Redenominasi Rupiah Agar Sejajar dengan Bangsa Lain

NERACA

Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution mengatakan nilai mata uang merupakan cermin pertama suatu bangsa sehingga redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang, perlu dilakukan untuk meningkatkan posisi rupiah di mata orang asing. \"Orang asing ketika datang ke Indonesia, yang pertama dilakukan adalah menukar uangnya dengan rupiah. Melihat nominal rupiah yang sangat tinggi dibandingkan nilai mata uangnya, mereka bisa menganggap remeh Indonesia,\" kata dia, saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa (21/5).

Darmin mengatakan yang pertama kali mewacanakan redenominasi rupiah adalah BI. Namun, setelah berkoordinasi dengan pemerintah, disepakati bahwa redenominasi akan dilakukan oleh tim nasional yang ada di bawah wakil presiden. Menurut dia, BI sudah membentuk tim terkait dengan rencana redenominasi rupiah. Dia berharap tim tersebut bisa sejalan dengan tim nasional yang berada di bawah Wakil Presiden.

\"Saya paham ada unsur politis yang harus diperhitungkan. Namun, menurut saya saat ini adalah momen yang tepat untuk melakukan redenominasi karena inflasi masih bisa dikendalikan,\" terang Darmin. Dia juga menjawab pertanyaan dari anggota Komisi XI Melchias Marcus Mekeng tentang kelanjutan redenominasi rupiah. Menurut Mekeng, dirinya mempertanyakan progres redenominasi setelah Darmin tidak lagi menjabat sebagai Gubernur BI.

Darmin Nasution akan mengakhiri masa jabatannya pada 22 Mei dan posisinya akan digantikan oleh Agus DW Martowardojo yang akan dilantik Mahkamah Agung pada 24 Mei mendatang. Darmin menjabat Gubernur BI sejak empat tahun lalu. Ketika itu Darmin yang menduduki posisi Deputi Gubernur Senior BI secara otomatis menggantikan Boediono yang mundur dari jabatan Gubernur BI karena maju menjadi calon wakil presiden.

Sekarang waktu yang tepat

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Pusat Riset dan Edukasi BI, Iskandar Simorangkir, mengatakan redenominasi harus dilakukan pada waktu yang tepat, yaitu saat makro ekonomi menunjukkan angka-angka yang stabil. “Artinya, sekarang adalah waktu yang tepat untuk melakukan redenominasi, karena perekonomian kita sedang kuat dan stabil,” ujarnya. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia terbilang stabil tinggi dibanding negara-negara lain di dunia. Pada 2010 tercatat, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 6,2%. Sedangkan pada 2011 dan 2012 berturut-turut tumbuh 6,5% dan 6,2%. Berbagai kalangan, termasuk Bank Dunia, Pemerintah Indonesia, dan banyak ekonom optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2013 ini tetap di atas 6%.

Inflasi Indonesia juga terbilang stabil. Pada 2011 Indonesia mengalami inflasi 3,8%. Semenatra tahun 2012 inflasi sebesar 4,3%. Pada 2013 ini, APBN mengasumsikan inflasi terjadi sebesar 4,9%. Meskipun dalam triwulan awal inflasi begitu tinggi akibat bawang merah, bawang putih, dan cabai, tetapi bukan berarti target inflasi dalam APBN tersebut tidak dapat dikejar. Namun begitu, waktu yang tepat hanyalah salah satu syarat agar redenominasi berjalan mulus, kata Iskandar. “Dukungan kuat dari seluruh lapisan masyarakat juga penting. Kalau masyarakat tidak terima maka redenominasi tidak akan berjalan. Jadi memang perlu sosialisasi yang mendalam,” kata Iskandar.

Landasan hukum yang kuat, lanjut Iskandar, mutlak harus ada agar tidak ada pertentangan dari orang-orang yang melakukan transaksi. Misalnya A mengaku perjanjian kredit Rp100 juta. Karena tidak ada dasar hukumnya, maka tetap dikatakan Rp100 juta uang baru, padahal seharusnya menjadi Rp100 ribu uang baru. Kalau dia ngeyel dan hukumnya tidak kuat, bisa jadi chaos. Jadi landasan hukumnya harus Undang-Undang,” kata Iskandar. Selain itu, masa transisi harus cukup panjang.

“Misalnya DPR setuju tahun ini. Itu tidak bisa langsung diterapkan 1 Januari 2014. Minimal diperlukan 2-3 tahun untuk sosialisasi, jadi baru bisa dimulai 1 Januari 2017. Perlu sekali sosialisasi bahwa redenominasi bukanlah sanering,” jelas Iskandar. Sementara dosen FEUI Telisa Aulia Falianty mengaku sering mendapat keluhan dari sesama pengamat ekonomi di ASEAN akibat nominal rupiah yang terlalu besar dan jauh sekali dari nominal mata uang lainnya di ASEAN.

Indonesia adalah negara kedua di ASEAN yang memiliki nilai nominal mata uang terbesar. Posisi pertama diduduki oleh Vietnam dengan pecahan terbesar mata uang dong-nya adalah 500 ribu. Indonesia dan Kamboja ada di posisi kedua dengan pecahan terbesar 100 ribu. Sedangkan pecahan terkecil dipegang oleh Ringgit Malaysia dengan nominal terbesarnya 100. [ardi]

BERITA TERKAIT

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi NERACA Denpasar - Sebanyak 12 lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat secara ilegal di…

Farad Cryptoken Merambah Pasar Indonesia

  NERACA Jakarta-Sebuah mata uang digital baru (kriptografi) yang dikenal dengan Farad Cryptoken (“FRD”) mulai diperkenalkan ke masyarakat Indonesia melalui…

OJK: Kewenangan Satgas Waspada Iinvestasi Diperkuat

NERACA Bogor-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharapkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi dapat diperkuat kewenangannya dalam melaksanakan tugas pengawasan, dengan payung…

BERITA LAINNYA DI

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi NERACA Denpasar - Sebanyak 12 lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat secara ilegal di…

Farad Cryptoken Merambah Pasar Indonesia

  NERACA Jakarta-Sebuah mata uang digital baru (kriptografi) yang dikenal dengan Farad Cryptoken (“FRD”) mulai diperkenalkan ke masyarakat Indonesia melalui…

OJK: Kewenangan Satgas Waspada Iinvestasi Diperkuat

NERACA Bogor-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharapkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi dapat diperkuat kewenangannya dalam melaksanakan tugas pengawasan, dengan payung…