Harga Tipe 36 Tak Terjangkau Konsumen MBR - Pengembang Tolak Pembatasan Tipe Rumah Murah

NERACA

Jakarta -  Kalangan pengembangan kecil anggota Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesa (APERSI) menolak keputusan pemerintah untuk membatasi tipe rumah murah. Mulai tahun ini, pemerintah melalui UU melarang pengembangan rumah murah di bawah tipe 36.

Menurut Ketua Umum Apersi Eddy Ganefo, saat ini jumlah masyarakat miskin dan nyaris miskin yang belum memiliki rumah masih sebanyak 57 juta orang. Jadi adanya aturan membangun rumah menimal tipe 36 m2 sangat tidak tepat. Apalagi, regulasi yang diatur dalam UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman itu juga merugikan pengembang skala kecil.

“Totalnya 57 juta. Ini masih MBR dan tidak mampu beli tipe 36. Belum lagi masyarakat miskin kota yang punya tanah warisan 30 m2. Apa mungkin bangun, bisa tapi ke atas. Dan mereka nggak mampu,” terangnya dalam diskusi “Menggugat Pembatasan Luas Lantai Rumah” yang digelar Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) di Jakarta, Rabu (18/1).

Dia menyebut, regulasi yang mewajibkan rumah minimal tipe 36 pada Undang-Undang (UU) Perumahan Rakyat, secara langsung merampas hak masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki hunian. Pasalnya, harga jual tipe 36 tidak mampu diserap oleh MBR.

“Dengan UU No 1 Tahun 2011 pada pasal 22 ayat 3, meniadakan atau melarang masyarakat untuk membangun rumah dengan luas lebih kecil dari 36 m2. Padahal pada UU setiap orang bisa bertempat tinggal, dan lingkungan yang layak. Ini berarti hak MBR telah dirampas,” papar Dia.

Rencananya ketentuan wajib hunian minimal tipe 36 akan berlaku Januari 2012. Hal ini berdasarkan UU No 1 Tahun 2011 soal perumahan pasal 22 ayat 3 berbunyi Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi. Untuk implementasinya akan dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) pada Januari 2012.

Namun konsumen masih bisa menikmati membeli rumah dibawah 36 seperti tipe 22, tipe 27 asalkan izin mendirikan bangunan (IMB) yang dimiliki pengembang keluar sebelum munculnya PP tersebut.

Pemerintah melalui kementerian perumahan rakyat akan mencoba mencari jalan keluar, rencananya dalam PP soal penyelenggaraan perumahan terkait batas minimal tipe 36 adalah pengembang tetap diwajibkan membangun rumah dengan luas lantai minimal 36 m2, namun luasan dindingnya bisa dibawah itu, seperti 27 m2 dan 22 m2.

Dalam kesempatan itu, Eddy juga menegaskan, Apersi akan mengajukan judicial review atau peninjauan kembali ke MK mengenai UU No.1 Tahun 2011 tentang perumahan dan pemukiman pasal 22 ayat 3 yang mengatur batas minimal membangun rumah tipe 36.

Eddy menyebut, pihaknya akan berjuang agar tetap dibolehkan pembangunan rumah di bawah tipe 36. “Kita akan daftarkan Jumat. Kita ada pengacara, karena kalau di ayat 3, UU perumahan menggantung karena tidak merujuk ayat 2 sebelumnya,” tegas Eddy.

Menurut Dia, langkah ini penting untuk tetap memberikan kesempatan kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang ingin memiliki rumah. Dia menuturkan ketentuan itu sangat ironis, karena kenyataannya pembangunan apartemen mewah begitu pesat berdiri. “Ini menzalimi rakyat, kemudian apartemen tetap dibangun padahal ini katagori mewah. Ini kan tidak adil,” tandasnya.

Eddy menambahkan, fakta yang ada saat ini, batasan minimal membangunan rumah 36 m2 tidak didasarkan pada kondisi di masyarakat. Rata-rata bangunan rumah minimal 36 m2, harganya paling murah Rp 120 juta dengan cicilan jadi Rp 1,2 juta per bulan. Hal ini tentunya sangat memberatkan bagi masyarakat yang gajinya kecil maka yang paling cocok adalah rumah tipe 22 m2 dengan harga Rp 60-70 juta.

FLPP

Di sisi lain, Eddy juga mengaku, pengembang rumah bersubsidi melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) hanya untung tipis, sekitar 10% dari total unit yang mereka bangun.

Oleh sebab itu, Eddy meminta para pihak jangan menyalahkan pengembang saat program rumah murah terhambat saat ini akibat Perjanjian Kerja Sama Operasional (PKO) FLPP yang terhenti sementara.

“Untungnya tipis, dengan harga jual Rp 80 juta, untungnya paling 10%. Kita biasa ambil dari volume,” jelas Eddy.

Keterlibatan pengembang kecil dalam program rumah murah, papar Eddy, hanya bentuk usahanya mereka membantu pemerintah. Lantaran sesungguhnya penyediaan rumah murah adalah pekerjaan rumah pemerintah, bukan swasta.

“Yang penting, ada keuntungan meskipun tipis. Tapi pengembang jadi kena getah, saat program FLPP mandek. Masyarakat protes kepada pengembang. Padahal, mundurnya FLPP murni kesalahan pemerintah, yang ngotot meminta bunga 5%-6%,” urai Dia.

Jadi ada kesan, lanjut Eddy, pengembang itu penjahat. “Padahal kita telah membantu pemerintah dalam membangun rumah murah,” sambung Wakil Ketua Real Estate Indonesia (REI) Hari Raharta Sudrajat.

BERITA TERKAIT

Kontraktor Diajak Garap Carbon Capture

NERACA Tangerang - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengajak Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) minyak dan gas…

Ekosistem Industri Minyak Atsiri

NERACA Jakarta – Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak atsiri terbesar di dunia dan memiliki kekayaan biodiversitas flora atsiri…

Di Forum BRICS, Indonesia-Brasil Sepakat Kembangkan Bioenergi hingga Industri Dirgantara

NERACA Jakarta – BRICS bukan sekadar forum ekonomi biasa, tetapi aliansi ini juga mencerminkan tatanan dunia baru di mana negara-negara berkembang membangun solidaritas…

BERITA LAINNYA DI Industri

Kontraktor Diajak Garap Carbon Capture

NERACA Tangerang - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengajak Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) minyak dan gas…

Ekosistem Industri Minyak Atsiri

NERACA Jakarta – Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak atsiri terbesar di dunia dan memiliki kekayaan biodiversitas flora atsiri…

Di Forum BRICS, Indonesia-Brasil Sepakat Kembangkan Bioenergi hingga Industri Dirgantara

NERACA Jakarta – BRICS bukan sekadar forum ekonomi biasa, tetapi aliansi ini juga mencerminkan tatanan dunia baru di mana negara-negara berkembang membangun solidaritas…

Berita Terpopuler