DPR - Pemerintah Bahas PP Jaminan Hari Tua

NERACA

Jakarta - Peraturan Pemerintah (PP) seumur jagung, begitulah barangkali sebutan yang pas bagi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua. Baru saja ditandatangani pada 29 Juni lalu, hari ini, PP yang dinilai kontroversial dan tak pro rakyat itu, sudah dibahas untuk direvisi.

Hari ini, Senin (6/7), pihak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan Kementerian Tenaga Kerja melangsungkan rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR membahas isu ini. Hadir dalam rapat tersebut diantaranya Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya, Sekretaris Jenderal Ketenagakerjaan Abdul Wahab Bangkona dan Dirjen Pembinaan, Pelatihan dan Produktivitas (PPK) Muji Handaya.

Selain membahas masalah PP JHT, juga membahas kemungkinan merevisi Pasal 37 UU Nomor 40 tahun 2004."Komisi IX DPR ingin meminta penjelasan dari BPJS Ketenagakerjaan dan pihak Kemenaker yang diwakili Sekjen dan Dirjen PPK. Rapat tetap jalan," kata anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani, Jakarta, Senin (6/7).

Menurut Irma, salah satu hal yang akan diminta Komisi IX adalah soal permintaan revisi Pasal 37 dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sisten Jaminan Sosial Nasional.

Aturan dalam UU ini mesti direvisi karena menjadi turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan jaminan hari tua (JHT). "Itu jadi landasan Pemerintah menerbitkan PP Nomor 46 2015," sebut anggota Fraksi Nasdem itu.

Dalam kesempatan itu, Komisi IX menganggap direksi BPJS Ketenagakerjaan telah lancang karena telah menerapkan kebijakan baru JHT pada 1 Juli 2015. Padahal hal tersebut sama sekali tak dibahas bersama DPR. Akhirnya, ketentuan bahwa dana JHT baru bisa dicairkan setelah 10 tahun masa kerja pegawai itupun mengundang reaksi keras para pekerja.

Aturan itupun akhirnya sementara ini sedikit dikoreksi oleh Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri. Setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana, Jumat (3/7) lalu, Hanif mengatakan pekerja yang mengalami PHK sebelum 1 Juli 2015 serta masa kepesertaan minimal 5 tahun dengan masa tunggu satu bulan dapat mencairkan JHT beserta hasil pengembangannya.

Dia menambahkan, bagi peserta yang masih bekerja atau aktif kepesertaan BPJS-nya dapat mencairkan dana JHT saat mencapai usia 56 tahun atau meninggal dunia atau cacat total tetap. Manfaat JHT, lanjut Menaker, juga dapat diambil saat kepesertaan mencapai 10 tahun dengan besaran 10% untuk persiapan hari tua atau 30% untuk pembiayaan perumahan.

"Sesuai dengan UU SJSN dan PP No 46/2015 tentang JHT, pencairan manfaat pada kepesertaan 10 tahun tersebut hanya dapat dipilih salah satu, baik untuk persiapan hari tua ataupun pembiayaan perumahan," jelas Hanif seperti dikutip setkab.go.id.

Namun demikian, atas arahan dari Presiden diberikan pengecualian bagi para pekerja yang terkena PHK atau berhenti bekerja agar bisa mencairkan JHT sesegera mungkin."Pengecualiannya adalah bagi peserta yang kena PHK atau berhenti bekerja bisa mencairkan JHT hanya dengan masa tunggu satu bulan, tanpa harus menunggu masa kepesertaan 10 tahun. Itu arahan Presiden," kata Hanif.

Terkait masalah revisi PP 46/2015 ini, Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya mengatakan, DPR dan pemerintah harus lebih dulu mengubah UU Sistem Jaminan Sosial Nasional."Kebijakan ini (PP 46/2015-red) sudah sesuai dengan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional," ujar Elvyn.

Karena itu, kata dia, ketika PP ini terbit, pihaknya segera memberlakukan aturan tersebut pada 1 Juli lalu."Kami juga harus mematuhi Peraturan Pemerintah (PP) yang baru keluar pada 30 Juni lalu. Jadi, ini peraturan pemerintah, bukan peraturan BPJS," tegas Elvyn.

Sebelumnya, Menaker Hanif Dhakiri juga mengemukakan alasan serupa."Aturan yang memerintahkan agar Jaminan Hari Tua baru dapat diambil setelah 10 tahun membayar iuran adalah amanat UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 37 Ayat (3)," kata Hanif.

Hanif malah menegaskan, UU itu juga merupakan produk bersama pemerintah dan DPR."Jika Peraturan Pemerintah sepenuhnya disusun oleh jajaran lintas kementerian, maka UU merupakan produk politik legislatif di masa itu," katanya. Mohar

 

BERITA TERKAIT

Kementan Gandeng Polri Tingkatkan Ketahanan Pangan

NERACA Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng Polri dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan swasembada pangan seperti yang terjadi…

Remotivi: Revisi UU Penyiaran Ancam Kreativitas di Ruang Digital

NERACA Jakarta - Lembaga studi dan pemantauan media Remotivi menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, dapat mengancam…

Kompolnas Dorong Polri Segera Bentuk Direktorat PPA-PPO

NERACA Jakarta - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mendorong Polri segera mengaktifkan Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) dan Pemberantasan Perdagangan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Kementan Gandeng Polri Tingkatkan Ketahanan Pangan

NERACA Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng Polri dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan swasembada pangan seperti yang terjadi…

Remotivi: Revisi UU Penyiaran Ancam Kreativitas di Ruang Digital

NERACA Jakarta - Lembaga studi dan pemantauan media Remotivi menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, dapat mengancam…

Kompolnas Dorong Polri Segera Bentuk Direktorat PPA-PPO

NERACA Jakarta - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mendorong Polri segera mengaktifkan Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) dan Pemberantasan Perdagangan…