Moratorium UN?

Moratorium UN?
Maraknya mengenai isu Ujian Nasional (UN) yang diduga akan ditiadakan sementara pada tahun 2017. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sudah mengumumkan rencana penghapusan UN dan Presiden Jokowi merespon dengan menggelar rapat terbatas Kabinet, Rabu (30/11).  
Meski UN disebut-sebut akan dihapuskan mulai tahun depan, maka sebagai gantinya, pemerintah pusat akan menyerahkan pelaksanaan ujian kelulusan kepada pemerintah daerah. UN yang sejak diberlakukannya penuh dengan polemik dan berbagai kecurangan memang sudah seharusnya dihapuskan. 
Bukan hanya karena sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung pada 14 September 2009 yang meminta UN ditinjau ulang, melainkan karena UN tidak bisa dilakukan sebelum adanya pemerataan pendidikan. Karena, tidak benar jika menerapkan ujian dengan penilaian standar nasional, sementara kondisi pendidikan di sejumlah daerah tidak sama.  Kondisi pendidikan adalah, sarana dan prasarana, kualitas dan jumlah guru, serta ketersediaan akses pendidikan yang masih minim di beberapa daerah. 
Dalam putusan MA itu, pemerintah diperintahkan meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi di seluruh Indonesia. Kualitas guru serta sarana dan prasarana yang memadai diperlukan bagi pelaksanaan UN.  
Namun, dalam rentang waktu selama 9 tahun, termasuk putusan MA  ini memperkuat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (2007), ternyata tidak cukup bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi. Ironis memang. Lantas bagaimana peran Kementerian Pendidikan selama ini? 
Alasan bahwa terjadi kesenjangan kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, bahkan mutu guru antara sekolah-sekolah di Jawa dengan luar Jawa sudah terdengar sejak puluhan tahun yang lalu, dan ternyata sampai akhir 2016 ini masih belum terpecahkan. Peningkatan kualitas guru  hanya di atas kertas. Banyak guru guru yang katanya sudah tersertifikasi, ternyata  mengikuti ujian sertifikasi hanya untuk mendapat tunjangan sertifikasi, tanpa memiliki peningkatan dalam mutu pengajaran. 
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para guru kita, namun fakta di lapangan menunjukkan banyak guru yang tidak mau meningkatan kualitas dirinya sendiri, dan guru-guru seperti ini tidak terdeteksi oleh pemerintah. Peran pengawas di dinas-dinas pendidikan di daerah, khususnya di luar Jawa harus lebih ditingkatkan. 
Laporan target pendidikan dibuat dengan begitu indahnya, dan berbanding terbalik dengan kualitas anak didik di sekolah. Mengapa ini terjadi? Karena para pengawas hanya memeriksa berkas, dan tidak turun langsung ke kelas untuk mengevaluasi kualitas anak didik. Kondisi ini diperparah dengan laporan-laporan ke tingkat atas yang juga hanya memeriksa berkas, tanpa adanya sidak turun lapangan untuk memeriksa kemampuan murid yang sebenarnya. 
Mengenai kelengkapan sarana dan prasarana, seharusnya sudah terpecahkan dengan adanya dana BOS. Pos anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, sejak beberapa tahun lalu, seharusnya sudah cukup untuk mengejar ketertinggalan sarana dan prasarana sekolah di daerah. Kalau ternyata masih belum cukup, itu berarti lemahnya pengawasan penyaluran dana BOS yang seharusnya patut mendapat perhatian serius pemerintah pusat.  
Selain itu, rendahnya kualitas lulusan SMA di daerah juga akan diikuti dengan rendahnya kualitas mahasiswa di perguruan tinggi di daerah, dan tentu akan berakibat rendahnya mutu lulusan perguruan tinggi di daerah, dan ujung-ujungnya adalah rendahnya mutu SDM di daerah. Jadi, standar pendidikan di Indonesia harus ada, dan UN merupakan cara terbaik untuk menetapkan standar tersebut. 
Bagaimanapun, melalui UN, pemerintah akan bisa mengetahui daerah-daerah mana yang tingkat kelulusannya rendah, dan bisa segera melakukan tindakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sana. Kalau kualitas guru di sana memang belum memuaskan, maka perlu diperiksa perguruan tinggi terdekat yang menghasilkan guru-guru di daerah tersebut, apakah kualitasnya bisa dipertanggung jawabkan atau tidak. Bisa juga memeriksa apakah guru-guru di sana sudah tersertifikasi, dan kualitasnya juga sudah meningkat atau belum? 
Ujian Nasional menurut hemat kami, harus tetap dilaksanakan. Namun, bukan untuk mengevaluasi siswa, tapi untuk mengevaluasi pemerintah, guru, dan stakeholder pendidikan. Tanpa UN, pemerintah juga tidak akan ada beban dan kewajiban untuk menghasilkan guru-guru terbaik bagi bangsa ini, dan batasan geografis akan selalu menjadi alasan yang bisa dimaklumi. Semoga! 

