Rugikan Konsumen, Regulasi Kenaikan Tarif Tol Harus Direvisi - Penyusunan UU No 38/2004 Tentang Jalan Berbau Suap

NERACA

Jakarta – Kenaikan tarif jalan tol setiap dua tahun sesuai Undang-undang no 38 tahun 2004 tentang Jalan hanya menguntungkan investor namun merugikan pengguna jalan. Tak pelak, kenaikan tarif tol pada September 2013 juga menuai protes konsumen. Bahkan diduga, pengelola jalan tol menyuap DPR dalam penyusunan UU tersebut.

Apalagi, dasar pemerintah menaikan tarif tol karena melaksanakan UU. Padahal pemerintah, dalam hal ini Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) belum melaksanakan perannya secara benar. Pasalnya pertumbuhan pembangunan jalan tol dan kualitas pelayanannya tidak pernah ada perkembangan.

“Kami sangat menolak langkah pemerintah untuk menaikan tarif tol. Karena tidak berbanding lurus dengan perkembangan dan kualitas pelayanannya. Di Jakarta saja mana ada tol yang tidak macet. Padahal orang mau bayar lebih agar bisa menghemat waktu,” kata Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo pada Neraca, Minggu (1/9).

Menurutnya, pertumbuhan jalan tol dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir hanya mencapai 20 kilometer per tahun. Padahal seharusnya pemerintah bisa membangun minimal 200 kilometer per tahun.

“Belum lagi mengenai pelayanannya. Janjinya maksimal orang berhenti di loket hanya membutuhkan waktu delapan detik. Tapi kan nyatanya bisa puluhan menit karena mobil yang antri bisa hingga berkilo-kilometer. Parahnya lagi di tengah antrian panjang tidak semua pintu operator dibuka,” ungkap Sudaryatmo.

Dia menilai keberadaan UU tersebut harus direvisi. Karena konten materinya tidak mengandung asas keadilan. Secara jelas UU itu sendiri hanya berorientasi pada investor. “Lebih baik bubarkan BPJT jika tidak ada perubahan hukum yang berorientasi pada konsumen mengenai ini,” tandasnya.

Sudaryatmo juga meminta UU itu segera direvisi. Alasannya, menaikan tarif tidak bisa diasumsikan pada ukuran waktu. Tapi harus ada variebel lain yang lebih mengandung nilai keseimbangan antara investor dan konsumen. Misalnya variabel kualitas pelayanan dengan indikator maksimal mobil antri sebanyak 10 unit.

Dengan naiknya tarif tol, terang Sudaryatmo, dampaknya akan merembet pada semakin tingginya harga barang. Karena jalan tol itu sendiri juga dikonsumsi oleh kendaraan milik industri untuk mendistribusikan logistik. Katanya dengan naiknya tarif tol meski sedikit pasti dapat meningkatkan harga-harga. Karena biaya perjalanan juga kian meningkat. “Katanya pemerintah mau meredam inflasi. Tapi kok justru menginflasikan tarif tol, Mana bisa inflasi diredam dengan inflasi,” tambahnya.

Kembali ke tahun 2004 di saat UU itu dilaksanakan Sudaryatmo menilai saat pengesahannya memang terindikasi mengandung suap. Pasalnya saat itu Pemerintahan mantan Presiden Megawati akan segera berakhir. Begitu juga dengan masa bakti para pejabat di DPR RI.

“Saya memang menduga banyak intensif dari para investor yang bermain di jalan tol untuk para anggota DPR RI dan pejabat di pemerintahan waktu itu. Karena kelakuan para legislator selama ini juga menunjukan ada suatu kebiasaan di akhir tahun untuk kejar target,” tukas Sudaryatmo.

Senada dengan Sudaryatmo, anggota Komisi V DPR RI Sigit Susantiomo menilai UU nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan harus ditinjau ulang. “Tarif tol harus ditinjau ulang, karena tidak jarang terjadi macet di tol dan ada perbaikan di sana-sini yang mengganggu masyarakat sebagai pengguna tol, kadang malam-malam juga macet karena perbaikan jalan. Truk-truk besar ada di pinggir tol untuk perbaikan. Ini mengganggu,” jelas Sigit kepada Neraca, Minggu (1/9).

Menurut Sigit, tarif tol yang ada belumlah fair terhadap masyarakat dan perlu ditinjau ulang menyesuaikan dengan pelayanan tol tersebut. Sigit mengeluhkan Pemerintah yang lambat dalam mengirimkan daftar isian masalah dalam rangka melakukan revisi Undang – Undang tentang Jalan tersebut. “Pemerintah belum masukkan timnya. Kita tidak tahu ada problem apa di Pemerintah,” tandas dia.

Kendati demikian, Sigit menepis tudingan adanya suap-menyuap dalam pembuatan UU tersebut ketika dibuatnya dulu. “Undang – Undang itu dibuat di masa bakti DPR sebelumnya. Saya tidak mendalami itu. Tapi sebagai anggota DPR, kita tidak mau ada suap-menyuap seperti itu,” tegas Sigit.

Mungkin, lanjut dia, pasal tersebut muncul sebagai kompromi terhadap sulitnya pembebasan tanah terhadap pengusaha jalan tol yang membuat investor tidak berani masuk.

Sementara itu, pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty menegaskan, tidak ada urgensinya bagi pemerintah untuk menaikan tarif tol saat ini. Malah, kenaikan tersebut justru memberatkan masyarakat yang tengah terpukul akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), inflasi, nilai tukar dan lainnya. “Harusnya pemerintah bisa mempertimbangkan banyak hal jika ingin menaikan tarif tol,” tukas Telisa pada Neraca, Sabtu (31/8).

