Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan

Pemerhati Ekonomi Syariah

Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis. Selain berperan sebagai keuangan inklusi (kemudahan masyarakat dalam mengakses keuangan untuk digunakan usaha) keberadaan dari LKM/LKMS juga menolong masyarakat terhadap jerat para rentenir. Fungsi dan peran lembaga keuangan tersebut yang selama ini dilakukan untuk membantu masyarakat.

Namun, sayangnya ketika peran dan fungsi mulia itu dilakukan, ada dilema yang dialami oleh LKM/LKMS, yaitu tingginya kredit / pembiayaan yang macet dikarenakan para pengakses LKM/LKMS adalah para anggota yang selama ini tidak terpenuhi dalam analisis pembiayaan perbankan justru dilayani di LKM/LKMS. Tidak kecermatannya LKM/LKMS dalam memberikan analisa 5C (character,capacity,capital,collateral,condition) dan kelonggaran dalam memberikan pembiayaan berdampak pada kredit macet LKM/LKMS sangat tinggi. Hal ini menjadikan beban dari sisi kerugian, operasional, fokus bisnis LKM/LKMS selama ini.

Dilemanya lainnya, meski kehadiran LKM/LKMS itu dinilai berperan dalam menghambat laju praktik para rentenir yang sangat menyengsarakan masyarakat dari sisi kemanusiaan. Namun faktanya rate (bunga/ bagi hasil)  kredit/pembiayaan LKM/LKMS yang ada selama ini diakses para anggota / pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di rasa masih tinggi,  antara 1,5 % hingga 2,5 % per bulan. Jelas hal ini bertolak belakang dengan program populis pemerintah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga 3 % per tahun untuk super mikro dan 6% - 9% per tahun untuk mikro.

Dilema ini dirasakan bagi LKM/LKMS yang sangat urgent sekali, di satu sisi LKM/LKMS berjuang untuk kemanusiaan dalam menghadang praktek rentenir. Tapi disatu sisi LKM/LKMS di tuntut dari sisi bisnis harus memiliki profit dan kompetitif dibandingkan dengan lembaga keuangan yang lain. Tapi jika ratenya sangat tinggi lantas  bagaimana? Apa bedanya praktek LKM / LKMS dengan praktek rentenir yang rate bunga/bagi hasilnya sama – sama tinggi. Hal ini yang sering menjadi candaan di masyarakat.

Jujur dilema – dilema pengelolaan LKM/LKMS yang demikian seringkali “menyurupi” para pengelola LKM / LKMS, bahkan bagi para pengelola LKM/LKMS yang amatiran sering kali tidak tahu cara mengurai permasalahan itu dan tak ada strategi khusus dalam mengantisipasinya, berinovasi agar tidak terjerat dalam jerat dilema LKM/LKMS itu. 

Maka dari itu pengetahuan manajemen risiko bagi pengelola LKM/LKMS wajib diketahui. Meski LKM / LKMS adalah keuangan inklusi dan memperoleh anggota atau nasabah yang gagal tervalidasi dari perbankan tetap saja kepatuhan pembiayaan 5 C wajib  diterapkan di LKM / LKMS. Tak boleh sembrono dalam pembiayaan atas dasar pencapaian pemenuhan target pembiayaan. 

Di manajemen risiko, para pengelola harus paham bahwa jenis – jenis risiko LKM /LKMS itu terdiri dari risiko operasional, risiko keuangan dan risiko strategis. Dimana dari jenis – jenis risiko tersebut jika diuraikan secara detail banyak sekali risiko – risikonya. Maka dalam mengelola LKM/LKMS diperlukan pengelolaan manajemen risiko yang baik dengan melibatkan berbagai pihak –pihak yang terlibat dalam mengelola LKM/LKMS. Dengan demikian manajemen kinerja berbasis KPI balanced scorecard bisa dijadikan alat indikator dalam memitigasi risiko pengelolaan LKM / LKMS.

Kemudian terkait rate pembiayaan  diakui LKM / LKMS lebih mahal dari pada perbankan, hal ini tak lepas dari mahalnya dana funding yang diperoleh LKM/LKMS yang diperoleh dari anggota atau nasabah. Maka dari itu untuk melawan jerat para rentenir, LKM / LKMS harus berkolaborasi dengan perusahaan – perusahaan agar dipercaya mengelola dana Corporate Social Responsibility (CSR). Melalui dana sosial CSR, LKM/LKMS bisa membuat program pembiayaan super mikro tanpa bunga atau bagi hasil kepada masyarakat. Dengan skema yang demikian dilema LKM/LKMS sebagai alat perjuangan kemanusiaan tetap bisa dijalankan tanpa meninggalkan tujuan bisnisnya yang harus kompetitif dengan lembaga keuangan lainnya.

BERITA TERKAIT

APBN 2025, dan Janji Politik Pemerintahan Baru

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden telah ditetapkan Komisi…

Optimalkan Teknologi Digital

Oleh: Suhanto Plt. Sekretaris Jenderal Kemendag   Kementerian Perdagangan (Kemendag) mendorong pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) khususnya untuk…

Rupiah Limbung, Bagaimana Bisnis Syariah ?

Oleh: Agus Yuliawan (Pemerhati Ekonomi Syariah) Pelaku bisnis beberapa hari ini dihadapkan dengan masalah yang pelik dengan  melemahnya nilai tukar…

BERITA LAINNYA DI

APBN 2025, dan Janji Politik Pemerintahan Baru

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden telah ditetapkan Komisi…

Optimalkan Teknologi Digital

Oleh: Suhanto Plt. Sekretaris Jenderal Kemendag   Kementerian Perdagangan (Kemendag) mendorong pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) khususnya untuk…

Rupiah Limbung, Bagaimana Bisnis Syariah ?

Oleh: Agus Yuliawan (Pemerhati Ekonomi Syariah) Pelaku bisnis beberapa hari ini dihadapkan dengan masalah yang pelik dengan  melemahnya nilai tukar…