Maraknya mengenai isu Ujian Nasional (UN) yang diduga akan ditiadakan sementara pada tahun 2017. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sudah mengumumkan rencana penghapusan UN dan Presiden Jokowi merespon dengan menggelar rapat terbatas Kabinet, Rabu (30/11).  

Meski UN disebut-sebut akan dihapuskan mulai tahun depan, maka sebagai gantinya, pemerintah pusat akan menyerahkan pelaksanaan ujian kelulusan kepada pemerintah daerah. UN yang sejak diberlakukannya penuh dengan polemik dan berbagai kecurangan memang sudah seharusnya dihapuskan. 

Bukan hanya karena sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung pada 14 September 2009 yang meminta UN ditinjau ulang, melainkan karena UN tidak bisa dilakukan sebelum adanya pemerataan pendidikan. Karena, tidak benar jika menerapkan ujian dengan penilaian standar nasional, sementara kondisi pendidikan di sejumlah daerah tidak sama.  Kondisi pendidikan adalah, sarana dan prasarana, kualitas dan jumlah guru, serta ketersediaan akses pendidikan yang masih minim di beberapa daerah. 

Dalam putusan MA itu, pemerintah diperintahkan meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi di seluruh Indonesia. Kualitas guru serta sarana dan prasarana yang memadai diperlukan bagi pelaksanaan UN.  

Namun, dalam rentang waktu selama 9 tahun, termasuk putusan MA  ini memperkuat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (2007), ternyata tidak cukup bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi. Ironis memang. Lantas bagaimana peran Kementerian Pendidikan selama ini? 

Alasan bahwa terjadi kesenjangan kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, bahkan mutu guru antara sekolah-sekolah di Jawa dengan luar Jawa sudah terdengar sejak puluhan tahun yang lalu, dan ternyata sampai akhir 2016 ini masih belum terpecahkan. Peningkatan kualitas guru  hanya di atas kertas. Banyak guru guru yang katanya sudah tersertifikasi, ternyata  mengikuti ujian sertifikasi hanya untuk mendapat tunjangan sertifikasi, tanpa memiliki peningkatan dalam mutu pengajaran. 

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para guru kita, namun fakta di lapangan menunjukkan banyak guru yang tidak mau meningkatan kualitas dirinya sendiri, dan guru-guru seperti ini tidak terdeteksi oleh pemerintah. Peran pengawas di dinas-dinas pendidikan di daerah, khususnya di luar Jawa harus lebih ditingkatkan. 

Laporan target pendidikan dibuat dengan begitu indahnya, dan berbanding terbalik dengan kualitas anak didik di sekolah. Mengapa ini terjadi? Karena para pengawas hanya memeriksa berkas, dan tidak turun langsung ke kelas untuk mengevaluasi kualitas anak didik. Kondisi ini diperparah dengan laporan-laporan ke tingkat atas yang juga hanya memeriksa berkas, tanpa adanya sidak turun lapangan untuk memeriksa kemampuan murid yang sebenarnya. 

Mengenai kelengkapan sarana dan prasarana, seharusnya sudah terpecahkan dengan adanya dana BOS. Pos anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, sejak beberapa tahun lalu, seharusnya sudah cukup untuk mengejar ketertinggalan sarana dan prasarana sekolah di daerah. Kalau ternyata masih belum cukup, itu berarti lemahnya pengawasan penyaluran dana BOS yang seharusnya patut mendapat perhatian serius pemerintah pusat.  

Selain itu, rendahnya kualitas lulusan SMA di daerah juga akan diikuti dengan rendahnya kualitas mahasiswa di perguruan tinggi di daerah, dan tentu akan berakibat rendahnya mutu lulusan perguruan tinggi di daerah, dan ujung-ujungnya adalah rendahnya mutu SDM di daerah. Jadi, standar pendidikan di Indonesia harus ada, dan UN merupakan cara terbaik untuk menetapkan standar tersebut. 

Bagaimanapun, melalui UN, pemerintah akan bisa mengetahui daerah-daerah mana yang tingkat kelulusannya rendah, dan bisa segera melakukan tindakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sana. Kalau kualitas guru di sana memang belum memuaskan, maka perlu diperiksa perguruan tinggi terdekat yang menghasilkan guru-guru di daerah tersebut, apakah kualitasnya bisa dipertanggung jawabkan atau tidak. Bisa juga memeriksa apakah guru-guru di sana sudah tersertifikasi, dan kualitasnya juga sudah meningkat atau belum? 

Ujian Nasional menurut hemat kami, harus tetap dilaksanakan. Namun, bukan untuk mengevaluasi siswa, tapi untuk mengevaluasi pemerintah, guru, dan stakeholder pendidikan. Tanpa UN, pemerintah juga tidak akan ada beban dan kewajiban untuk menghasilkan guru-guru terbaik bagi bangsa ini, dan batasan geografis akan selalu menjadi alasan yang bisa dimaklumi. Semoga! 

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…