Perundingan Perdagangan Bukan Hanya Kejar Kuantitas

NERACA

Jakarta – Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai bahwa ambisi Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan berbagai perjanjian perdagangan bebas yang dirundingkan saat ini hanya sekedar mengejar target kuantitas. Hal ini karena, secara kualitas bagaimana Indonesia, khususnya rakyat, akan diuntungkan dari berbagai kerjasama ekonomi tersebut tidak pernah dilakukan pengukurannya secara presisi.

Pandangan ini disampaikan oleh IGJ terkait dengan desakan Presiden Jokowi agar RCEP segera diselesaikan perundingannya pada saat kehadirannya dalam KTT ASEAN di Singapura minggu ini. Bahkan, secara ambisius, di sepanjang tahun 2018 ini banyak sekali perjanjian perdagangan yang didesak penyelesaiannya oleh Pemerintah, seperti Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-Europe FTA (IEFTA), dan Regional Comprehensive Partnership Agreement (RCEP).

Juga terkait dengan pengambil-alihan ratifikasi 6 (enam) perjanjian perdagangan dari DPR ke Pemerintah sehingga ratifikasi dapat dilakukan tanpa perlu persetujuan dari DPR RI. Enam perjanjian itu seperti: Perjanjian Perdagangan Jasa di bawah ASEAN-India FTA (AITISA), Protokol Ketiga untuk Mengubah Perjanjian Perdagangan Barang di bawah ASEAN-Korea FTA (AKFTA), Protokol untuk Mengubah Perjanjian Kerangka Kerja di bawah ASEAN-China FTA (ACFTA), Perjanjian ASEAN tentang Pedoman Perangkat Medis (AMDD), Protokol untuk Menerapkan Perjanjian Kerangka Kerja ASEAN ke-9 tentang Layanan (AFAS-9), dan Protokol untuk Mengubah PTA Indonesia-Pakistan (IP-PTA).

Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, meminta agar Pemerintah Indonesia tidak perlu terlalu ambisius menyelesaikan beberapa perundingan perjanjian perdagangan bebas dalam tahun ini atau tahun depan. Hal ini karena ada banyak yang harus dipertimbangkan dampak luasnya oleh Indonesia mengingat perjanjian perdagangan bebas tidak hanya bicara soal ekspor dan impor.

“Mindset pemerintah sangat sempit melihat kerjasama perdagangan, yaitu hanya ekspor dan impor. Kalo pemerintah hanya mengejar target meningkatkan nilai ekspor dalam waktu dekat, caranya bukan dengan menandatangani banyak FTA. Tetapi selesaikan lah pekerjaan rumah yang masih menghambat daya saing Indonesia,” tegas Rachmi, disalin dari keterangan resmi.

Menurut Rachmi, penyelesaian perundingan FTA tahun ini belum tentu memberikan dampak langsung terhadap kinerja perdagangan Indonesia. Bahkan tidak ada jaminannya setelah perjanjian itu entry into force dapat segera dinikmati secara positif oleh Indonesia. Bisa jadi, hasil dari pengikatan komitmen pembukaan pasar domestic malah akan semakin meningkatkan potensi defisit bagi neraca perdagangan Indonesia akibat isi perjanjian yang sangat ambisius dari kedua pihak dalam perjanjian.

“Apa jaminannya ekspor kita akan meningkat karena FTA?. Apakah pemerintah punya perhitungan yang presisi soal dampak dari FTA baik dari sisi ekonomi ataupun sosial? Di dalam RCEP saja, Indonesia terus mengalami defisit sejak 2015,” jelas Rachmi.

Menurut catatan IGJ, rata-rata pemanfaatan FTA1 oleh Indonesia dalam mendorong kinerja ekspor Indonesia masih sangat rendah yakni hanya sebesar 30% sampai 35%. Hal ini dikarenakan persoalan daya saing Indonesia yang sangat rendah. Bahkan IGJ mencatat, ada 3 hal yang menjadi penyebab rendahnya daya saing Indonesia: Pertama, ekspor Indonesia masih mengandalkan ekspor bahan mentah dan komoditas yang tidak memiliki nilai tambah; Kedua, produk komoditas unggulan Indonesia masih didominasi dengan produk rendah teknologi; dan Ketiga, trade creation pada liberalisasi perdagangan terus menciptakan ketergantungan yang tinggi pada produk impor.

“Kita masih punya banyak kendala dalam menyelesaikan persoalan daya saing nasional. Perlu ada keseriusan dari Pemerintah Indonesia dalam menyusun strategi jangka panjang dalam rangka memperkuat fundamental ekonomi Indonesia melalui agenda Industrialisasi nasional dan substitusi impor,” jelasnya.

Menurut Rachmi perjanjian FTA akan berlaku tanpa batas waktu, tetapi aturannya telah mengunci negara saat itu juga tanpa ada ruang untuk dapat melakukan penyesuaian aturan berdasarkan kondisi di masa yang akan datang. “ratifikasi terhadap perjanjian perdagangan bebas harus dilakukan secara hati-hati. Harus dihitung dampak jangka panjangnya. Sekali kita ratifikasi, maka kita harus mengharmonisasi seluruh regulasi nasional dan sulit sekali menarik diri ataupun meminta negosiasi ulang tanpa resiko politik dan ekonomi,” tambahnya.

BERITA TERKAIT

Kemenparekraf Sertifikasi Halal Produk Mamin di 3.000 Desa Wisata

NERACA Jakarta – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) melakukan kick off akselerasi sertifikasi halal produk…

Implementasi Aturan Tata Kelola Lobster Terus Dikawal

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggandeng Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) dalam pendampingan implementasi tata kelola…

Nilai Impor di Bulan Maret Sebesar USD 17,96 Miliar

NERACA Jakarta – Nilai impor selama Maret 2024 tercatat sebesar USD 17,96 miliar. Kinerja impor ini melemah 2,60 persen dibandingkan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Kemenparekraf Sertifikasi Halal Produk Mamin di 3.000 Desa Wisata

NERACA Jakarta – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) melakukan kick off akselerasi sertifikasi halal produk…

Implementasi Aturan Tata Kelola Lobster Terus Dikawal

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggandeng Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) dalam pendampingan implementasi tata kelola…

Nilai Impor di Bulan Maret Sebesar USD 17,96 Miliar

NERACA Jakarta – Nilai impor selama Maret 2024 tercatat sebesar USD 17,96 miliar. Kinerja impor ini melemah 2,60 persen dibandingkan…