Kemudian Telisa mengatakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah di antaranya potensi naiknya tarif angkutan umum. Sebab beberapa bus kota dilihat Telisa banyak yang menggunakan jalan tol dalam melayani penumpangnya, khususnya di Jakarta. Artinya jika ada kenaikan tarif tol tentu juga akan berdampak pada naiknya tarif angkutan umum. “Lagi-lagi masyarakat yang diberatkan. Kalaupun memang tarifnya harus naik semestinya tarif tol tidak dihadapkan secara one to one dengan inflasi,” tambahnya.

Sebelumnya Telisa mengungkapkan bahwa kenaikan harga tol untuk saat ini tidak ada urgensinya sedangkan UU tentang jalan sudah mengaturnya bahwa tarif tol akan terus naik tiap dua tahun sekali. Dia menilai keberadaan UU tentang jalan tersebut pada dasarnya memang sudah salah kaprah. Karena sangat tidak logis jika kenaikan tarif tol diatur melalui UU dan ditentukan dalam dua tahun sekali. Sedangkan kondisi ekonomi yang sedang dan akan terjadi secara riil selalu berjalan fluktuatif dan dinamis. Jadi belum tentu tepat untuk menaikan tarif pada nantinya.

“Kenaikan tarif tol itu kan harusnya diatur melalui pantauan kondisi riil ekonomi. Seperti bagaimana tingkat fleksibilitas harga-harga. Jadi misalnya kalau harga BBM tidak naik namun UU mengatakan sudah dua tahun dan harus naik maka jadi tidak logis kan. Menurut saya memang UU itu sendiri harus ditiadakan,” terang Telisa.

Selain itu Telisa juga menjelaskan bahwa pemerintah selama ini selalu menaikan tarif tol secara konsisten. Namun pelayanannya itu sendiri justru tidak ada perubahan yang konsisten. Pasalnya situasi lalu lintas dalam jalan tol itu semakin macet. Juga tidak ada informasi yang jelas mengenai kemacetan itu sendiri. Bahkan Ia juga mengaku sering menemukan informasi yang salah mengenai situasi tol. Pada pintu gerbang tertulis lancar namun ketika masuk ternyata padat merayap.

“Masyarakat sendiri kerap tidak dipuaskan oleh layanan tol. Lihat saja tol itu juga sering macet seperti jalan umum biasanya. Kan jelas rugi bagi masyarakat karena mereka sudah mengeluarkan uang untuk bayar masuk tol dengan harapan dapat menghemat waktu. Namun kenyataannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan dalam tol itu sendiri tingkat kecelakaan juga terus cenderung meningkat. Artinya kan tidak ada pelayanan dan keamanan dalam tol selama ini,” tutur Telisa.

Telisa berharap jika memang tarif tol dinaikan maka peningkaatan pelayanan juga harus meningkat secara seiringan. Termasuk pelayanan untuk para pengemudi truck besar. Karena truk-truk itu merupakan bagian dari pendorong ekonomi dalam negeri mengenai skema distribusi.

“Saya lihat truk-truk besar yang mengangkut barang industri dari Priok ke pusat bisnis tidak dijadikan prioritas dengan diadakan jalur khusus yang terkendali. Hasilnya truk-truk itu kan bisa terlambat dalam mendistribusikan komoditas yang dibawanya. Dengan begitu cost produksi menjadi tinggi. Padahal tol semestinya juga bisa berperan sebagai penopang logistik,” paparnya.

Telisa menilai jika memang pada akhirnya tarif tol tetap dinaikan maka angkanya harus di bawah inflasi. Ia memberi contoh jika inflasi ada dikisaran 8% maka semestinya tarif tol naik tidak lebih dari separuhnya., yaitu 4% per kilometer. Dengan begitu masyarakat tidak akan terlalu dibebani. “Jika lebih dari itu pemerintah memang belum mempunyai perhitungan ekonomi dengan baik. Karena kenaikan harga tol secara serta-merta ikutan-ikutan inflasi,” tutupnya

Di tempat terpisah, Agus Pambagio, Pengamat Kebjakan Publik mengatakan, adanya kenaikan tarif tol selama dua tahun sekali memang merupakan ketentuan UU. Namun begitu, aturan itu sudah selayaknya dibatalkan karena sudah tidak realistis lagi dan tidak relevan dengan kondisi ekonomi saat ini. Mengingat baru saja pemerintah menaikan BBM saja sudah jadi beban, apalagi ditambah dengan naiknya jalan tol. Tentu saja, cost transportasi akan meningkat, yang berimbas pada kenaikan harga komoditas yang lain.

“Sudah berulang kali saya mengatakan, undang-undang tentang kenaikan tol per dua tahun ini harusnya dibatalkan melihat kondisi ekonomi sekarang, karena sunggguh tidak relevan pemerintah menaikan tarif tol sekarang,” katanya saat dihubungi Neraca.

Tanpa dinaikan pun, ungkap Agus, tarif tol sekarang pun sudah sangat mahal.

Peraturan kenaikan ini, lanjut Agus, memang lobi dari para investor untuk menaikan tarif per dua tahun sekali.

Oleh sebab itu, imbuh Agus, harusnya tol itu dibangun oleh pemerintah dengan dana APBN. Dengan begitu tidak ada perhitungan investasi yang masuk dalam tarif tol sehingga tarif tol bisa menjadi murah. “Kalau masih diserahkan pada swasta maupun BUMN, pasti tetap dengan pola yang sama karena memang mereka melihat investasi, dan otomatis mereka akan tetap menaikan per dua tahun sekali karena memang melihat tingkat inflasi. Karena jika inflasi naik tentu saja cost nya akan naik seperti pembelian aspal dan lainnya,” jelasnya.

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…