NERACA
Jakarta - Realisasi investasi pada industri galangan kapal di Indonesia sepanjang tahun ini masih minim, yaitu hanya mencapai Rp770,8 miliar. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan perawatan dan perbaikan kapal yang terus meningkat diperlukan investasi galangan kapal yang besar.
Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi (IUBTT) Kementerian Perindustrian Budi Darmadi mengatakan, tahun ini, investasi baru di bidang industri perkapalan dilakukan di Lamongan, Lampung, Jakarta dan Banten. "Dana investasi senilai Rp 770,8 miliar itu digunakan untuk pembangunan galangan kapal baru serta perluasan galangan yang sudah ada,” kata Budi, di Jakarta, Jumat (16/12).
Investasi yang paling banyak dilakukan di Lamongan, yaitu di PT Daya Radar Utama, PT Dok Pantai Lamongan dan PT Dok Perkapalan Surabaya. Satu di antaranya, yaitu Dok Pantai Lamongan saat ini sudah mulai beroperasi.
Realisasi investasi galangan kapal itu terbilang kecil. Pasalnya, Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) menyebutkan, peningkatan kapasitas yang dilakukan industri galangan kapal di Indonesia minimal 500.000 Deadweight Tonnage (DWT) per tahun. Setidaknya investasi yang dibutuhkan sekitar Rp5 triliun per tahun.
Investasi yang besar itu terutama diperlukan untuk kebutuhan perawatan dan perbaikan kapal yang jumlahnya terus meningkat tiap tahun. Sedangkan, kapasitas galangan kapal di Indonesia masih belum mencukupi, sehingga kapal terpaksa mengantre jika ingin melakukan perawatan dan perbaikan. Kapasitas galangan kapal nasional saat ini hanya mampu melayani kapal sekitar 6 juta DWT, sedangkan kebutuhannya sekitar 7,8 juta DWT per tahun dan terus meningkat.
Tidak Tertarik
Meski demikian, Ketua Iperindo, Tjahjono Rusdianto mengatakan jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2010, investasi tahun ini meningkat sekitar 30%. "Pihak perbankan sudah mulai melirik industri galangan kapal, sebelumnya sulit bisa dapat pendanaan perbankan," ujarnya.
Kesulitan mendapatkan pendanaan perbankan menurut Tjahjono, juga menjadi salah satu alasan masih rendahnya realisasi investasi galangan kapal di dalam negeri. Maklum, pembangunan galangan kapal yaitu graving dock dan floating dock butuh investasi sangat besar. Sedangkan perbankan masih memasukannya dalam kategori sektor yang beresiko tinggi. Di sisi lain, Tjahjono mengungkapkan, investor juga tidak banyak yang tertarik dengan sektor ini karena dengan nilai investasi yang besar, tapi pengembalian dananya butuh waktu lama atau slow yielding.
Di tempat yang berbeda, Sekertaris Jendral Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai Indonesia Julius Tangketasik mengungkapkan, industri perkapalan nasional saat ini sebenarnya sudah cukup memadai, baik dalam membangun kapal baru maupun dalam memperbaiki dan mereparasi kapal berbagai jenis, tipe dan ukuran kapal.
Namun, imbuhnya, kalangan industri mengakui struktur industri kapal atau galangan kapal nasional masih belum kuat karena belum didukung oleh industri penunjang di dalam negeri. “Struktur industri kapal atau galangan kapal nasional masih belum kuat karena belum didukung oleh industri penunjang di dalam negeri, ketergantungan akan impor bahan baku dan komponen yang masih tinggi sehingga daya saingnya masih relatif rendah,” ujarnya.
Dengan konsisi 2/3 wilayah Indonesia yang berupa perairan, diperlukan sarana dan alat kerja, akomodasi dan sarana transportasi laut untuk mengolah sumber daya alam yang terkandung. “Oleh karena itu industri perkapalan merupakan industri masa depan yang penting untuk ditumbuhkembangkan karena memiliki pangsa pasar yang potensial,” ujarnya.
Pemberian Insentif
Di sisi lain, tuturnya, pemerintah sebenarnya telah memberikan fasilitasi untuk mendorong pengembangan industri perkapalan. Beberapa bentuk dukungan yang sudah diberikan antara lain pemberian insentif bea masuk ditanggung pemerintah untuk bahan baku dan komponen kapal yang belum diproduksi di dalam negeri, pendirian Pusat Desain dan Rekayasa Kapal Nasional (National Ship Design and Engineering Center (NaSDEC), pembangunan kawasan industri perkapalan terpadu, dan dukungan penggunaan hasil produksi dalam negeri.
Akan tetapi, Julius juga mengatakan selain struktur industri yang masih lemah, industri perkapalan masih membutuhkan dukungan pendanaan yang sejauh ini belum mendapatkan dukungan penuh dari perbankan nasional, ketidakharmonisan pengenaan bea masuk dan pajak-pajak terhadap sektor maritime sehingga menimbulkan distorsi terhadap sub sektor maritime.
“Misalnya antara perusahaan pelayaran dan industri kapal atau galangan kapal mengenai pengenaan Bea Masuk dan PPN. Ketidakharmonisan juga terjadi dalam kebijakan pembangunan pelabuhan dan industri kapal. Penataan pelabuhan akan menggusur industri kapal yang sudah ada sebelumnya,” terangnya menutup pembicaraan.
Triwulan I-2025, Kinerja produksi migas PHE Capai 1,043 Juta Barel Jakarta – PT Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai Subholding Upstream…
Indonesia – Korea Selatan Tingkatkan Kerja Sama di Sektor Industri Manufaktur Jakarta – Indonesia dan Korea Selatan berkomitmen untuk terus…
Lifting Migas Nasional Terus Ditingkatkan Balikpapan – Pemerintah terus berupaya dalam peningkatan produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional. Menteri…
Triwulan I-2025, Kinerja produksi migas PHE Capai 1,043 Juta Barel Jakarta – PT Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai Subholding Upstream…
Indonesia – Korea Selatan Tingkatkan Kerja Sama di Sektor Industri Manufaktur Jakarta – Indonesia dan Korea Selatan berkomitmen untuk terus…
Lifting Migas Nasional Terus Ditingkatkan Balikpapan – Pemerintah terus berupaya dalam peningkatan produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional. Menteri…