Perdagangan Internasional - Meski Harga Turun, BK CPO Tidak Berubah

NERACA

Jakarta – Meski harga komoditas Crude Palm Oil (CPO) tengah menurun, akan tetapi pemerintah tidak akan merevisi atau menurunkan bea keluar minyak sawit. Lain hal nya dengan pihak Malaysia yang telah menurunkannya untuk periode September dan Oktober 2014 lantaran turunnya harga komoditas tersebut. “Sudah ada peraturan untuk BK tersebut, jadi kami tidak bisa menurunkan. Yang akan kami laksanakan adalah tetap dengan peraturan semula,” kata Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi di Jakarta, akhir pekan kemarin.

Lutfi mengatakan industri sawit dalam negeri beranggapan bahwa harga CPO akan terus merosot, namun, dengan mandatori biodiesel 10 persen yang akan diterapkan pada kuartal terakhir 2014, akan ada peralihan dari bahan baku yang sesungguhnya akan diekspor dipergunakan untuk pasokan dalam negeri.

Saat ini, pemerintah menjalankan program pencampuran bahan bakar nabati sebesar 10 persen pada bahan bakar minyak (BBM) atau B10. Persentase bahan bakar nabati akan ditingkatkan menjadi 20 persen pada tahun 2016 yang diperkirakan mencapai 8 juta kiloliter. “Saya berpendapat, apabila mandatori biodiesel 10 persen tersebut berhasil pada 2014 maka bahan baku yang untuk ekspor bisa untuk mengisi kebutuhan itu. Jika terjadi, maka harga akan stabil seperti pada saat ini,” ujar Lutfi.

Menurut Lutfi, sesungguhnya jika mandatori biodiesel sebesar 10 persen bisa berjalan, maka untuk kedepannya harus bisa dinaikkan mencapai 30 persen, dan jika dirancang dengan formula yang tepat untuk program jangka panjang maka industri dalam negeri bisa memiliki kepastian untuk melakukan penjualan. “Jika punya waktu yang cukup, kita tidak bisa hanya 10 persen saja. Dengan harga yang tidak menentu seperti saat ini, yang paling baik adalah mengalokasikan dengan jumlah yang cukup substansial,” ujar Lutfi.

Sementara salah satu negara penghasil CPO terbesar, Malaysia, telah meniadakan pajak ekspor varietas sawit untuk kurun waktu dua bulan ke depan. Kementerian Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia menyatakan bahwa untuk pengiriman CPO pada September dan Oktober tidak akan dikenakan retribusi yang ditujukan agar meningkatkan penjualan dan mendongkrak harga komoditas tersebut.

Menanggapi hal tersebut, dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi menyatakan bahwa Indonesia saat ini posisinya masih akan melihat dan mempelajari bagaimana respon pasar dari diterapkannya kebijakan tersebut. “Indonesia masih melihat dan mempelajari bagaimana respon pasar terhadap adanya kebijakan Malaysia tersebut,” kata Bayu.

Pemerintah Malaysia sebelumnya menetapkan pajak ekspor CPO 4,5 persen untuk September. Kelonggaran pajak tersebut diharapkan bisa menaikkan ekspor CPO hingga 600 ribu metrik ton dan mengurangi cadangan menjadi 16 juta ton hingga akhir tahun.

Pelaku Industri Optimis

Pelaku industri hilir kelapa sawit optimistis kapasitas refineri atau pengolahan kelapa sawit akan naik setelah skema baru bea keluar minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya diberlakukan akhir tahun lalu. Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia, mengatakan kapasitas terpakai refineri tahun ini dapat mencapai 65% atau 11,7 juta ton dari total kapasitas terpasang 18 juta ton.

Kapasitas terpakai ini meningkat dibandingkan tahun lalu yang sebesar 8,06 juta ton. Sahat mengatakan industri hilir diuntungkan dengan aturan baru yang menetapkan bea keluar ekspor produk turunan CPO seperti RBD Palm Olein dan RBD Stearin lebih rendah dari CPO. Sebelumnya bea keluar produk turunan CPO dan CPO sama sehingga sehingga tidak memberi nilai tambah pada produk hilir kelapa sawit.

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128/PMK.011/2011 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar (BK) sebagai perubahan atas Permenkeu No 67/PMK.011/2010. Dalam aturan itu bea keluar CPO ditetapkan antara 0%-22,5% sedangkan produk turunannya sebesar 0%-15%.

