Perbaiki Mental Birokrat

Oleh: Ahmad Syaikhon

Wartawan Harian Ekonomi NERACA

Niatan pemerintah Indonesia untuk melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan nampaknya akan sia-sia saja. Maklum saja, birokrat Indonesia ternyata selalu tak berkutik berhadapan dengan negara adidaya. Karena, belum apa-apa pemerintah Amerika Serikat (AS) sudah menakut-nakuti pemerintah jika renegosiasi dilaksanakan maka iklim investasi di Indonesia menjadi tidak kondusif.

Alasannya, jika nanti ada perubahan-perubahan aturan, maka investor yang akan menanamkan investasinya di Indonesia akan berpikir dua kali, dan kemungkinan mengalihkannya ke negara lain. Selain itu, mereka (AS) beranggapan telah memberikan keuntungan cukup besar buat Indonesia.

Padahal, dalam hal kontrak karya, itu seharusnya dilihat dari aspek keadilan bagi kedua belah pihak yang menjalaninya, yaitu keadilan untuk pihak AS dan Indonesia. Apakah kondisi sekarang ini boleh dikatakan adil? Sementara Indonesia hanya mendapatkan royalti 2%, sementara kekayaan alam kita terus dikeruk mereka. Di Kanada saja, prosentase yang berlaku di tiga negara bagian seperti British Columbia, Ontario, dan Quebec adalah sebesar 15% hingga 20% buat tuan rumah

Dengan kata lain, negara Indonesia, memang selalu menjadi pihak yang tidak pernah mendapatkan keadilan. Maka dari itu, sebaiknya ancaman gangguan iklim investasi akibat renegosiasi harus dijawab pemerintah dengan tegas. Pasalnya, ancaman seperti ini telah membelenggu dan menyandera Indonesia sekian lama tanpa berbuat sesuatu, kecuali tunduk patuh dan takluk.

Setelah sekian lama terkekang oleh aturan yang mereka buat. Kini saatnya bagi Indonesia untuk melawan dan menghadapi semua tantangan tersebut sebagai negara merdeka, berdaulat, dan bermartabat. Tentunya kita tidak ingin harga diri bangsa terus diinjak-injak asing yang ”numpang” mencari rezeki di negeri ini.

Kondisi tersebut memang tidak boleh terus terjadi, pemerintah seharusnya mampu menghadapi dan mempersiapkan gugatan secara seksama karena mempunyai UU yang baru (UU Pertambangan Mineral dan Batubara No 4/2009). Selain itu, hukum yang digunakan dalam sidang arbitrase adalah hukum negara tuan rumah. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah pemerintah Indonesia berani melawan dominasi AS?

Karena biasanya, Indonesia menjadi lemah kalau berhadapan dengan AS akibat sikap para birokratnya sendiri. Ya, para birokrat di negeri ini lebih senang mencari keuntungan pribadi atau golongan. Akibatnya, mereka lebih memilih untuk berkolaborasi dengan pihak asing seperti AS untuk berburu rente, atau ada motif kepentingan politik yang ingin mereka capai.

Tentunya sikap mental seperti ini yang mesti diperbaiki, karena bobroknya mental sebagian besar birokrat saat ini, membuat mereka tidak mampu berpikir rasional untuk memberikan win-win solution terhadap bangsa dan negara, bukan menjilat pihak asing untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun golongan.  

 

BERITA TERKAIT

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…

BERITA LAINNYA DI

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…