Buang Uang Percuma, Stop Bayar Obligasi Rekap!

NERACA

Jakarta – Pemerintah harus menghentikan pembayaran obligasi rekapitalisasi karena hanya membuang uang percuma. Apalagi, jika mau, sebenarnya pemerintah bisa menghentikan pembayaran tersebut.

“Kalau mau bisa saja dilakukan namun ada konsekuensinya karena setiap mengambil keputusan dalam ekonomi pasti ada konsekuensinya. Untuk menghentikan pembayaran obligasi rekap dapat dilakukan hanya saja sedikit rumit karena obligasi tersebut sudah dipegang oleh banyak pihak. Kalau sudah dipegang masyarakat akan rumit, harus diadakan pertemuan bond holders,” jelas pengamat ekonomi Drajad Wibowo, saat dihubungi NERACA, Rabu.

Menurut Drajad, ada dua hal yang bisa dilakukan Pemerintah untuk menghentikan pembayaran obligasi rekap, yaitu renegosiasi dan penghentian pembayaran bunga. Hanya saja, kemungkinan besar akan ada gugatan dari investor yang telah membeli obligasi tersebut dari perbankan. Itu sebabnya, penghentian obligasi rekap yang paling tepat adalah obligasi yang dipegang oleh bank BUMN.

Dia menambahkan, pemerintah sudah kehilangan kesempatan untuk menghentikan obligasi rekap karena pemerintah menolak berbagai masukan mengenai penyelamatan obligasi rekap saat posisi Menteri Keuangan dijabat Boediono. “Ada beberapa masukan dari teman-teman, salah satunya saya sendiri yang menyarankan akuisisi antar bank rekap namun ditolak,” tandas Drajad.

Kendati begitu, Drajad mengakui, jumlah bunga yang dibayarkan sebesar Rp 60 triliun agak berkurang dalam 5 tahun terakhir. Hanya saja, Drajad menyatakan bahwa apabila tidak ada obligasi rekap, defisit APBN dapat dikurangi sehingga negara punya anggaran lebih banyak untuk disalurkan ke infrastruktur, misalnya.

“Pembiayaan infrastruktur di Indonesia, susah sekali, padahal dananya ada namun untuk membayar obligasi rekap, ini menjadi semacam lingkaran setan. Membuang-buang uang untuk hal yang dapat dibenahi,” tegasnya.

Sementara itu, Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli mendesak supaya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera membentuk tim khusus yang membahas kemungkinan penghentian pengalokasian anggaran sebesar Rp 60 triliun pada tiap tahunnya untuk subsidi bunga Obligasi Rekapitulasi (OR). Langkah ini perlu dilakukan agar APBN bisa benar-benar bermanfaat bagi rakyat Indonesia yang lebih membutuhkan.

“Sejak tahun 2003 lalu, kita alokasikan dana sekitar Rp 60 triliun tiap tahunnya untuk subsidi obligasi rekapitulasi perbankan. Subsidi ini diberikan kepada para bankir yang sudah kaya raya. Celakanya, subsidi ini akan terus berlanjut hingga tahun 2033. Namun, pada saat yang sama, pemerintah malah menaikkan harga BBM bersubsidi dengan berdalih guna menyelamatkan APBN. Ini jelas merupakan bentuk ketidakadilan yang luar biasa dan harus segera dihentikan,” katanya.

Menurut Rizal, dengan pembentukan tim khusus, pemerintah diharapkan bisa menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap karena membebani APBN. Pada awalnya obligasi rekap memakai skema non-interest barrier atau obligasi tanpa bunga. Selain itu, obligasi rekap tidak bisa diperdagangkan (non-tradable). \"Pada tahun 2003, obligasi rekap diubah menjadi tradable dan interest bearing,” tambah Rizal.

Dia mengatakan, tidak banyak masyarakat yang tahu pengalokasian anggaran subsidi perbankan ini. Hal ini karena dalam APBN, pos anggaran ini tidak muncul dengan nama uang eksplisit subsidi bunga obligasi rekap. “Pemerintah telah menyamarkan pos pembayaran obligasi rekap ini dengan nama pembayaran Surat Utang Negara (SUN),” ujarnya.

Melihat atas fakta ini, Rizal menegaskan, keberpihakan pemerintah dan DPR terhadap rakyat patut dipertanyakan. Harga BBM dinaikkan, sementara terdapat 73 juta pengendara motor yang tiap harinya mengkonsumsi BBM. Masih ada sumber pemasukan negara dari sektor lain yang bisa diserap oleh pemerintah, sehingga tidak perlu mengurangi anggaran subsidi BBM bersubsidi.

“Pemasukan dari sumber lain adalah dari subsidi obligasi Rp 60 triliun per tahunnya kepada perbankan dan hal ini perlu dihentikan. Jumlah subsidi obligasi tersebut lebih besar daripada mengurangi subsidi BBM,” jelasnya.

Di tempat terpisah, Mantan Menteri Keuangan, Fuad Bawazier mengungkap, sudah seharusnya Pemerintah menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap. Bila pemerintah mau membayar, langsung saja ke utang pokoknya.

“Obligasi rekap ini kebijakan pemerintah untuk membantu bank-bank yang sudah mau kolaps. Sekarang bank tersebut sudah berjalan dengan baik. Jadi harus segera dihentikan,” jelas Fuad kepada Neraca.

Dia memaparkan, Pemerintah dan DPR harus mempunyai sikap yang tegas untuk menghentikan pembayaran obligasi rekap ini. Minimal untuk menghentikan membayar bunga terlebih dahulu. Karena kebijakan pembayaran bunga obligasi bank rekap dari APBN bukan hanya salah kaprah, tapi sudah memiskinkan bangsa secara sistemik, dan telah merampas hak rakyat kebanyakan.

\"Betapa tidak. Tatkala APBN berat, lantas subsidi BBM yang disoal. Padahal subsidi BBM dinikmati seluruh masyarakat. Ketika subsidi dikurangi maka harga BBM naik dan harga barang ikut naik. Beban rakyat makin berat, belum lagi beban inflasi yang juga harus dipikulnya secara makro ekonomi,” keluh Fuad.

Fuad menyarankan, saat ini waktu yang tepat untuk menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap. Sebab, kebijakan ini benar-benar tidak adil. Pemerintah sibuk menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik (TDL) dengan alasan subsidi itu mendistorsi ekonomi.

Anggota DPR RI Achsanul Qosasih menyebut, perbankan sudah merasa nyaman dengan pendapatan dari obligasi rekap yang dimilikinya. Bank Mandiri saja, kata Achsanul, mendapat Rp3,5 triliun dari obligasi rekap. Jadi sebetulnya keuntungan Bank Mandiri itu tidak murni. Kalau mau, kurangi dulu dengan penerimaan dari obligasi rekap, baru itu keuntungan dari prestasi direksi. Pemberian tantiem pada direksi pun seharusnya mengacu pada keuntungan perusahaan yang sudah dikurangi penerimaan dari obligasi rekap.

“Mereka keenakan. Itu yang kita tidak mau. Mereka jangan terlena dengan bunga obligasi rekap yang mereka nikmati. Tidak bisa begitu. Mereka harus kembalikan,” kata Achsanul.

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…