AKIBAT KINERJA EKSPOR MENURUN - BPS: Defisit NPI Kian Meningkat US$7,52 Miliar

Jakarta-Badan Pusat Statistik (BPS) mengungungkapkan, neraca perdagangan Indonesia pada November 2018 masih mengalami defisit US$2,05 miliar, lebih besar jika dibandingkan posisi Oktober 2018 yang tercatat US$1,82 miliar. Sementara secara kumulatif Januari-November 2018, defisit perdagangan telah mencapai US$7,52 miliar, meningkat jika dibandingkan periode Januari-Oktober 2018 US$5,51 miliar.

NERACA

Kondisi ini memprihatinkan sekali jika dibandingkan periode tahun lalu (Januari-November 2017) dimana neraca perdagangan Indonesia (NPI) masih surplus US$12,02 miliar. Defisit kali ini terjadi karena nilai ekspor tercatat US$14,83 miliar, turun 6,69% dibandingkan Oktober 2018. Sedangkan impor mencapai US$16,88 miliar, turun 4,47% dari bulan sebelumnya.

Dari sisi ekspor, penurunan ekspor terjadi pada sektor minyak dan gas (migas) serta non migas. Ekspor migas tercatat turun 10,75% menjadi US$1,37 miiar dan non migas turun 6,25% menjadi US$13,46 miliar.

Menurut Kepala BPS Kecuk Suhariyanto, penurunan ekspor terjadi karena harga sejumlah komoditas menurun di pasar dunia, baik dari sektor minyak dan gas (migas) maupun non migas. "Untuk non migas, ada penurunan harga pada komoditas minyak kernel, minyak sawit mentah, batu bara, dan nikel," ujarnya di Gedung BPS, Senin (17/12).

Secara sektoral, menurut dia, penurunan ekspor disumbang oleh sektor migas yang turun 10,75% menjadi US$1,37 miliar dan industri pengolahan turun 8,12% menjadi US$10,68 miliar pada November 2018.

Meski demikian, ekspor sektor pertanian masih meningkat tipis 1,29% menjadi US$320 juta dan industri pertambangan naik 1,79% menjadi US$2,46 miliar.  "Peningkatan ekspor pertambangan terjadi pada komoditas biji tembaga, biji besih, dan bahan bangunan," ujarnya.  

Berdasarkan negara tujuan, terjadi penurunan ekspor ke India mencapai US$194,8 juta, Swiss US$167,7 juta, dan China US$153,8 juta.  Namun, peningkatan ekspor masih terasa ke beberapa negara, seperti Bulgaria naik US$109,4 juta, Jepang US$78,1 juta, dan Hong Kong US$48,5 juta.

Sementara dari sisi impor, penurunan terjadi karena impor migas turun 2,8% menjadi US$2,84 miliar dan non migas turun 4,8% menjadi US$14,04 miliar. "Impor migas terjadi pada minyak mentah, hasil minyak, maupun gas," ujarnya.  

Berdasarkan jenisnya, penurunan impor terjadi pada barang modal sebesar 5,92% menjadi US$2,59 miliar. Lalu, barang baku/penolong turun 4,14% menjadi US$12,86 miliar dan barang konsumsi turun 4,7% menjadi US$1,43 miliar. "Impor konsumsis turun pada produk buah-buahan dari China, seperti anggur, jeruk mandarin, pear, dan lainnya. Lalu, impor bahan baku turun pada gandum dan kedelai. Sedangkan bahan modal seperti mesin motor," tutur Kecuk.  

Berdasarkan negara tujuan, peningkatan impor terjadi dari China sebanyak US$70,4 juta, Inggris US$43,5 juta, dan Uni Emirat Arab US$36,3 juta. Sedangkan penurunan impor terjadi dari Jepang US$225,3 juta, Thailand US$128 juta, dan India US$87,7 juta.

Sebelumnya, defisit perdagangan pada Oktober 2018 terjadi karena nilai ekspor meningkat 5,87% dari US$15,25 miliar pada September 2018 menjadi US$15,8 miliar pada Oktober 2018. Sedangkan nilai impor meroket hingga 20,6% dari US$14,25 miliar menjadi US$17,62 miliar pada periode yang sama. Dari sisi ekspor, peningkatan terjadi karena ekspor migas meningkat 15,18% menjadi US$1,48 miliar dan ekspor non migas naik 4,99% menjadi US$14,32 miliar.

Dari sisi impor non migas, peningkatan impor terjadi untuk beberapa barang. Misalnya, mesin dan pesawat mekanik, besi dan baja, mesin dan peralatan listrik, plastik dan barang dari plastik, serta ampas dan sisa industri makanan.

Pengaruh Eksternal

Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengakui, defisit sebesar US$2,05 miliar yang membebani neraca perdagangan November kemarin disebabkan oleh kinerja ekspor yang memble. Menurut dia, banyak tantangan eksternal yang dihadapi Indonesia untuk menggenjot kinerja ekspor dan mengatasi defisit neraca perdagangan.

