Banyak Antek Asing, Kontrak Tambang dan Migas Sulit Diputus

Jakarta – Banyak pejabat tinggi dan wakil rakyat yang ditengarai menjadi antek asing dan pemburu rente (rent seeker) hingga bisnis energi dan pertambangan di negara ini didominasi perusahaan asing. Bahkan, kontrak tambang dan migas yang sudah habis waktunya tidak bisa diambil-alih pemain lokal.

NERACA

“Yang lebih parah lagi, antek melakukan segala cara dengan memberikan bermacam alasan, kebohongan publik dan justifikasi agar “asing” tetap berada di Indonesia, dengan tujuan mengeruk keuntungan pribadi atau golongan,” tegas Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara saat dihubungi Neraca, Minggu (14/10).

Menurut dia, sebenarnya tidak ada yang sulit untuk mengusir asing. Masalahnya, pemerintah tidka punya kemauan untuk mengambil alih area tambang atau migas yang sudah selesai masa kontraknya. Di sini, sikap pemerintah diuji lebih mementingkan rakyat atau segelintir golongan.

“Secara prosedur untuk mengambil alih pertambangan atau migas sangat mudah. Kontak yang sudah habis dikembalikan ke negara, lalu dari negara tinggal memberikan kepada salah satu BUMN,” papar Marwan.

Untuk masalah pengelolaan, tutur Marwan, Indonesia sudah sangat mampu. “Kalau ada yang mengatakan tidak mampu, Anda bisa nilai sendiri, siapa mereka sebenarnya? Mereka adalah antek asing dan pemburu rente yang sebenarnya. Masalah teknologi dan dana juga tidak usah takut. Orang Indonesia banyak yang mampu dan kalau kita kekurangan tenaga ahli, tinggal mencari orang dan kita gaji,” ujarnya.

Sementara untuk masalah penggantian atau dana, lanjut Marwan, APBN Indonesia juga sudah mumpuni. Sudah bisa untuk membayar dan melunasi. Sehingga asing itu bisa segera angkat kaki dari negeri ini.

Di tempat terpisah, anggota Komisi VI DPR RI, Chandra Tirta Wijaya mengungkapkan bahwa hingga saat ini belum ada regulasi yang tegas mengenai mekanisme dan prosedur apabila kontrak migas berakhir.

Menurut dia, kondisi ini sangat rawan menimbulkan moral hazard dan sekaligus menghilangkan kesepakatan bagi BUMN untuk menguasai blok-blok migas. “Saya sarankan pemerintah membuat regulasi khusus untuk menunjuk salah satu BUMN untuk bisa mengelola seluruh blok migas di seluruh Indonesia yang masa kontraknya telah habis,” ujarnya,  kemarin.

Revisi PP

Chandra mengingatkan kepada pemerintah bahwa terdapat puluhan kontrak migas yang akan habis masa kontraknya, seperti di Biak dengan operator PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang akan berakhir pada tahun 2013. Di Gebang, dengan operator JOB Pertamina-Costa yang akan berakhir pada 2015, kemudian Blok Mahakam dengan operator Total EP Indonesia yang akan berakhir pada tahun 2017. “Banyak kontrak kerjasama yang akan habis, oleh karena itu diharapkan pemerintah dapat mengambil alih blok migas itu,” terangnya.

Pemerintah, imbuh Chandra, harus segera merevisi Pasal 28 dalam PP No. 35 Tahun 2004 untuk memberikan kepastian hukum yang memihak kepentingan nasional dan penguasaan oleh BUMN. “Salah satu cara adalah dengan menerbitkan peraturan khusus berupa PP atau Permen yang baru,” ungkapnya.

Dia menambahkan, berdasarkan landasan hukum pada Pasal 28 ayat (9) dimana Pertamina bisa mengajukan permohonan kepada Menteri ESDM untuk wilayah kerja yang habis jangka waktu kontraknya. Oleh karena itu, BUMN seperti Pertamina adalah yang paling berhak mengelola atas blok migas yang akan segera habis kontraknya. “Mengenai seluruh keuntungannya akan menjadi pendapatan negara dalam APBN,” katanya.

Pengamat energi Kurtubi menilai, masalah utama penyebab aset-aset sumber daya alam (SDA) Indonesia banyak dikuasai pihak asing karena kesalahan UU.

Kurtubi meminta agar pemerintah tak boleh lemah atas tekanan dan lobi-lobi negara asing yang selama ini sudah menangguk keuntungan hasil dari kerjasama kontrak bisnis pertambangan dan perminyakan.

“Boleh saja pemerintah diminta untuk menghormati kontrak. Tapi, kalau kontrak sejak awal 1967 seperti Freeport, dirasakan sangat tidak adil. Pemerintah harus bisa lebih tegas hadapi kontrak-kontrak yang sudah sepatutnya dimiliki negara kita ini, azas keadilan harus menjadi prioritas,” ujarnya.

