JIKA PERLAMBATAN EKONOMI TIDAK SEGERA DIANTISIPASI - Ketimpangan Makin Lebar

Jakarta - Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengingatkan jika keberlanjutan perlambatan ekonomi tidak segera diantisipasi, maka akan memperlebar tingkat kesenjangan ekonomi antara masyarakat miskin dan masyarakat kaya. Imbas negatif jangka pendek dari perlambatan ekonomi akan lebih dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

NERACA 

Dampak perlambatan ekonomi itu seperti kebijakan dunia usaha untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan fluktasi harga kebutuhan pokok, yang akan menekan daya beli dan konsumsi masyarakat.

"Implikasi dari perlambatan ini adalah pendapatan masyarakat menengah ke bawah justru habis untuk konsumsi," ujarnya seperti dikutip Antara, Kamis (23/7).

Melihat ekspetasi masyarakat dari survei keyakinan konsumen yang dilakukan Bank Indonesia per Juni lalu, Enny mengatakan, pendapatan yang terus menurun, akan membuat masyarakat menarik simpanannya untuk memenuhi konsumsi. Maka dari itu, Enny melihat porsi tabungan di perbankan juga akan menurun karena ekspetasi pendapatan yang belum membaik dalam beberapa bulan mendatang.

Dari komposisi sektoral, menurut Enny, penyaluran kredit untuk sektor riil, seperti untuk industri pengolahan terus menurun, sementara penyaluran kredit untuk sektor padat modal seperti sektor telekomunikasi dan jasa keuangan tumbuh.

"Kesenjangan ekonomi bisa menjadi imbas karena aliran modal terus masuk dan berlimpah, namun minim ke sektor yang banyak tenaga kerja," ujarnya.  

Lebih lanjut, Enny menjelaskan, pelebaran koefisien gini tersebut dapat diantisipasi pemerintah dengan mempercepat eksekusi proyek-proyek infrastruktur, terutama di daerah, sehingga dapat menyediakan lebih banyak lapangan kerja.

Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong kebijakan lain untuk mempermudah kredit atau pembiayaan lainnya bagi pengusaha kecil dan menengah, agar produktivitas dan pendapatan mereka meningkat.

"Dampak dari kebijakan subsidi bunga untuk Kredit Usaha Rakyat tidak akan terasa pada tahun ini, karena impelemntasinya baru 2016," ujarnya.

Pengamat ekonomi UI Ninasapti Triaswati sebelumnya mengatakan, untuk mengantisipasi pelebaran koefisien gini, pemerintah harus mengefektifkan sistem perlindungan sosial dan asuransi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. 

Pemerintah harus membuat perlindungan sosial dan asuransi itu tepat dan mengenai semua sasaran masyarakat. 

“Pemerintah menargetkan dapat menurunkan tingkat koefisien gini dari 0,413 menjadi 0,4 pada 2015,” ujarnya.

Ketimpangan, seperti diukur dengan koefisien Gini, meningkat sebesar 11 poin persentase antara tahun 2000 dan 2013. Tingkat ketimpangan ekonomi yang sesungguhnya di Indonesia tampaknya lebih tinggi karena data yang digunakan untuk pengukuran tidak mewakili rumah tangga mampu secara memadai. Namun, ketimpangan yang terukur di Indonesia berada pada tingkat yang jauh lebih tinggi dibanding perkiraan sebagian besar masyarakat, dan secara mencolok lebih tinggi dari yang diharapkan menurut survei  Bank Dunia 2014.

Survei itu juga menunjukkan bahwa masyarakat tidak menyadari betapa besarnya bagian dari pendapatan nasional yang dinikmati oleh kaum berada. Akses yang tidak setara terhadap aset dan kesempatan kerja yang baik mendorong terjadinya ketimpangan, dan hal ini merintangi pertumbuhan serta pengentasan kemiskinan yang tengah berjalan Kaum berada di Indonesia memiliki akses ke aset-aset, seperti saham dan properti, yang memungkinkan kekayaan mereka meningkat dengan cepat.

Menghambat Pertumbuhan

Sejalan dengan itu, dengan pendidikan yang lebih baik, mereka dapat menemukan pekerjaan yang lebih baik pula dan meningkatkan pendapatan mereka. Mereka yang datang dari rumah tangga yang lebih miskin tidak memiliki aset dan hanya dapat meningkatkan pendapatan mereka dengan bekerja. Sebagian besar pekerjaan yang tersedia di Indonesia sejak tahun 2001, dan bahkan sebagian besar pekerjaan yang ada sekarang, berada pada sektor-sektor dengan produktivitas rendah, sehingga menekan pendapatan riil tenaga kerja, terutama bagi penduduk miskin dan rentan. Selain itu, para pekerja itu memiliki akses terbatas terhadap perlindungan yang resmi untuk tenaga kerja.

Terbatasnya akses ke kesempatan kerja yang baik juga merintangi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena Indonesia tidak memaksimalkan angkatan kerja yang ada sekarang dalam hal potensi produktivitasnya, justru pada saat dividen demografis memuncak. Ketika mereka berupaya untuk memperbaiki tingkat kehidupan mereka, banyak rumah tangga yang rentan terhadap kejutan dan kejadian tak terduga dan, tanpa adanya mekanisme untuk mengatasi hal tersebut, berisiko jatuh kembali dalam kemiskinan.

Kesenjangan kesempatan pada masa kecil juga berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan pada masa depan Sepertiga dari ketimpangan berasal dari keadaan yang berada di luar kendali individuindividu, seperti tempat lahir dan pendidikan orangtua mereka—yaitu hal-hal yang disebabkan oleh ketimpangan kesempatan. Banyak dari perbedaan-perbedaan tersebut berasal dari masa kecil, ketika anak-anak tumbuh tanpa fasilitas perumahan, air, dan sanitasi yang memadai, ataupun layanan kesehatan dan pendidikan berkualitas.

Menurut studi Bank Dunia, kegagalan dalam mewujudkan potensi sepenuhnya dari anak-anak Indonesia pada hari ini akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi masa depan serta pengentasan kemiskinan lebih lanjut. Ketimpangan tidak selalu harus terjadi dalam proses pembangunan. Negara-negara lain dapat mencapai pertumbuhan ekonomi tanpa meningkatkan taraf ketimpangan secara signifikan. Secara historis, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan mencatat pertumbuhan yang kuat selama beberapa dekade dengan tingkat ketimpangan yang rendah.

Di lain pihak, Indonesia mencatat peningkatan ketimpangan yang tertinggi secara regional selama tahun 1990-an dan 2000-an, setelah Cina. Selama periode yang sama, negara-negara seperti Thailand, Vietnam, dan Filipina menikmati masa-masa pertumbuhan yang cukup tinggi dengan tingkat ketimpangan yang stabil atau bahkan menurun. Dan sebagian besar penduduk Indonesia menghendaki pemerintah baru untuk menangani masalah ketimpangan ini Dari sekitar 83% penduduk Indonesia yang disurvei, 39% menganggap keadaan sudah “mendesak” dan 44% menyatakan sudah “sangat mendesak” bagi pemerintah untuk menangani masalah ketimpangan.

Secara umum, menurut Bank Dunia, prioritas kebijakan utama pemerintah Indonesia ke depan mencakup peningkatan akses ke sumber nafkah produktif, penjaminan akses ke pendidikan dasar, kesehatan, air dan sanitasi yang berkualitas bagi seluruh penduduk, serta perluasan perlindungan sosial. bari/mohar/fba

 

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…