Impor Beras Karena Data Permintaan dan Pasokan Tak Valid

NERACA

Jakarta – Impor pangan terutama beras disebut masih terjadi karena data yang dimiliki pemerintah tidak valid mengenai ketersediaan dan kebutuhannya. "Di beras itu, data sangat krusial karena dibutuhkan untuk melihat berapa kebutuhan dan berapa ketersediaannya. Impor beras itu terjadi karena data kita masih belum valid," kata Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah sebagaimana disalin dari Antara.

Menurut Rusli, data 2,8 juta ton surplus beras yang disebut calon presiden nomor urut 01 Jokowi pada saat debat capres putaran kedua, Minggu (17/2), baru ketahuan setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mempublikasikan data pada Oktober 2018.

Sayangnya, impor justru telah dilakukan pada awal 2018, jauh sebelum data valid dari BPS dipublikasikan. "Mungkin bisa dibilang Pak Jokowi kecolongan karena sudah impor untuk stabilkan harga beras yang tinggi sejak 2017, ternyata BPS keluarkan data bahwa ada surplus," katanya.

Dengan kondisi tersebut, Rusli berharap seharusnya Jokowi bisa mendorong BPS untuk bisa mempublikasikan data lebih awal. "Coba kalau ada data sejak 2016-2017, mungkin tidak ada impor pada 2018," katanya.

Sebelumnya, isu impor pangan mengemuka dalam debat capres putaran kedua, ketika calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto mempertanyakan impor pangan kepada calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo. Dalam kesempatan itu, Jokowi menegaskan bahwa impor pangan masih dibutuhkan sebagai cadangan strategis untuk menstabilkan harga atau apabila terjadi gagal panen dan bencana alam.

Kementerian Pertanian menegaskan produksi jagung selama empat tahun terakhir sudah mencukupi kebutuhan pakan ternak secara menyeluruh di seluruh daerah. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan I Ketut Diarmita menjelaskan sejak 2014, rekomendasi pemasukan jagung sebagai pakan ternak mencapai 3,16 juta ton. Namun jumlah tersebut menurun pada 2015 menjadi sebesar 13,34 persen atau 2,74 juta ton. Selanjutnya menurun drastis pada 2016 sebesar 67,73 persen atau 884,6 ribu ton. Kemudian zero impor jagung pakan ternak pada tahun 2017.

"Kemudian pada tahun 2018 dilakukan impor jagung pakan ternak sebanyak 73 ribu ton yang digunakan sebagai cadangan pemerintah melalui Rakortas dengan pelaksana impor jagung adalah Bulog," kata Ketut Diarmita di Jakarta, disalin dari Antara.

Ketut mengatakan data impor jagung yang dipublikasikan oleh BPS maupun Kementerian Pertanian terdiri dari beberapa kode Harmonized System (HS) dan bukan merupakan produk tunggal. Dengan demikian, data impor secara keseluruhan bukan sebagai bahan pakan. Menurut dia, data impor yang ada terdiri dari jagung segar maupun olahan.

"Jagung segar itu bisa berupa jagung bibit, jagung brondong dan jenis jagung segar lainnya, sedangkan jagung olahan bisa berupa maizena, jagung giling, pati jagung, minyak jagung, sekam, dedak, bungkil dan residu. Inilah yang perlu kita pahami bersama bahwa tidak ada kode HS khusus jagung yang digunakan untuk pakan dan penggunaan jagung segar," katanya.

Menurut dia, jagung sebagai komoditas pangan strategis kedua setelah padi, juga sebagai salah satu bahan pakan utama dalam formulasi pakan. Sampai dengan akhir tahun 2017, rekomendasi impor dilakukan melalui Kementerian Pertanian.

Dari sisi utilitas, pemanfaatannya lebih kompleks jika dibandingkan padi. Hal itu karena jagung bukan saja sebagai bahan industri pakan, peternak mandiri layer, tetapi juga untuk industri pangan, konsumsi langsung dan industri benih.

Menurut data Badan Ketahanan Pangan Kementan, prognosa jagung tahun 2018 dari total penggunaan jagung 15,55 juta ton, sekitar 66,1 persen atau 10,3 juta ton digunakan untuk industri pakan dan peternak mandiri Jagung sebagai salah satu komponen bahan pakan telah berkontribusi 40-50 persen. Oleh karena itu, setidaknya diperlukan jagung sebanyak 7,8 juta ton untuk industri pakan dan 2,5 juta ton untuk peternak mandiri dari total produksi pakan tahun 2018 yang mencapai 19,4 juta ton. "Kebutuhan tersebut meningkat di tahun 2019 menjadi 8,59 juta ton untuk industri pakan dan 2,92 juta ton untuk peternak mandiri," katanya.

Pemerintah diminta membenahi kekacauan tata niaga impor pangan nasional terutama yang terkait dengan tata produksi, distribusi, serta konsumsi termasuk juga permasalahan mengenai data pangan yang selama ini masih kerap disorot berbagai pihak.

BERITA TERKAIT

Kemenparekraf Sertifikasi Halal Produk Mamin di 3.000 Desa Wisata

NERACA Jakarta – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) melakukan kick off akselerasi sertifikasi halal produk…

Implementasi Aturan Tata Kelola Lobster Terus Dikawal

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggandeng Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) dalam pendampingan implementasi tata kelola…

Nilai Impor di Bulan Maret Sebesar USD 17,96 Miliar

NERACA Jakarta – Nilai impor selama Maret 2024 tercatat sebesar USD 17,96 miliar. Kinerja impor ini melemah 2,60 persen dibandingkan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Kemenparekraf Sertifikasi Halal Produk Mamin di 3.000 Desa Wisata

NERACA Jakarta – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) melakukan kick off akselerasi sertifikasi halal produk…

Implementasi Aturan Tata Kelola Lobster Terus Dikawal

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggandeng Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) dalam pendampingan implementasi tata kelola…

Nilai Impor di Bulan Maret Sebesar USD 17,96 Miliar

NERACA Jakarta – Nilai impor selama Maret 2024 tercatat sebesar USD 17,96 miliar. Kinerja impor ini melemah 2,60 persen dibandingkan…