Selain itu, dia mencontohkan UU Migas No 22/2001 pasal 12 adalah pasal yang melegalkan pencurian migas oleh pihak asing. Dalam pasal itu dinyatakan bahwa kuasa pertambangan boleh diserahkan ke pihak asing. Pasal 12 ini sendiri sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK). “Tetapi walau Pasal 12 sudah dicabut oleh MK, tetapi ada cara lain untuk menguasai migas Indonesia untuk pihak asing yaitu dengan membentuk badan yang bukan perusahaan minyak untuk mengelola yaitu BP Migas” jelas Kurtubi

Dia menjelaskan, jika investasi perusahaan asing sebesar US$5 milliar untuk kerjasasama selama 30 tahun. Seharusnya BP Migas dan pemerintah mengetahui bahwa US$5 milliar itu akan balik modal selama 5 tahun ke pihak investor termasuk keuntungannya. Setelah cost recovery dan balik modal selama 5 tahun, maka dalam 25 tahun setelahnya perusahaan asing akan menikmati keuntungan dari pengelolaan SDA tanpa mampu dilarang oleh Pemerintah karena terjebak dalam kesepakatan kerja yang salah.

“Ini cara perampokan yang dilegalkan. Kita punya kekayaan SDA yang belum bisa memakmurkan bangsa ini sendiri, karena diciptakannya regulasi yang memungkinkan terjadinya perampokan secara legal terhadap SDA bangsa ini,” tambahnya.

Menurut Pengamat Energi Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, pemerintah seharusnya sudah memastikan yang seharusnya menjadi pengembang blok minyak dan gas (migas) dan pertambangan lima tahun sebelum masa kontraknya habis. Hal ini bertujuan agar ada persiapan bagi pengembang yang akan melanjutkan masa kontraknya. "Sebelum lima tahun sudah diputuskan karena berkaitan dengan investasi," ujarnya.

Dia menambahkan, jika pemerintah memutuskan pengembang terlalu dekat waktunya dengan masa habis kontrak, maka akan menghambat pelaksanaan produksi. "Kalau baru hari H-nya, nanti penghasilan turun, atau SDA-nya sudah habis itu jadinya gambling. Kalau mepet enggak ada persiapan," lanjutnya.

Menurut Komaidi, pola yang dilakukan pemerintah dalam tata kelola dalam hal sektor migas saat ini, yaitu production sharing contract (PSC) dengan investor. Pola itu dipilih karena pemerintah kuat secara politis birokratis, tetapi tidak kuat secara teknis usaha. Akibatnya badan usaha migas milik negara tidak siap untuk besar dan mandiri.

"Meskipun secara de jure migas dikuasai negara, tetapi secara de facto dikuasai asing. Sementara pemerintah juga tidak berani ambil risiko dengan melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas dengan modal sendiri," katanya.

Sementara Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral Rudi Rubiandini mengatakan, pemerintah akan berusaha untuk mengambil lahan pertambangan dan migas yang sudah habis masa kontraknya, seperti Newmont, Inalum dan Blok Mahakam. Namun yang jadi masalah adalah harus melewati izin DPR. “Untuk mengambil alih sektor tambang tersebut tidak sederhana. Masih harus melewati berbagai macam alur, salah satunya adalah DPR. Karena kita menggunakan dana negara,” ungkap Rudi.

Lagi pula, kata Rudi, negara tidak mempunyai cukup dana untuk membeli perusahaan sektor tambang tersebut. “Untuk bangun dan memperbaiki jalan saja agak sulit mencari dananya,” tambahnya.

Menurut dia, salah satu cara untuk mengambil alih adalah lewat BUMN. Tetapi, lanjutnya, BUMN juga milik negara dan membelinya pun bisa saja menggunakan dana negara juga.

Terkait dengan pembelian Inalum, Rudi memaparkan, saat ini masih terganjal dua masalah. Saat ini masalah tersebut tengah diselesaikan Kementerian Keuangan. Masalah yang pertama, ujar Rudi, Inalum masih menyisakan masalah dengan beberapa Kabupaten. Perusahaan tersebut punya kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR). Terdapat pemberian 10.000 beasiswa di beberapa kabupaten yang belum dibayarkan.

“Banyak kewajiban-kewajiban yang belum dibayarkan ke beberapa Kabupaten, seperti kewajiban CSR diantaranya 10.000 beasiswa warga sekitar. Gaji karyawan yang belum terbayar yang saat ini sedang dicari jalan keluarnya oleh Kementerian Keuangan,” urai Rudi.

Masalah kedua, makin dekatnya akhir kontrak Inalum dengan pemegang saham yang lain dari Jepang pada September 2013. “Sementara Jepang masih menginginkan perpanjangan kontrak, dan berjanji akan tanam investasi. Namun pemerintah belum mau, malah berkeinginan untuk sudah kontraknya diputus saja,” ucapnya.

Sementara jika kontrak diputus, tentunya ada pembagian aset dan saham dengan investor Jepang. “Nah, kalau diputus kontraknya dan mau dibeli pemerintah, pemerintah harus menyediakan dana untuk share saham dan aset ke investor Jepang. Hal ini yang kita cukup kesulitan,” tukasnya. iwan/novi/bari/mohar/kam

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…