upaya mengatasi ketimpangan. Namun bukan hanya soal tarif tinggi untuk orang berpenghasilan tinggi. "rate yang progresif is one thing. Tetapi yang terpenting adalah the ability to collect,” katanya .

Pertukaran data pajak otomatis untuk atau Automatic Exchange of Information (AEoI) bisa menurunkan ketimpangan. Cara lain adalah dengan memperbesar anggaran transfer ke daerah.

Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (Infid) menyebut, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki ketimpangan terburuk keenam di dunia.

Bagaimana tidak, dari hasil kajian yang dilakukan, kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta orang termiskin yang ada di tanah air. Hal itu yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan peringkat keenam terburuk di dunia.

Lebih Cermat

Namun menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution, data yang dirilis Oxfam terkait ketimpangan orang miskin dengan orang kaya tersebut perlu dilakukan perhitungan yang lebih cermat dan akurat.

"Oxfam, datanya kok gawat juga. Ketimpangan memang memburuk, kalau dikatakan empat orang dibandingkan 100 juta orang itu 40 persen, artinya, masa 1 persen orang kaya memiliki harta sekitar 40 persen orang miskin di seluruh Indonesia, bertentangan dengan angka yang mereka berikan sendiri," ujar Darmin di Jakarta, Jumat (24/2). 

Sebelumnya, Jurubicara Dini Widiastuti mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum diimbangi dengan pembagian pendapatan yang merata. Sehingga, ketimpangan yang tampak di Indonesia menjadi sangat terlihat.

Tercatat juga, ketimpangan antara orang-orang yang tergolong kaya raya dan orang-orang miskin semakin terlihat signifikan selama 20 tahun terakhir.

"Kesenjangan antara kaum super kaya dan penduduk lainnya di Indonesia tumbuh lebih cepat dibanding di negara-negara lain Asia Tenggara," tutur dia.

Dini menambahkan, kesenjangan antara kekayaan orang super kaya dan kelompok lainnya dapat menjadi ancaman. Sebab, jika ketimpangan tidak segera diatasi maka upaya pemerintah menurunkan kemiskinan akan mengalami hambatan.

"Pemerintah perlu memperbaharui kebijakan pajak sesuai dengan potensi ekonomi dan prinsip pembagian utang serta manfaat yang adil, kemudian pemerintah memulihkan dan memberikan penekanan yang lebih atas pembangunan sumber daya manusia dan ketenagakerjaan," ujarnya. 

Sekadar informasi, Oxfam adalah organisasi nirlaba dari Inggris yang berfokus pada pembangunan penanggulangan bencana dan advokasi, bekerja sama dengan mitra lainnya untuk mengurangi penderitaan di seluruh dunia.

Namun, alasan Menko Perekonomian Darmin Nasution yang menggunakan Koefesien Gini 2016 untuk membantah data Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) soal laporan ketimpangan di Indonesia, dinilai tidak tepat.

“Pak Darmin bicara pemerataan pendapatan, kurang relevan kalau kemudian dijadikan alasan untuk meng-counter data Oxfam dan INFID. Dua hal yang berbeda, Oxfam dan INFID berbicara masalah kemiskinan,” ujar ekonom UGM Prof. Tri Widodo seperti dikutip laman aktual.com, belum lama ini.

Dengan asumsi orang miskin hanya punya pendapatan yang tidak termasuk kekayaan seperti rumah, kendaraan, ternak, tanah dan lainnya, maka kisaran rasio perbandingan yang dirilis Oxfam dan INFID menurut dia kemungkinan benar.

“Dari perkiraan kasar saja. Garis kemiskinan penduduk Indonesia Rp 344.809 per kapita per bulan, berarti setahun katakanlah hanya Rp 4 juta per kapita, dikalikan 100 juta penduduk miskin (hasilnya) sekitar Rp 400 triliun,” kata Tri.

Maka, jumlah tersebut tidak jauh dari total kekayaan taipan-taipan Indonesia seperti R. Budi Hartono Rp 105 triliun, Michael Hartono Rp 102 triliun, Chairul Tanjung Rp 63 triliun dan Sri Prakash Lohia Rp 54 triliun.

“Jadi yang lebih tepat adalah pendapatan 100 juta orang miskin dibanding dengan aset 4 orang terkaya. Aset orang termiskin tidak pernah diumumkan, tapi aset orang terkaya diumumkan,” ujarnya. 

Berbicara koefisien Gini 2016, seperti menurut Darmin, angka 0.39 memang lebih baik (merata) ketimbang tahun 2015 sekitar 0.41. Tri beranggapan Darmin mungkin ingin mengatakan kondisi pemerataan pendapatan membaik atau semakin relatif merata.

Tetapi, kondisi itu lebih tidak merata atau memprihatinkan bila dibandingkan dengan kondisi satu dan dua dasawarsa terakhir, misal tahun 1993 sebesar 0.344 dan 2003 sebesar 0.343.

“Biasanya di negara sedang berkembang, semakin tinggi pendapatan per kapita masyarakat maka semakin tinggi pula ketimpangan pendapatan,” katanya.

Sebaliknya, pada titik tertentu di negara maju, guru besar ekonomika bisnis itu mengatakan,  semakin tinggi pendapatan per kapita masyarakat justru semakin rendah ketimpangan pendapatannya.

Kondisi ini dalam dunia ekonomi dikenal dengan teori Kuznets Curve, yang pertama kali dikemukakan ekonom Simon Kuznets pada medio 1950-an, hubungan empiris antara pembangunan ekonomi dan tingkat ketimpangan. “Sehingga wajar di Indonesia jika kenaikan pendapatan per kapita diikuti dengan ketimpangan yang meningkat,” ujarnya. 

Hal ini pun dipandang lumrah juga terjadi di negara-negara ASEAN lain. Data Koefesien Gini tahun 2011 Filipina sebesar 0.46 dan Singapura 0.47. Tahun 2009, Malaysia sebesar 0.44 dan Thailand 0.39.

“Ketimpangan di Indonesia terjadi karena ketimpangan penguasaan aset produktif bangsa yang dikuasai beberapa individu/kelompok/perusahaan yang kemudian terjadi akumulasi kapital, sehingga memang betul ada kenaikan pendapatan rata-rata (pertumbuhan ekonomi) tetapi diikuti dengan ketimpangan pendapatan,” ujar Tri. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…