Pertambangan - Pemerintah Perpanjang Izin Ekspor Freeport

NERACA

Jakarta - Setelah Freeport memberikan kepastian untuk membangun pabrik pemurnian (smelter), akhirnya pemerintah memberikan kesempatan kepada PT Freeport Indonesia untuk memperpanjang izin ekspor. Hal itu seperti dikatakan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, R Sukhyar setelah rapat antara pemerintah dan pejabat Freeport Indonesia di Kementerian ESDM, akhir pekan kemarin.

"Hari ini kita ada dua rapat. Sudah ada kesepakatan, bahwa mereka (Freeport) sudah pasti (akan membangun smelter), sehingga mereka bisa lanjut ekspor. Bicara izin ekspor itu syaratnya sudah ada lokasi lahan dan itu sudah terpenuhi semua saat ini oleh Freeport sehingga bisa dilanjutkan untuk ekspor," ujar Sukhyar.

Dalam kesempatan yang sama, Presiden Direktur Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, mengatakan lahan pembangunan smelter berada di sebelah Smelting Gresik dan PT Petrokimia Gresik. "Luasnya lebih kurang 80 hektare (ha)," tambah Maroef. Perpanjangan izin ekspor ini akan dimulai pada 25 Januari 2014 dan berlaku selama enam bulan.

Freeport sebelumnya diancam tak bisa melakukan ekspor konsentrat lantaran tak kunjung menunjukkan keseriusan pembangunan smelter. Agar Freeport tetap bisa melakukan ekspor konsentrat syaratnya, sebelum 24 Januari 2015, perkembangan pembangunan smelter harus sudah 60%. Indikatornya, pembebasan lahan sudah selesai.

Syarat pembangunan smelter masuk dalam poin-poin renegosiasi kontrak pertambangan antara Freeport dan Pemerintah. Kontrak pertambangan yang dimiliki Freeport akan habis 2021, dan bila ingin melakukan perpanjangan kontrak, maka perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini harus memenuhi sejumlah syarat, termasuk salah satunya membangun pabrik pemurnian atau smelter.

Seperti diketahui, sebelumnya pemerintah dan Freeport membuat MoU (nota kesepahaman) pada Juli 2014 lalu, dan akan habis 25 Januari 2015. Dalam MoU tersebut, Freeport diperbolehkan ekspor mineral mentah, meski dalam UU Mineral dan Batu Bara disebutkan Indonesia melarang ekspor tambang mentah mulai 2014.

Karena Freeport tidak memiliki smelter, akhirnya diberikan izin ekspor lewat MoU tersebut. Syaratnya, Freeport harus menunjukkan progres pembangunan smelter. Namun ternyata hingga masa MoU nyaris berakhir, belum ada perkembangan pembangunan smelter.

Presdir Freeport Maroef Sjamsoeddin menyatakan, Freeport telah menunjuk Gresik, Jawa Timur sebagai lokasi pembangunan smelter. Freeport menyewa lahan Petrokimia Gresik seluas 60 hektar sebagai lokasi smelter. Smelter tersebut lokasinya dekat pabrik Petrokima Gresik dan smelter dari PT Smelting Gresik.

Jika memang izin ekspor Freeport dibekukan, langkah pemerintah itupun mendapatkan sambutan baik dari anggota legislatif DPR komisi VII Satya W Yudha.  Ia merasa setuju dengan ancaman pemerintah untuk Freeport. Sesuai mandat Undang-Undang Minerba nomor 4 tahun 2009, perusahaan tambang yang menjalankan aktivitas di Indonesia wajib membangun smelter. Pemerintah berhak mendesak itu. "Itu kan memenuhi UU Minerba. Ini kan namanya renegosiasi antara kedua belah pihak, Freeport dan pemerintah. Ini (ancaman) normal dong," ujar Satya.

DPR bakal memanggil seluruh jajaran manajemen Freeport pekan depan untuk membahasa permasalahan dan kendala dalam pelaksanaan kewajiban tersebut. "Kita akan panggil Freeport minggu depan. Bukan hanya soal smelter tetapi soal MoU antara pemerintah sehingga pemerintah tidak tergesa-gesa memberikan informasi ke DPR," kata dia.

Pada kesempatan sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR, Tony Wardoyo mendesak PT Freeport Indonesia mendirikan smelter di Papua. Anggota DPR dari daerah pemilihan Papua ini juga meminta agar pemerintah membuat regulasi tentang pembangunan smelter di Papua. “Kementerian ESDM sebagai wakil pemerintah harus membuat regulasi pembangunan smelter di Papua,” tegasnya.

Selain itu, politisi dari partai PDI-P ini meminta diadakan pula pelatihan dan pendidikan dibidang pengusahaan Mineral dan Batubara (Minerba). "Pemerintah wajib mendorong atau memfasilitasi pendidikan minerba itu," kata dia. Dengan adanya smelter di Papua, selain mengefisiensikan dan menekan biaya, akan membantu percepatan pembangunan, membuka peluang kerja dan meningkatkan perekonomian daerah sekitarnya.

Ia menilai rencana PT Freeport Indonesia berencana membangun smelter di dekat PT Petrokimia Gresik tidak memperhatikan psikologi rakyat Papua. "Ini menunjukkan tidak ada niat untuk memperbaiki perekonomian rakyat Papua. Seharusnya sudah saatnya masyarakat Papua menikmati kekayaan alamnya untuk meningkatkan taraf hidupnya agar lebih sejahtera," paparnya.

BERITA TERKAIT

Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana Terus Diperkuat

NERACA Bogor – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPPSDM…

Syarat Sustainable Ada Pada ISPO

NERACA Jakarta – Berbagai langkah dan upaya terus dilakukan oleh pemerintah dan pelaku usaha baik perusahaan dan petani untuk membuktikan…

Mei 2024, Pungutan Ekspor Sebesar USD877,28/MT

NERACA Jakarta – Harga Referensi (HR) komoditas minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) untuk penetapan Bea Keluar (BK) dan tarif…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana Terus Diperkuat

NERACA Bogor – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPPSDM…

Syarat Sustainable Ada Pada ISPO

NERACA Jakarta – Berbagai langkah dan upaya terus dilakukan oleh pemerintah dan pelaku usaha baik perusahaan dan petani untuk membuktikan…

Mei 2024, Pungutan Ekspor Sebesar USD877,28/MT

NERACA Jakarta – Harga Referensi (HR) komoditas minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) untuk penetapan Bea Keluar (BK) dan tarif…