Pers Harus Ubah Cara Penyajian
NERACA
Jakarta - Perkembangan teknologi komunikasi yang luar biasa dashyat, harus mampu diantisipasi oleh pers cerak, antara lain dengan mengubah pola penyajian beritanya. Berita hard news atau straight news yang semata-mata menghadirkan fakta permukaan sudah ketinggalan zaman, sehingga pers perlu memasukan unsur apa yang terjadi di balik berita dan unaur prediksi. Jika tidak, pers cetak bakal digilas kemajuan zaman.
Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat dan mantan Ketua Komisi Hukum dan Perundang Dewan Pers priode 2007 -2013, Wina Armada Sukardi menegaskan hal tersebut dalam diskusi bertajuk "Meningkatkan Kompetensi Wartawan yang diselenggarakan oleh PWI DKI Jaya di Jakarta. Panelis lain Ketua Umum Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Suwarjono dan Ketua Dewan Kehormatan PWI Jakarta Kamsul Hasan di Jakarta, Selasa (21/3).
Wina menjelaskan, suka atau tidak suka, pers cetak saat sudah mulai masuk sunset industry atau industri senja. Tanpa inovasi, pers cetak akan semakin melorot tiras dan pendapatnya."Memang ada fenomena di China, Jepang dan India yang beberapa pers cetaknya mampu bertahan drngan tiras tinggi, tapi itu pengecualian yang sulit berlaku untuk umum," kata Wina.
Menghadapi maraknya berita bohong (hoax), menurut Wina, seharusnya ada perbedaan perlakuan yang tegas antara terhadap pers yang menghasilkan karya jurnalistik dan yang bukan pers seperti media sosial (blog) dan lainnya."Karya jurnalistik jelas mendapat proteksi hukum, sedangkan yang non jurnalistik berlaku hukum pidana pada umum ha," ujarnya.
Wina menjelaskan sesuai teori survival hanya pers cetak yang dapat beradaptasi dengan perubahan yang ada, yang bakal dapat tersisa bertahan. "Dan itu jumlahnya kecil," ujarnya.
Panelis lainnya Kamsul mengatakan, perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan dan menyalurkan informasi sesuai UU No 40/1999 tentang Pers.“Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum, tanpa kecuali,” tegas dia.
Sebaliknya, menurut Kamsul, perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan baik yang diatur UU Pers dan Peraturan Dewan Pers, maka disebut sebagai perusahaan non pers atau media sosial (medsos). Perbedaan ini jelas harus dipahami oleh segenap masyarakat Indonesia, sehingga dapat membedakan murni perusahaan pers dan perusahaan non pers (medsos).
Lebih lanjut Kamsul menuturkan, wartawan yang bekerja di perusahaan pers sudah selayaknya mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya di lapangan.“Wartawan berhak mendapat perlindungan hukum saat menjalankan tugas jurnalistik, yang diberikan pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujarnya.
Meski demikian, Kamsul dan Wina sependapat bahwa untuk meningkatkan profesional wartawan bekerja dengan optimal, maka persyaratan wartawan harus mengikuti uji kompetensi wartawan (UKW) akan diberlakukan secara nasional.“Pemilik modal boleh mendirikan perusahaan pers, tapi syarat untuk Pemimpin Redaksi sebagai penanggung jawab media harus berpengalaman sebagai wartawan yang dibuktikan dengan memiliki Kartu Wartawan Utama yang dikeluarkan oleh Dewan Pers,” ujar Wina.
Adapun latar belakang yang mendorong munculnya berita bohong (hoax) menurut Suwarjono, adalah pesatnya pertumbuhan pengguna internet yang menurut data APJII telah mencapai 132 Juta orang di Indonesia. Selain itu, juga dipengaruhi oleh perubahan perilaku pembaca- digital native khususnya kelahiran setelah 1980-an, di samping ada faktor ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap media mainstream, karena media arus utama cenderung berkepentingan di politik dan bisnis.
Untuk mencegah makin liarnya berita hoax, menurut Suwarjono, komponen semua media harus secara bersama-sama melawan fake news, mendorong konten positif dengan penampilan berita-berita standar sesuai kode etik jurnalistik (KEJ) dan mendorong literasi media supaya masyarakat lebih kritis melihat berita yang positif.“Regulasi blokir Kominfo berbahaya tanpa putusan pengadilan,” ujar Ketua Umum AJI itu. Mohar
NERACA Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan bahwa kehadiran Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dapat membawa…
NERACA Jakarta - Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan memaparkan lima urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja…
NERACA Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Abdullah meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, serta Pusat Pelaporan dan…
NERACA Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan bahwa kehadiran Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dapat membawa…
NERACA Jakarta - Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan memaparkan lima urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja…
NERACA Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Abdullah meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, serta Pusat Pelaporan dan…