Tantangan eksternal paling utama datang dari China. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi China diprediksi kian melambat hingga akhir tahun, sehingga ekspor Indonesia ke Negeri Tirai Bambu itu pun tak bisa optimal.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, ekspor Indonesia ke China pada November turun US$153,8 juta ketimbang bulan sebelumnya. Penurunan terjadi menyusul pelemahan pertumbuhan ekonomi China di kuartal III lalu yang hanya mencapai 6,5% atau melemah dibanding kuartal sebelum 6,7%.

Selain itu, saat ini China juga tengah melakukan penyesuaian kebijakan di internalnya dan kinerja industri manufakturnya masih dibayang-bayangi oleh perang dagang dengan Amerika Serikat (AS). Jika produksi melambat, kebutuhan bahan baku impor dari Indonesia juga kian berkurang.

"Beberapa komoditas Indonesia, maupun pasar tempat Indonesia untuk mengekspor harus dilihat hati-hati karena pertumbuhan ekonomi China dalam adjustment," ujarnya seperti dikutip CNNIndonesia.com, kemarin di Jakarta.

Tak hanya itu, saat ini pertumbuhan ekonomi global diproyeksi akan melemah dan akan berlanjut di tahun depan. Ia mencontohkan, International Monetary Fund (IMF) sebelumnya memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya mencapai 3,7% dari perkiraan sebelumnya 3,9%.  

Begitu pun dengan para pemimpin negara-negara G-20 yang memprediksi penurunan pertumbuhan ekonomi tahun depan. Jika pertumbuhan ekonomi mengetat, permintaan impor dari Indonesia juga berkurang.

Makanya, Indonesia perlu berhati-hati dalam mencari pasar ekspor baru dan dengan komoditas yang sangat sensitif dengan isu di luar ekonomi.  "Dengan ekonomi yang tendensinya melemah di pasar-pasar tujuan baru, kemungkinan menyerap ekspor di sana akan terbatas. Tentu Indonesia juga harus hati-hati untuk mengelolanya, terutama external account Indonesia," jelas Sri Mulyani.

Di tengah kondisi ekspor yang masih lesu, maka pemerintah punya pekerjaan rumah dalam menghalau impor masuk. Sejauh ini, implementasi kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) 22 impor bagi 1.147 pos tarif demi menekan impor barang konsumsi diklaim pemerintah sudah efektif.

Data BPS menunjukkan penurunan impor barang konsumsi sebesar 4,7% secara bulanan pada November silam. Hanya saja, harus ada perhatian khusus dari industri non-migas dan migas agar impor bahan baku manufaktur dan migas bisa ditekan.

Meski, pada bulan lalu, impor migas dan impor bahan baku masing-masing turun 2,8% dan 4,14% secara bulanan. "Tentu kalau sektor migas dan non-migas ini memperhatikan industri dalam negeri untuk substitusi," ujarnya.  

Sebelumnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan tidak ingin membengkaknya impor minyak dan gas bumi (migas) selalu dijadikan kambing hitam penyebab defisit neraca perdagangan. Pasalnya, dia menilai defisit neraca perdagangan terjadi karena ekspor produk non migas yang belum optimal.

"Pertanyaan saya begini, Jepang punya gas tidak? Punya minyak enggak? Enggak. Impor minyak dan gasnya jauh lebih lebih besar dari Indonesia tetapi ekspornya produk lainnya besar. Kita, mestinya begitu," ujar Jonan di Hotel Pullman Thamrin Jakarta, Kamis (15/11).

Jonan mengungkapkan membengkaknya impor migas Oktober terjadi karena harga minyak yang menanjak. Secara volume, impor migas Oktober lalu turun 4,47% menjadi 4,3 juta ton. "Kalau harga minyak mentah naik itu harga produk Bahan Bakar Minyak (BBM) juga naik. Kita impor kira-kira mungkin sekitar 500 ribu sampai 600 ribu barel per hari, baik crude maupun produk. Ya pasti nilainya naik," ujarnya.

Jonan mengingatkan minyak merupakan bahan produksi dalam perspektif yang lebih luas. Artinya, penggunaan minyak seharusnya bisa menghasilkan produk lain yang bisa diekspor.

Sejumlah negara yang mengandalkan pasokan migas dari impor seperti Jepang, Singapura, China, neraca perdagangannya bisa tetap sehat karena tingginya impor migas diimbangi oleh kemampuan ekspor yang tinggi. "Kan impor minyak tidak untuk diminum. Ini sebagai alat produksi. Walaupun digunakan oleh konsumen tetapi untuk berkegiatan. Berkegiatan ini yang harus menghasilkan nilai ekspor yang lain," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…