Budaya Korup Birokrat

 

Keberhasilan tim Mabes Polri dan Polda Metro Jaya meringkus sejumlah pegawai Kemenhub melalui operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus pungutan liar (pungli), merupakan bukti masalah korupsi merupakan hal yang luar biasa dan kronis. Presiden Jokowi pun merespon dengan memerintahkan Menko Polhukam Wiranto untuk melakukan operasi bersih di semua kementerian dan lembaga negara yang terkait dengan pelayanan publik.  

Praktik korupsi saat ini sudah menjadi budaya yang mengakar di setiap level kepegawaian. Bila demikian, bisa jadi negeri ini ibarat pohon besar yang dihinggapi benalu sampai ke rantingnya yang sebagian dipangkas melalui OTT. Padahal, pada awalnya birokrat bersumpah mengabdikan diri untuk bangsa dan negara serta bersedia ditempatkan di mana saja, namun pada praktiknya ditemukan sejumlah birokrat berbuat yang memalukan yaitu menerima suap atau pungli.  

Munculnya perilaku pungli sebenarnya berawal dari gaya hidup birokrat yang tidak seimbang dengan penghasilan (gaji) nya, sehingga akibat dorongan hedonisme yang semakin kencang menyeret idealisme semakin susut. Namun perjalanan budaya korup ditempuh sepanjang perjalanan hidup mulai dari proses pendidikan hingga menjadi pejabat negara.  

Ketika sekolah pun sudah mengedepankan komersialisasi, benalu pun mulai tumbuh dalam kehidupan sejumlah pelaku pendidikan. Perilaku itu terbawa ketika anak didik tersebut memasuki dunia kerja. Tidak heran kendati gaji dianggap kecil, dunia birokrasi cukup menarik agar bisa memperoleh penghasilan lebih melalui komersialisasi pelayanan.

Bila potret di atas terjaga, bukan semangat mengembalikan modal sekolah yang dipikirkan, namun juga memodali untuk hidup gemerlap. Hal demikian bisa menyeretnya menjadi budak kebutuhan yang mengorbankan nilai seperti Dananjaya (1986). Tidak heran bila sejumlah nilai sirna dalam perilaku sejumlah birokrat kecuali dijadikan senjata untuk menuding orang lain yang berseberangan dengannya.

Agama pun sudah menjadi bancakan yang dipakai alat membela diri dan menyerang orang lain yang menghujat hedonisme dirinya. Karakteristik good governance pun sulit untuk dibentangkan sebagai karakteristik birokrat. Hal demikian terkait dengan lemahnya moral sejumlah yang tidak terbangun secara konsisten dan integratif.

Bisa jadi sejumlah lingkungan keluarga atau koleganya menghendakinya untuk bisa berlimpah harta. Dampaknya, pengambilan keputusan sejumlah langkah strategis ataupun teknis menjadi keliru karena disusupi kebutuhan pemberi informasi yang ingin lebih cepat.  

Bila sudah demikian, hutan lindung pun berubah menjadi hutan budi daya yang mengancam erosi dan banjir. Bisa benar apa yang dituliskan Keban (2008) bahwa etika dan moral sebagai dimensi strategis dalam administrasi publik. Keduanya harus dikelola dengan baik dan diberikan contoh oleh pemimpin dalam praktik.

Celakanya, birokrasi yang ada senantiasa menjauhkan pejabatnya dari sifat tersebut. Dampaknya, jabatan dipandang sebagai prestise yang harus ditebus dengan pengorbanan atas harta dan kehormatannya. Bila demikian jadinya budak jabatan pun berkembang menjadi banyak yang membenalui birokrasi.

Kondisi di atas menyebabkan sense of crisis sejumlah pejabat mulai luntur akibat disusupi bibit benalu yang menyatu dengan dirinya. Tidak heran bila bantuan untuk orang miskin pun bisa disikatnya, demikian halnya dengan BPJS, raskin, BLT serta sejumlah pelayanan publik lainnya.

Kepercayaan rakyat mulai melemah, apatisme berkembang karena voice - nya diabaikan pejabat. Bila demikian adanya, benalu yang memadati birokrasi bisa semakin leluasa bergerak dan menggerogoti pilar yang mulai keropos.

Membangun birokrasi yang sehat tidak menjadi mudah bila sudah dibebani benalu. Keluarga menjadi pihak penting untuk dikokohkan dari gangguan materialisme agar mampu mengawasi perilaku orang tuanya yang menjadi birokrat. Mentalnya perlu dikuatkan secara paralel bersama moralnya dengan dukungan keteladanan.  

Untuk itu, keluarga, pemuka agama dan budaya, guru, dan pejabat publik menjadi pilar utama untuk membenahi kehidupan yang berimbas dalam kehidupan di organisasi publik. Untuk mengawal upaya menertibkan perilaku bersih birokrat, norma juga perlu didukung tindakan konkret semua pihak agar tidak lagi ada norma yang tajam hanya di atas kertas. Semoga!

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…