Kian berkembangnya industri hilir kelapa sawit terlihat dari peningkatan volume ekspor produk turunan CPO. Susanto, Ketua Bidang Pemasaran Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, mengakui ekspor CPO relatif berkurang dari tahun sebelumnya karena pemberlakuan bea keluar yang baru. Pada 2011, ekspor produk hilir CPO mencapai 8,5 juta ton lebih tinggi dari tahun 2010 berjumlah 6,8 juta ton.

Jhonny Virgo, Direktur Permata Hijau Grup, menjelaskan industri hilir kelapa sawit di dalam negeri memiliki kemampuan untuk mengolah minyak sawit sebagai bahan baku produk turunan sawit. Sebelumnya industri hilir kelapa sawit sulit berkembang karena dibebani bea keluar yang tinggi.

Menurutnya kebijakan pajak ekspor juga membantu produk hilir kelapa sawit bersaing dengan Malaysia. Apalagi produk hilir sawit menghadapi kendala buruknya infrastruktur yang menyebabkan kapal pengangkut harus antri dua-tiga hari untuk memuat produk ke kapal. Sementara di Malaysia hanya butuh satu hari untuk memuat produk turunan CPO.

Sahat mengatakan harga jual produk hilir sawit Indonesia berpotensi lebih murah US$ 8-US$ 10 per ton dibandingkan Malaysia. Pasalnya industri hilir disana mengimpor minyak sawit dari Indonesia karena sebagian besar perusahaan perkebunan Malaysia memiliki kebun di Indonesia. “Itu sebabnya Malaysia keberatan dengan kebijakan ini karena akan membuat harga jual CPO lebih tinggi,” kata dia.

Malaysian Palm Oil Board sempat merilis bahwa pemberlakuan bea keluar CPO Indonesia akan berdampak pada stok CPO Malaysia dan harga CPO di pasar global. Menurut laporan itu India akan mengurangi permintaan minyak sawit mentah terutama dari Indonesia yang digunakan menjadi bahan baku pengolahan mereka. Hal ini membuat produk hilir Indonesia lebih kompetitif untuk masuk ke pasar India karena harga jualnya lebih murah didukung penurunan pajak ekspor.

Sahat sepakat kalau ke depan India diperkirakan akan lebih membeli produk turunan CPO dibandingkan memproduksi sendiri. Asumsinya, jika memproduksi sendiri harga jual produk turunannya sekitar US$ 1.300 per ton.

Harga ini lebih mahal dibandingkan membeli produk turunan CPO langsung dari Indonesia yang sekitar US$ 1.220 per ton. Nantinya, produk turunan tersebut akan digunakan untuk menjadi bahan baku produk jadi seperti vanaspati dan ghee.

Dia mengatakan sekarang ini merupakan waktunya Indonesia menikmati produk minyak sawit mentah yang selama ini lebih banyak dimanfaatkan Malaysia dan India. Total kapasitas refineri Malaysia diperkirakan 15 juta-16 juta ton.

BERITA TERKAIT

Kemenparekraf Sertifikasi Halal Produk Mamin di 3.000 Desa Wisata

NERACA Jakarta – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) melakukan kick off akselerasi sertifikasi halal produk…

Implementasi Aturan Tata Kelola Lobster Terus Dikawal

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggandeng Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) dalam pendampingan implementasi tata kelola…

Nilai Impor di Bulan Maret Sebesar USD 17,96 Miliar

NERACA Jakarta – Nilai impor selama Maret 2024 tercatat sebesar USD 17,96 miliar. Kinerja impor ini melemah 2,60 persen dibandingkan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Kemenparekraf Sertifikasi Halal Produk Mamin di 3.000 Desa Wisata

NERACA Jakarta – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) melakukan kick off akselerasi sertifikasi halal produk…

Implementasi Aturan Tata Kelola Lobster Terus Dikawal

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggandeng Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) dalam pendampingan implementasi tata kelola…

Nilai Impor di Bulan Maret Sebesar USD 17,96 Miliar

NERACA Jakarta – Nilai impor selama Maret 2024 tercatat sebesar USD 17,96 miliar. Kinerja impor ini melemah 2,60 persen dibandingkan…